بسم الله الرحمن الرحيم
_Seri Olah Jiwa (Refleksi Ramadhan)._
*Beragama Itu Harus Berlandaskan Dalill.*
*Dalam kajian Aqidah Islamiyah dikenal ada dua macam dalil; dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, adapun dalil aqli berasal dari pemikiran akal yang sehat selamat.*
Al Qur’an merupakan Firman Allah SWT, untuk memahaminya dengan baik dan benar diperlukan kemauan dan kemampuan untuk membaca, mengaji dan mengkaji. Oleh karenanya menjadi penting belajar qira’ah, asbabun nuzul dan tafsir Ayat-ayat Al Qur’an mulia.
Hadits yang merupakan perkataan, perbuatan, sikap dan ketentuan Rasulullah Muhammad SAW menjadi penjelas apa-apa yang disampaikan Allah SWT melalui Al Qur’an. Untuk dapat mengetahui kedudukan Hadits tersebut Shahih, Hasan, Dhaif, Maudhu’ dan seterusnya maka perlu belajar Musthalahul Hadits dan sebagainya.
Allah SWT mengaruniakan kepada hambaNya akal fikiran untuk mencerna, merenungi, mendalami serta memahami *Way Of Life* yang sudah tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits.
Dan sebuah kesyukuran luar biasa bahwa ada sebagian dari umat Rasulullah SAW yang bersungguh -sungguh dalam mengkaji Al Qur’an dan Hadits tersebut sehingga muncul beberapa cabang ilmu seperti Aqidah untuk mempelajari keyakinan yang benar, ushul fiqh untuk metode pengambilan hukum, fiqh yang mengajarkan tata-cara ibadah dan mu’amalah dan banyak cabang keilmuan lainnya.
*Oleh karenanya bahawa Dalil Naqli haruslah diposisikan di atas dalil aqli. Dalil Naqli ibarat pelita yang menerangi serta menyinari kegelapan dan dalil aqli yang akan mengambil jalan yang sudah diterangi tersebut.*
Contoh teknisnya adalah ibadah Shoum. Dalil Naqli menjelaskan bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi orang yang beriman (mu’min), dan dali aqlipun mengiyakan manfaat dan faedah dari puasa tersebut.
Pertanyaannya adalah bagaimana jika ada orang Islam yang tidak mau bepuasa Ramadhan dengan alasan bahwa puasa adalah ibadah yang sesuai untuk orang-orang yang kesulitan ekonomi misalnya. Adapun orang yang kaya tidak perlu berpuasa. Nah, dalam kondisi seperti ini berarti dalil aqli telah diposisikan di atas dalil naqli.
Padahal banyak hal dalam beragama ini jika maunya menuruti akal fikiran maka akan ‘terasa’ tidak masuk akal, contoh : kenapa dhuhur pada waktu panas 4 raka’at sementara subuh yang pada waktu pagi dan dingin hanya 2 raka’at. Kenapa tidak 4 raka’at untuk subuh sehingga lebih banyak gerak sekaligus olah-raga.
Atau contoh lain, kenapa ketika batal wudhu yang disebabkan keluar angin dari dubur tetapi justru bagian-bagian badan yang dicuci dan dibasuh adalah anggota badan lainya?. Mengapa juga pengganti wudhu adalah Tayamum dengan debu, bukankan debu itu kotor?…dan seterusnya…..dan sebagainya.
Walhasil, ajaran agama itu tauqifiy, harus berlandaskan dalil. Jika ada yang ‘dirasa’ tidak sesuai dengan akal fikiran maka harus sam’an wa tho’atan ( mendengar dan patuh) terhadap dalil Naqli.
Wallaahu A’lam.
_Bogor, 2 Ramadhan 1437 H / 7 Juni 2016 M. (Mr. MiM)._
www.cipining.darunnajah.com