Menjadi ayah ternyata perlu belajar dari pengalaman hidup, dari keseharian, termasuk hal-hal yang dianggap sepele dan remeh. Perilaku dan tindakan ayah sering menjadi rujukan anak. Karenanya, sikap otoriter dan anti-demokrasi tak banyak manfaatnya dalam perkembangan kepribadian dan karakter anak.
Yang harus lebih banyak dilakukan adalah memberikan keteladanan; menyatunya kata dan perbuatan. Jika ayah bersikap istiqamah (konsisten) untuk memberikan keteladanan, tanpa banyak jargon dan khotbah dengan sendirinya akan mampu menjadi figur yang mengagumkan dan menjadi panutan anak-anak.
Seiring bertambahnya usia anak-anak, kita harus menyadari bahwa seorang ayah tak cukup hanya menjadi ayah biologis semata. Sekadar membesarkan dan mencukupi segela kebutuhan hidup hingga mereka dewasa. Kita juga harus mampu berperan menjadi ayah emosional, ayah sosial, ayah spiritual, bahkan ayah ideologis bagi anak-anak.
Tak terbayangkan, apa yang akan terjadi terhadap anak-anak jika Anda terus bersikap otoriter dan anti-demokrasi di ruang keluarga. Jika Anda tetap bersikukuh dan anak-anak tampak seperti menjadi anak mami dan penurut, akibat mengakarnya sikap otoriter dan anti-demokrasi, suatu ketika bisa menjadi “bom waktu.”
Kelak, jika ia menjadi orang tua, bisa jadi akan melanggengkan model kepemimpinan yang Anda terapkan. Artinya, Anda telah mewariskan pola “salah asuhan” yang membunuh potensi dan kreativitas anak-anak dari generasi ke generasi.
Para ayah sekalian…, mari kita bersama berbenah agar bisa menjadi “ayah emosional”, “ayah sosial, “ayah spiritual”, dan “ayah ideologis” buat anak-anak kita, karena kita bukan semata-mata “ayah biologis” buat mereka.Semoga.
Dwi Hardianto. Majalah Oase No. 3 Th. I, 22 Maret 2012