Belajar Dari Abu Raihan Al-Biruni
Dituturkan bahwa Abu Raihan Al-biruni adalah seorang yang sangat mengagumkan dalam mencari ilimu sesudah menyalesaikan pekerjaannya. Ia adalah seorang yang berilmu dan termasuk dalam kelompok manusia jenius. Demikian pula, ia juga sangat taat dan patuh pada agamanya. Suatu hari , Abu Raihan ditimpa penyakit yang menyebabkan ia wafat. Ketika itu, ia sedang menghadapi saat-saat teralkhir kehidupannya. Ia punya seorang tetengga yang faqih. Ketika tetangganya yang mendengar kabar bahwa Abu Raihan sakit, ia datang menjenguknya. Memang benar bahwa Abu Raihan sakit, namun ia masih sadar. Tatkala ia melihat tetangga yang faqih itu, ia mengajukan berbagai pertanyan tentang masalah fiqh yang berkaitan tentang warisan. Abu Raihan tidak mendalami ilmu fiqh. Namun ia punya spesialisasi dalam bidang ilmi-ilmu sosial, filsafat dan fisika. Faqih itu berkata,’’Apa perlunya anda bertanya tentang masalah ini, sedangkan anda dalam keadaan seperti ini?’’ Abu Raihan menjawab, ‘’ Saya mengerti bahwa saya sedang berada di saat-saat terakhir dalam kehidupan saya. Namun manakah yang lebih utama : mati dalam keadaan tidak tahu, ataukah mati dalam keadaan tahu? Pada akhirnya, saya juga akan mati. Tentu, lebih utama kalau saya mati dalam keadaan tahu.’’ Faqih itu menjawab berbagai pertanyaan Abu Raihan dan kemudian pergi meningggalkannya. Ia berkata,’’Belum sampai saya tiba di rumah, lalu tiba-tiba aku mendengar teriakan dari rumah Abu Raihan. Mereka berkata bahwa Abu Raihan telah meninggal.
Sebelum memasuki inti permasalahan perlu kiranya saya analisa kata kebutuhan itu sendiri dalam kaitannya dengan kata keinginan sehingga memudahkan kita dalam memahami inti masalah tersebut. Menurut hemat saya kata keinginan itu bermakna sesuatu yang ketiadaannya tidak berefek negatif atau membahayakan diri kita, sebaliknya kebutuhan adalah sesuatu yang ketiadaannya tidak membahayakan diri kita, misalnya pakaian dan motor, kita bisa membayangkan seseorang yang berjalan tanpa mengenakan baju tentunya perbuatan tersebut bisa berefek negatif bagi pelakunya juga pada orang-orang di sekitarnya, sebaliknya motor ketika kita ingin berangkat ke sekolah yang jaraknya tidak jauh dari rumah kita tentunya motor itu belum menjadi kebutuhan kita karena kita bisa menempuh perjalanan itu dengan berjalan kaki. Namun kebutuhan bisa berubah menjadi keinginan dan keinginan pun bisa berubah menjadi kebutuhan. Ilmu ibaratnya seperti baju yang sangat dibutuhkan manusia untuk menutupi tubuhnya. Dengan demikian ilmu merupakan kebutuhan manusia yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Abu Raihan Al-biruni adalah salah seorang yang telah mencapai maqom keilmuan sehingga saat-sat terakhir masa hidupnya pun dia masih menyempatkan diri bertanya tentang masalah waris kepada sang faqih.
Secara garis besar para penuntut imu dapat dibagi menjadi dua: pertama, golongan yang bertujuan untuk Allah. Golongan ini mengetahui bahwa ilmu adalah sesuatu yang suci sehingga hanya diberikan kepada insan-insan berhati suci pula sebagaimana para ahli makrifah, mereka memandang bahwa sebagai langkah awal dalam menuntut ilmu seseorang harus melakukan penyucian diri atau jiwa, pengikhlasan niat, dan pelurusan tujuan sebagai langkah awal. Karena Ilmu datangnya dari Wujud yang suci lagi Maha Tinggi sehingga apabila jiwa telah tersucikan maka hubungan dengan sumbernya pun semakin menguat. Dalam sebuah hadits dikatakan,’’pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, melainkan melalui cahaya yang Allah pancarkan pada hati hamba yang dikehendaki-Nya. kedua, golongan yang bertujuan untuk dunia. Segala jerih payah mereka semuanya berorientasi pada kehidupan duniawi atau hal-hal yang material semata, sehingga ilmu yang mereka miliki tidak membuat mereka beranjak dari posisi mereka yang rendah pada maqom yang lebih tinggi, ilmu itu menjadi hijab antara mereka dengan Allah SWT, dengan demikian mereka membiarkan dirinya terjun bebas kedalam jurang kenistaan dan kehancuran.Diakhir tulisan pendek ini saya ingin mengutip pesan seorang pemimpin revolusi islam Iran, Imam Khomeini.’’Saudaraku yang terhormat , obat paling mujarab agar ilmu kita itu benar-benar untuk Allah ialah bersegera melakukan mujahadah di dalam diri dan dengan disiplin ruhani yang tinggi berupaya untuk meikhlaskan niat ketika hendak mempelajari ilmu tertentu. Modal utama dan sumber cahaya (Ilahi) teletak pada peikhlasan niat dan tujuan yang ikhlas:’’Barang siapa yang ikhlas kepada Allah selama empat pulu hari, mata air kearifan akan memancar dari hatinya ke lidahnya.’’ Allahu a’lam