Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Ummu Habibah, Wanita Mukminah yang Setia Kepada Agamanya

Kisah Ummu Habibah

Alangkah perlunya kaum muslimah hari ini untuk mengkaji perjalanan hidup sayyidah yang agung ini, agar mereka menyadari betapa jauhnya perbandingan antara mereka dengan generasi awal yang keluar dari madrasah nubuwwah, sehingga mereka mengetahui betapa pengaruh iman itu sangat menakjubkan pada jiwa mereka yang menyambut panggilan Allah dan Rasul-Nya. Hingga mereka menjadi lentera yang menebarkan petunjuk dan cahaya.

Dan di antara lentera tersebut adalah Ummul mukminin Ramlah binti Abu Sufyan seorang pemuka Quraisy dan pemimpin orang-orang musyrik hingga Fathul Makkah. Akan tetapi Ramlah binti Abu Sufyan tetap beriman sekalipun ayahnya memaksa beliau untuk kafir ketika itu. Dan Abu Sufyan tak kuasa memaksakan kehendaknya agar putrinya tetap dalam keadaan kafir. Justru beliau menunjukkan kuatnya pendirian dan mantapnya kemauan. Beliau rela menanggung beban yang melelahkan dan beban yang berat karena memperjuangkan akidahnya.

Pada mulanya beliau menikah dengan Ubaidullah bin Jahsy yang Islam seperti beliau. Tatkala kekejaman orang-orang kafir atas kaum muslimin, Ramlah berhijrah menuju Habsyah bersama suaminya. Dan di sanalah beliau melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Habibah, dan dengan nama anaknya inilah beliau dijuluki (Ummu Habibah).

Kisah Ummu HabibahUmmu Habibah senantiasa bersabar dalam memikul beban lantaran memperjuangkan diennya dalam keterasingan dan hanya seorang diri, jauh dari keluarga dan kampung halaman, bahkan terjadi musibah yang tidak dia sangka sebelumnya. Beliau bercerita:

Aku melihat di dalam mimpi suamiku Ubaidillah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan menakutkan. Maka aku terperanjat dan bangun, kemudian aku memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi suamiku telah memeluk agama Nasrani. Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya namun dia tidak menggubrisnya.”

Si murtad yang celaka ini mencoba dengan segala kemampuannya untuk membawa istrinya keluar dari diennya, namun Ummu Habibah menolaknya dan dia telah merasakan lezatnya iman. Bahkan beliau justru mengajak suaminya agar tetap di dalam Islam, namun dia malah menolak dan membuang jauh ajakan tersebut dan dia semakin asyik dengan khamr. Hal itu berlangsung hingga dia mati.

Hari-hari berlalu di bumi hijrah Ummu Habibah berada dalam dua ujian, yakni jauhnya dengan sanak saudara dan kampung halaman dan ujian karena menjadi seorang janda tanpa seorang pendamping. Akan tetapi beliau dengan keimanan yang tulus yang telah Allah karuniakan kepadanya, mampu menghadapi ujian berat tersebut. Beliau wujudkan, firman Allah:

Barangsiapa yang bertakwa kepada Alah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya AlIah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 2-3).

Allah berkehendak untuk membulatkan tekadnya, maka dia melihat di dalam mimpinya ada yang menyeru dia, “Wahai ummul mukminin…!” Maka beliau terperanjat bangun karena mimpi tersebut. Beliau menakwilkan mimpi tersebut bahwa Rasulullah kelak akan menikahinya.[1]

Setelah selesai masa iddahnya, tiba-tiba ada seorang jariyah dari Najasyi yang memberitahukan kepada beliau bahwa dirinya telah dipinang oleh pemimpin semua manusia seutama-utama shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada beliau. Alangkah bahagianya beliau mendengar kabar gembira tersebut hingga beliau berkata, “Semoga Allah memberikan kabar gembira untukmu.” Kemudian beliau menanggalkan perhiasan dan gelang kakinya untuk diberikan kepada jariyah (budak wanita) yang membawa kabar tersebut karena senangnya.[2]

Kemudian beliau meminta Khalid bin Sa’id bin al-‘Ash untuk menjadi wakil baginya agar menerima lamaran Najasyi yang mewakili Rasulullah SAW untuk menikahkan beliau dengan Ummu Habibah setelah Rasulullah menerima kabar tentang keadaan beliau dan ujian yang dia hadapi dalam menapaki jalan diennya. Sedangkan tiada seorang pun yang menolong dan membantu dirinya. Pada suatu sore, Raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habsyah, maka datanglah mereka dengan dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib putra paman Nabi SAW. Selanjutnya Raja Najasyi berkata,

“Segala puji bagi Allah Raja Yang Mahasuci,Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Aku bersaksi. bahwa tiada Ilah yang haq kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang telah dikabarkan oleh Isa bin Maryam AS.

Amma ba’du, sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengirim surat untukku untuk melamarkan Ummu Habibah binti Abu Sufyan dan Ummu Habibah telah menerima lamaran Rasulullah, adapun maharnya adalah 400 dinar, “Kemudian beliau letakkan uang tersebut di depan kaum muslimin.”

Kemudian Khalid bin Sa’id berkata, “Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan dien yang haq untuk memenangkan dienNya walaupun orang-orang musyrik benci.

Amma ba’du, aku terima lamaran Rasulullah SAW dan aku nikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abi Sufyan, semoga Allah memberkahi Rasulullah SAW. Selanjutnya Najasyi menyerahkan dinar tersebut kepada Khalid bin Sa’id kemudian beliau terima. Najasyi mengajak para sahabat untuk mengadakan walimah dengan mengatakan, “Kami persilakan Anda sekalian untuk duduk, karena sesungguhnya sunnah para Nabi apabila menikah hendaklah makan-makan untuk merayakan pernikahan.[3]

Setelah kemenangan Khaibar, sampailah rombongan Muhajirin dan Habsyah, maka Rasulullah SAW bersabda:

Dengan sebab apa aku harus bergembira, karena kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja’far?[4]

Sedangkan Ummu Habibah bersama rombongan yang datang. Maka bertemulah Rasulullah SAW dengannya pada tahun ke enam atau ketujuh Hijriyah. Kala itu Ummu Habibah berumur 40 tahun saat menduduki sebagai bintang berseri di antara istri-istri beliau dan jadilah beliau Ummul Mukminin.

Ummu Habibah menempatkan urusan dien pada tempat yang pertama, beliau utamakan akidahnya daripada famili. Beliau telah mengumandangkan bahwa loyalitas beliau adalah untuk Allah dan Rasul-Nya bukan untuk seorang pun selain keduanya. Hal itu dibuktikan sikap beliau terhadap ayahnya Abu Sufyan tatkala suatu ketika Abu Sufyan masuk ke dalam rumah Ummu Habibah sedangkan beliau ketika itu telah menjadi istri Rasul SAW di Madinah, Abu Sufyan datang untuk meminta bantuan kepada beliau agar menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah SAW untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah yang telah dikhianati sendiri oleh orang-orang musyrik.

Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar Nabi SAW, namun tiba-tiba dilipat oleh Ummu Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan, “Wahai putriku aku tidak tahu mengapa engkau melarang aku duduk di tikar itu, apakah engkau melarang aku duduk di atasnya?” Beliau menjawab dengan keberanian dan ketenangan tanpa ada rasa takut terhadap kekuasaan dan kemarahan ayahnya, “Ini adalah tikar Rasulullah SAW, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk di atas tikar Rasulullah SAW.” Abu Sufyan berkata, “Demi Allah engkau akan menemui hal buruk sepeninggalku nanti.” Namun Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri, “Bahkan semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan juga kepada Anda wahai ayah, pemimpin Quraisy, apa yang menghalangi Anda masuk Islam? Sedangkan engkau menyembah batu yang tak dapat melihat maupun mendengar!![5] Maka Abu Sufyan pergi dengan marah dan membawa kegagalan.

Sungguh beliau berhak menyandang segala kebesaran dan keagungan sebagai Ummul Mukminin, Ummu Habibah r.a.. Seandainya para wanita itu seperti beliau niscaya hasilnya pun seperti yang terjadi pada beliau.

Setelah Rasulullah SAW menghadap ar-Rafiiqul A’la Ummu Habibah melazimi rumahnya. Beliau tidak keluar kecuali untuk shalat, dan beliau tidak meninggalkan Madinah kecuali untuk haji, hingga sampailah waktu wafat yang ditunggu-tunggu tatkala berumur tujuh puluhan tahun. Beliau wafat setelah memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam menjaga kewibawaan diennya dan bersemangat atasnya, tinggi dan mulia jauh dari pengaruh jahiliyah, dan tidak menghiraukan nasab manakala bertentangan dengan akidahnya, semoga Allah meridhainya. [WARDAN/DR]

Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat

Footnote:

[1] Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIll/97) dan aI-Mustadrak (IV/20 dan 24).

[2] Al-Ishabah (IV/48) dan as-Samthuts Tsamin 67

[3] Al-lsti’ab (lV/422) dan al-lshabah (Vlll/84).

[4] Lihat as-Sirah an-Nabawiyah lbnu Hisyam (IV/3) dan Tarikh ath-Thabari (III/90)

[5] Thabaqat Ibnu Sa’ad (Vlll/99-100) dan as-Sirah (lV/38).

Pendaftaran Santri Baru