Jum’at (09/10) Pagi ini, Pak Kiyai Jamhari sampaikan tausiyah mengenai urgensi bahasa Arab dan Inggris bagi warga Pesantren Darunnajah Cipining dan umumnya untuk ummat Islam seluruh Indonesia.
Indonesia merupakan mayoritas penduduknya beragama Islam, dan terbanyak di dunia. Sejak awal masuknya, Islam diterima dengan kedamaian, padahalan waktu itu banyak juga agama-agama lain yang sudah bercokol di Indonesia.
Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai Negara muslim terbesar tetapi jarang terjadi konflik. Bila terjadi gesekan-gesekan maka permasalahan tersebut bisa diatasi dengan baik, sehingga segera terselesaikan.
Suasana seperti inilah yang harus dipertahankan oleh kaum muslimin di Indonesia, sebagai contoh dan referensi bagi dunia akan kedamaian di Indonesia. Jangan pernah di adu domba dan dibodoh-bodohi oleh bangsa lain.
Beberapa kelompok pasti tidak suka dengan suasana yang damai, aman, tertib dan kondusif ini. Di sisi lain Indonesia merupakan Negara yang sumberdaya alamnya luar biasa melimpahnya. Di hampir seluruh wilayahnya dikaruniai kekayaan yang luar biasa. Makanya banyak diantaranya yang memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan sepihak. Sehingga bila mana bangsa terjadi konflik berkepanjangan, akan dengan mudah dimanfaatkan kelompok-kelompok atau bangsa lain, baik untuk mengeruk kekayaannya maupun sendi-sendi sosial lainnya.
Maka suasana damai dan tidak ada konflik ini perlu dicontohkan kepada kawan-kawan di belahan dunia manapun. Mereka tentunya bisa belajar dari bangsa Indonesia, sehingga Islam akan mewarnai sendi-sendi kehidupannya.
Namun, kendala yang terbesar yang dialami oleh bangsa ini adalah minimnya dalam berbahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris. Sehingga pemahaman-pemahaman atau gagasan-gagasan tidak terexpose ke dunia internasional, hanya berkutat pada penduduk negerinya saja.
Untuk itu, para santri perlu lagi untuk bersungguh-sungguh mempelajari dan bisa sekurang-kurangnya dua bahasa ini, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahasa Arab berfungis untuk menggali keilmuan agama, sebab sumber pedoman hidup ummat Islam adalah al-Qur’an dan Hadits. Dan banyak pula kutubu at-turats para ulama-ulama terdahulu perlu dikaji dan dikembangkan.
Bahasa Inggris merupakan bahasa komunikasi internasional antarbangsa dan Negara. Jika santri menguasai bahasa Inggris, tidak mustahil, ia tidak sekedar berdakwah di dalam negerinya saja, tetapi gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran keislamannya akan meluas, disampaikan ke seluruh penjuru dunia.
Bukankah berdakwah itu hukumnya wajib? Bukankah Rasulullah juga pernah perintahkan sekretarisnya untuk belajar bahasa asing? Beliau berkata kepada Zaid bin Tsabit , “Saya hendak berkirim surat kepada suatu kaum. Saya khawatir mereka menambah-nambah atau mengurangi, sebab itu hendaklah engkau pelajari bahasa Suryani (bahasa Yahudi).” Lalu Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi itu, sehingga ia menjadi ahli dalam bahasa tersebut (Mahmud Yunus : 1990:22)
Dalam meningkatkan berbahasa Arab dan Inggris ini perlu digerakkan dan dikawal. Santri dalam membuat majalah-majalah dinding tidak boleh lagi menggunakan bahasa Indonesia, apalagi bahasa-bahasa Daerah, semua harus berbahasa Arab dan Inggris.
Halaqah-halaqah atau kelompok-kelompok yang sudah berjalan perlu ditingkatkan lagi. Satu kelompok terdiri dari lima orang atau tujuh orang, satu dengan lain saling bertanya dan menjawab dengan pertanyaan yang berbeda-beda perlu terus dijalankan terus dan tingkatkan terus.
Jangan ada takut salah dalam mengucapkan dua bahasa ini, jangan pernah ada rasa malu dalam berbahasa Arab dan Inggris, sebab keduanya adalah bahasa asing bagi kita. Salah dan susah itu karena tidak terbiasa, karena tidak dijadikan sebagai kebutuhan. Maka butuhlah dengan dua bahasa ini, jika sudah dibutuhkan, sesulit apapun akan ditempuh, seterjal apapun akan dilalui.
Harus berani melafalkan dan mengucapkan dua bahasa ini, bukankah kita tahu bahwa kita orang Indonesia? Pernah berfikirkah kita dulu bahwa bahasa Indonesia itu akan sulit dipelajari? Jangan ada malu dalam berbahasa, apalagi bahasa asing, namanya juga bahasa bukan bahasa kita, harus berani salah, karena ketika kita salah maka tidak terjadi kesalahan yang kedua.
Ciptakan bi’ah-bi’ah berbahasa, bisa dengan usbu’ al-araby berikutnya usbu’ al-inkilizy. Begitulah berganti terus-menerus. Sampai seluruh warga masyarakat Pesantren Darunnajah berbahasa Arab dan Inggris.
Tukang sapu berbahasa Arab, tukang listrik berbahasa Inggris, mbok dapur berbahasa Arab. Apalagi santri dan gurunya harus mahir dan mempraktikkan dalam percakapan sehari-hari kedua bahasa tersebut.[Wardan/Amins]