Hasil survei seorang peneliti menunjukkan, di masa pandemi ini kadar stress semakin tinggi. Dari 2140 responden menunjukkan angka yang mencengangkan. 70 % lebih mereka mengalami hal-hal berkenaan dengan kecenderungan mudah marah, gangguan makan, dan kesulitan untuk tidur. Ada banyak rasa ketakutan dan kecemasan: ketakutan terkena Covid 19 baik diri sendiri atau keluarga, kecemasan ekonomi, dan ketidakpastian, termasuk di dalam adalah Pemutusan Hubungan kerja (PHK).
Survei ini dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia khususnya Jabotabek. Persoalan ini adalah salah satu dampak dari adanya wabah yang terus meningkat. Hingga saat ini (Kamis, 06/8/20), mereka yang positif terjangkit Covid-19 di Indonesia berjumlah 116.871 kasus. Angka ini telah melebihi jumlah pasien di negara China, awal mula asal penyebaraan virus Corona. Dalam skala global, Indonesia menempati posisi no. 24 dan no. 2 tertinggi di Asia tenggara. Bukan tidak mungkin jika akan terus semakin memburuk.
Kondisi ini sangat memprihatinkan kita semuanya. Selain itu, peristiwa yang baru saja terjadi adanya ledakan di Lebanon, yang mengakibatkan tiga ratus ribu korban dari kalangan masyarakat. Kondisi-kondisi ini memerlukan kesadaran kita untuk membangun solidaritas sosial dalam membantu mereka yang terkena musibah.
Kesadaran Bertauhid
Sebagai seorang Muslim, kita sepatutnya dapat mengambil hikmah dengan momentum paska Idul Adha yang baru kita lewati seminggu yang lalu. Banyak hikmah dapat kita petik berisi berbagai pelajaran mendasar. Diantaranya adalah nilai kesadaran bertauhid. Idul Adha merupakan Hari Raya Qurban identik dengan berbagai peristiwa penting yang dikaitkan kepada Nabi Ibrahim As. Beliau adalah seorang Khalilullah, kekasih Allah swt. yang diberikan amanah menjadi seorang Rasul. Sebagai seseorang yang menegakkan kebenaran, ia diutus oleh Allah swt. menegakkan ketauhidan menghadapi penguasa tiran dan berbagai ujian, yang akhirnya dapat menginspirasi umat untuk gigih berjuang membela ketauhidan.
Ibrahim muda merupakan sosok seorang yang memiliki rasa penasaran tinggi. Ia mempertanyakan keberadaan Tuhan, dengan melihat realita hidup yang dijalani melalui gerakan-gerakan alam seperti bintang, bulan, dan matahari. Ia merenung apakah semua itu merupakan Tuhan atau bukan. Hingga akhirnya, ia menemukan jawaban bahwa yang menciptakan semua itu adalah Allah swt. (QS 6:74-79).
Tidak hanya itu, untuk meneguhkan ketauhidannya ia memohon kepada Allah swt. untuk diberikan penjelasan bagaimana Tuhan menghidupkan orang yang sudah meninggal lalu hidup kembali. Tuhan menjawab dengan memerintahkan Ibrahim melakukan simulasi seekor burung, yang dicincang dibagi empat bagian dan dipisahkan di empat tempat yang berbeda. Dengan izin Allah swt. burung itu hidup kembali (QS 1:261).
Ketauhidan Ibrahim sejak muda sudah sedemikian kokoh dengan keberaniannya menghancurkan berhala-berhala sesembahan agama Pagan, yang mengakibatkan dirinya dilempar di bara api yang menyala. Disinilah Allah swt. menunjukkan mu’jizat-Nya merubah bara api menjadi dingin bagi Ibrahim (QS 21: 69). Peristiwa-peristiwa ini direkam di dalam al-Qur’an yang menggambarkan betapa masa muda sosok seorang Ibrahim telah melatih diri begitu gigih memperjuangkan ketauhidan meskipun di hadapan seorang penguasa.
Pada masa berikutnya, ia mendapatkan perintah untuk menyembelih putra tercintanya Ismail As. Nabi Ibrahim As. menerima dengan kepasrahan dan kesabaran. Ini merupakan ujian yang sangat berat bagi seorang ayah untuk menjalankannya. Berbekal dengan ketakwaan dan pemahaman ketauhidan yang mengakar di hati, ia jalankan perintah tersebut. Usaha Nabi Ibrahim As. yang begitu tulus untuk mendapatkan ridha-Nya, dinyatakan oleh Allah swt. lulus menjalani ujian yang berat ini dan digantikan dengan seekor kambing untuk disembelih (QS 37:107-108), yang menjadi sunnah bagi umat Islam saat ini.
Membangun Solidaritas Sosial
Hikmah berikutnya, dengan berlalunya Idul Adha kita dapat membangun solidaritas sosial di antara kita. Setelah kita memahami peran penting Nabi Ibrahim As. dalam menanamkan fondasi ketauhidan dalam diri, perlu kiranya kita mengaktualisasikan keimanan ini ke dalam kehidupan sosial. Berangkat dari nilai pengorbanan Nabi Ibrahim As. untuk menyembelih putra kesayangan, ia secara tulus merelakan anaknya untuk Allah swt. Pengorbanan inilah yang perlu kita contoh untuk menanamkan solidaritas sosial kepada orang lain, apalagi di masa pandemi yang masih terus terjadi.
Kita dapat menyisihkan bantuan kepada orang lain dalam berbagai bentuk. Sedekah materi dan non materi berupa sumbangan saran dan motivasi, akan memberikan dorongan bagi orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan di masa-masa pandemi. Momentum ini juga menjadi sarana untuk membangkitkan jiwa kepedulian sosial dalam bentuk kasih sayang kepada anak-anak yatim. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa yang perlu mendapatkan perhatian serius. Ketiadaan orang tua, menuntut orang-orang disekitarnya agar tersentuh ikut bertanggungjawab dalam rangka mendidik mereka.
Sudah semestinya nilai keimanan dimanifestasikan untuk membangun jiwa-jiwa empati. Kepekaan sosial merupakan salah satu cabang keimanan yang harus dimiliki seorang Muslim. Sebuah Hadis Rasulullah menjelaskan ada banyak cabang keimanan, yang tertinggi adalah kalimat La ilaha Illah (tiada tuhan Selain Allah swt.), dan terendah adalah menyingkirkan duri ke tepi jalan. Sebagaimana sabdanya:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu termasuk bagian dari iman. (HR. Imam al-Bukhari)
Dari sini dapat kita pahami bahwa keimanan semestinya dibarengi dengan amal saleh yang tidak cukup untuk dirinya sendiri, tetapi menyangkut orang lain. Ini dapat direpresentasikan pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan atau aksi kemanusian, seperti pengumpulan dana korban bencana alam, pembedayaan anak-anak jalanan, pemberian layanan kesehatan, renovasi fasilitas pembelajaran di sekolah, pemberian wakaf sosial dan keagamaan, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini akan memupuk pada diri seorang Muslim jiwa-jiwa kepedulian bagi sesama.
Kondisi yang sulit dan berat tidak menjadikan kita egois dan tidak peduli untuk berinfak kepada orang lain. Seorang Muslim yang memiliki keterbatasan dalam harta, tidak berarti harus menjadi pelit atau kikir. Pada masa kelaparan dan kesulitan ekonomi diharapkan untuk rela bersedekah dan berinfak. Justru dengan kondisi inilah Allah Swt akan kagum dan sayang dengan hamba yang mau berkorban untuk memberikan apa yang mereka mampu dalam bentuk apapun. Sungguh sangat indah kita melihat mereka yang empati. Darinya akan terjalin ukhuwah yang begitu erat. Sebagaimana para sahabat Rasulullah saw. yang direkam di dalam al-Quran atas kedermawanan mereka:
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (orang-orang Muhajirin), mereka (kaum Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa saja yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (al-Hasyr: 9).
Kesadaraan solidaritas sosial sungguh memiliki banyak manfaat bagi siapapun yang menyadarinya. Dari sini, seseorang akan dapat meraih kebahagiaan. Orang-orang yang bersyukur dengan nikmat Allah swt akan cenderung lebih berbahagia. Apa yang dia rasakan menjadi bernilai ketika dapat berbagi kepada orang lain, lebih-lebih di masa sulit seperti saat ini. Kehidupan yang bahagia mencakup banyak aspek, seperti kenyamanan dalam segala hal, merasakan ketenangan batin, puas dengan yang ada (qana’ah), rela dengan takdir yang telah ditetapkan, melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan lain-lain. Semua ini dirangkum dalam sebuah Hadits Rasulullah saw. yang berbunyi:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ, ورُزِقَ كَفَافًا, وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya, dan Allah swt. menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah swt. berikan kepadanya.”
(HR. Al-Tirmizi).
Semua gambaran di atas, menjadi refleksi kita bersama. Meskipun hari Raya Idul Adha telah berlalu, namun kita dapat mengambil ibrah dan hikmah dari rentetan peristiwa Nabi Ibrahim As. dalam menancapkan nilai-nilai ketauhidan yang dalam di lubuk hati, dan akan menjadi pondasi seseorang yang beriman. Dari sini, insya Allah kita akan mampu bertahan dalam berbagai bentuk kesulitan, serta dapat dimanifestasikan pada aktivitas sosial dengan memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Mudah-mudahan usaha mulia ini tercatat sebagai kebaikan dan menjadi wasilah (perantara) diangkatnya pandemi Covid-19 dari bumi ini. Amin.
Ditulis oleh Much Hasan Darojat, Ph.D , Kepala Biro Pengasuhan Santri Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta dan Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah Jakarta