Tradisi penyair biasa memulai syairnya dengan romansa cinta, atau apa yang biasa disebut “tasybib / nasib”.
Hal ini sudah biasa dilakukan bahkan oleh para panyair kalangan sahabat Nabi di hadapan Nabi Muhammad SAW., seperti Sayyidina Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair dengan syairnya “banat Su’ad” yang dengannya ia dapat Burdah (selimut) Nabi.
Demikian juga Al-Bushiri memulai madah Burdahnya dengan romansa cinta, cuma bedanya, beliau menyebut tempat-tempat yang ada di sekeliling Madinah sebagai kota kekasih. Menyebut Dzi salam, Kadzimah, Idlam. Bisa disebut “An-Nasib An-Nabawi“.
Pecinta memang enggan untuk menyebut secara terang-terangan tempat kekasihnya, dan ini justru menjadi keindahan tersendiri dalam seni sastra arab.
Menikmati Burdah dari fasal ke fasal, bait ke bait, kalimat ke kalimat, kata ke kata, huruf ke huruf, harokat ke harokat dari keindahan lafadz dan maknanya benar-benar membuat hati dan jiwa ini “babak belur” olehnya.
Sekalipun tidak akan sepenuhnya bisa memuji Nabi, tapi setidaknya menjadi penyegar jiwa yang sedang dahaga.
Salah satu kutipan bait dari Qasidah Burdah yang seringkali kita dengar adalah;
مَوْلَايَ صَلِّ وَسَلِّمْ دَائِمًا أَبَدًا ** عَلىٰ حـَبِيْبِكَ خـَيْرِ الْخَلْقِ كًلِّهِمِ
“Ya Tuhanku, limpahkanlah selalu rahmat ta’zhim serta keselamatan atas kekasih-Mu (Nabi Muhammad SAW.) yang terbaik di antara seluruh makhluk.”
Imam Al-Bushiri di penutup Hamziyah-nya mengatakan:
لَمْ أُطِلْ في تَعْدادِ مَدْحِكَ نُطْقي ** ومُرادِي بذلك استقصاء
“Aku tidak kuasa memanjang-manjangkan nafasku demi menghitung sifat-sifatmu yang berhak dipuji, sekalipun sebenarnya ingin sekali aku memujimu sampai puncaknya.”
غير أنيَ ظمآنُ وَجْدٍ ومَـا لي ** بِقَليلٍ مِنَ الــورودِ ارْتِــــواءُ
“Aku hanya seorang pemilik jiwa yang sangat dahaga(haus) sebab derita cinta, maka aku tidak puas hanya dengan seteguk air untuk melepas dahaga ini.”
(Anisrullah)