“Hai Syafi’i, pergilah menuntut ilmu untuk jihad dijalan Allah, kelak kita bertemu di akhirat”. kata Ibu.
Sebuah penggalan kalimat pesan seorang ibunda, ketika menasehati Hadratus Syaikh Imam Syafi’i, karena pesan ibunya itu, Syafi’i kecil bergegas pergi menuntut ilmu beberapa lama ke Madinah dan bermukim di Iraq.
Setelah Syafi’i berpisah sekian lama dengan ibunya untuk menuntut ilmu, berkat pesan dan do’a seorang ibu, akhirnya Syafi’i berhasil menjadi ulama’ besar yang berpengaruh.
Mendengar keberhasilan pengembaraan Syafi’i mencari ilmu, kemudian ibunya mengizinkan Syafi’i untuk pulang ke rumah, tapi setelah mendapat berita dari seorang santri bahwa Syafi’i membawa puluhan unta dan harta benda yang merupakan hadiah dari masyarakat Iraq, seketika ibunya menutup pintu.
Mendengar reaksi sang ibu, kemudian Imam Syafi’i membagikan seluruh unta dan harta benda pada masyarakat Mekkah, dan mengabarkan kembali pada ibundanya bahwa dia pulang membawa ilmu dan beberapa karya kitab, mendengar itu semua kemudian ibundanya membolehkan Imam Syafi’i masuk rumah
Pesan moral ibunda Imam Syafi’i ini mejadi penegasan kembali narasi kebudayaan islam, bahwa seorang ibu memiliki peran menjadi kaki peradaban, merupakan guru pertama dan utama yang akan membentuk karakter seorang anak.
Karena predikasi kemuliaan strategis seorang ibu menjadi guru yang mondial, maka kehadirannya akan ikut menentukan arah perjalanan sebuah generasi anak bangsa dalam membangun kekuatan negara, sehingga wajar ketika ada adegium ibu merupakan tiang negara.
Tapi sungguh ironis ketika masih ada pandangan diskriminatif patriakis gender dalam budaya sosial, yang seakan memposiskan perempuan -yang tentu saja akan menjadi calon ibu- dalam struktur ‘konco wingking’, karena dengan pandangan demikian ini kemudian akan berkembang sebuah persepsi, seakan seorang perempuan tidak memiliki hak untuk mengenyam pendidikan yang setara, dan seolah menjadi takdir kutukan alam kalau perempuan itu hanya punya peran macak, masak, manak.
Padahal dengan memberikan ruang gerak proses pencapaian pendidikan yang setara pada perempuan, akan menjadi ‘human invesment’ strategis, dan memiliki pengaruh kuat pada indek kualitas generasi mendatang.
Sesungguhnya membuka kembali narasi pergulatan Ibunda Imam Syafi’i dalam proses pedagogis ini, berarti menegaskan kembali derajat kemuliaan peran sejarah seorang ibu dalam membuka tabir rahasia kaki langit peradaban manusia, ‘al Jannatu tahta aqdamil ummahati’.
by : selametCastur.
#syirhan-dn1