Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Inilah Keliruan Saat Shalat Jum’at : Shalat Qabliyah

Ilustrasi Shalat Qabliyah
Ilustrasi Shalat Qabliyah

Shalat sunnah qabliyah Jum’at

Di antara kebiasaan di banyak masjid, jika adzan Jum’at dikumandangkan, setelah itu para jamaah bersama-sama bangkit untuk mendirikan shalat sunnah qabliyah Jum’at dua raka’at. Kebiasaan ini tidak tepat, karena shalat sunnah qabliyah Jum’at tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

وكان إذا فرغ بلال من الأذان، أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة، ولم يكن الأذان إلا واحدا، وهذا يدل على أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها، وهذا أصح قولي العلماء، وعليه تدل السنة، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته، فإذا رقي المنبر أخذ بلال في أذان الجمعة، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة من غير فصل، وهذا كان رأي عين فمتى كانوا يصلون السنة؟!

“Jika Bilal selesai adzan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai khutbah (Jum’at). Tidak ada satu pun yang berdiri mendirikan shalat dua raka’at sama sekali. Dan tidak pula adzan dikumandangkan kecuali satu kali (adzan) saja. Hal ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti shalat ‘Id yang tidak didahului dengan shalat sunnah qabliyyah. Inilah pendapat yang paling tepat dari dua pendapat ulama dan juga pendapat yang didukung oleh sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya, dan ketika beliau naik mimbar, Bilal langsung mengumandangkan adzan Jum’at. Jika adzan selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sllam memulai khutbah tanpa ada jeda. Ini perkara yang jelas terlihat dengan mata kepala langsung. Jadi, kapan mereka shalat sunnah (qabliyyah Jum’at)?” (Zaadul Ma’aad, 1: 417)

Kemudian beliau rahimahullahu Ta’ala juga berkata,

ومن ظن أنهم كانوا إذا فرغ بلال رضي الله عنه من الأذان قاموا كلهم فركعوا ركعتين فهو أجهل الناس بالسنة، وهذا الذي ذكرناه من أنه لا سنة قبلها هو مذهب مالك وأحمد في المشهور عنه، وأحد الوجهين لأصحاب الشافعي

“Siapa saja yang menyangka bahwa apabila Bilal radhiyallahu ‘anhu selesai beradzan maka mereka sema berdiri dan mendirikan shalat dua raka’at, maka itulah orang yang paling bodoh terhadap sunnah. Pendapat yang telah kami sebutkan bahwa tidak ada shalat qabliyyah sebelum shalat Jum’at adalah pendapat Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, dan juga salah satu dari dua pendapat ulama madzhab Syafi’i.” (Zaadul Ma’aad, 1: 417)

Di antara dalil yang menguatkan bahwa tidak ada shalat sunnah qabliyah Jum’at adalah riwayat dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ، وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الجُمُعَةِ ، فَأَمَّا المَغْرِبُ وَالعِشَاءُ فَفِي بَيْتِهِ

“Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua raka’at sebelum dzuhur, dua raka’at setelah dzuhur, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah isya’, dan dua raka’at setelah shalat Jum’at. Adapun untuk maghrib dan isya’, beliau mengerjakan di rumahnya.” (HR. Bukhari no. 1172)

Ini adalah dalil tegas bahwa sahabat membedakan antara shalat Jum’at dengan shalat dzuhur. Untuk shalat dzuhur, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyebutkan dengan jelas adanya dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah. Sedangkan untuk shalat Jum’at, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu hanya menyebutkan shalat sunnah ba’diyyah saja. Ketika tidak disebutkan kecuali shalat sunnah ba’diyyah saja, maka hal ini menunjukkan bahwa shalat sunnah qabliyyah Jum’at tidaklah dikenal pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala memiliki pembahasan yang menarik dan lengkap tentang permasalahan ini di kitab beliau, Al-Ajwibah An-Naafi’ah dan beliau memaparkan lemahnya pendapat yang menyatakan sunnahnya shalat qabliyyah Jum’at. Bagi pembaca yang ingin mempelajari lebih detail, silakan merujuk ke kitab tersebut. [1]

Setelah memaparkan dalil-dalil yang ada, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Tidak ada dalil untuk sunnahnya shalat ini dari sunnah yang shahih, shalat qabliyyah Jum’at juga tidak memiliki tempat dalam sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sungguh Engkau telah mengetahui dari hadits-hadits yang telah lewat bahwa zawal (bergesernya matahari ke arah barat), adzan, khutbah, dan shalat Jum’at adalah rangkaian yang bersambung tanpa jeda, lalu di manakah waktu untuk shalat ini (shalat qabliyah Jum’at)?” (Al-Ajwibah An-Naafi’ah, hal. 47)

Melangkahi pundak jamaah lain

Di antara kesalahan yang cukup tersebar adalah menyakiti jamaah lain yang sudah lebih dahulu datang dengan melangkahi pundak-pundak mereka. Terdapat riwayat yang menunjukkan terlarangnya hal tersebut.

Diriwayatkan dari Abu Zahiriyyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كُنْتُ جَالِسًا مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَجَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ: اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ، وَآنَيْتَ

“Aku duduk bersama ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu pada hari Jum’at. Lalu datanglah seorang laki-laki yang melangkahi pundak-pundak manusia ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah.” Rasulullah bersabda, “Duduklah, Engkau suddah menyakiti dan juga datang terlambat.” (HR. Ahmad no. 17697, Abu Dawud no. 1118, An-Nasa’i no. 1399, shahih, lafadz hadits ini milik Ahmad.)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ لَغَا وَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ كَانَتْ لَهُ ظُهْرًا

“Siapa saja yang berbuat sia-sia dan melangkahi pundak-pundak manusia, maka (shalat Jum’at tersebut) menjadi shalat dzuhur baginya.” (HR. Abu Dawud no. 347 dan Ibnu Khuzaimah no. 1810, hasan)

Artinya, berkurang pahalanya.

Dikecualikan dari larangan ini jika terdapat celah shaf bagian depan di antara dua jama’ah, karena kecerobohan yang berasal dari mereka, bukan dari orang yang melangkahi pundak jama’ah tersebut. Maka tidak diharamkan melangkahi pundak mereka untuk memenuhi shaf bagian depan yang masih renggang tersebut. Demikian pula orang yang memiliki hajat, kemudian keluar dan ingin kembali lagi ke tempat duduknya. [2] Selain itu, dikecualikan pula bagi seorang imam atau khatib yang melangkahi pundak jamaah untuk menuju mimbar yang ada di bagian paling depan.

Sibuk dengan hal-hal yang sia-sia

Misalnya, sibuk dengan memainkan biji tasbih, penutup kepala, atau sibuk main-main dengan karpet masjid, jam, pena, atau yang umum pada masa sekarang ini adalah sibuk dengan handphone atau tidur ketika khatib sedang berkhutbah. Semua ini terlarang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ، فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ، وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barangsiapa yang berwudhu dan memperbagus wudhunya, kemudian mendatangi shalat Jum’at, dia mendengarkan khutbah dan diam (ketika mendengarkan khutbah), maka akan diampuni dosanya sampai Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari. Siapa saja yang menyentuh kerikil, maka sungguh dia telah berbuat sia-sia.” (HR. Muslim no. 857)

Semakna dengan menyentuh (memainkan) kerikil adalah semua hal yang telah kami sebutkan sebelumnya, karena sebab terlarangnya sama, yaitu pebuatan sia-sia.

Refrensi:

[1] Al-Ajwibah An-Naafi’ah.

[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah1: 590.

(Santri Tv/Rafi)

Pendaftaran Santri Baru