Seringkali nilai sesuatu baru disadari tinggi tatkala dilihat dari posisi ‘lawan’ kita. Kita merasa telah tua tatkala melihat foto-foto muda kita atau saat kita menimang cucu. Kita merasa kehilangan, alias suatu kedekatan, justru ketika kita saling berjauhan. Kita merasa kaya, ketika kita pas jatuh miskin.
Demikian pun nilai sehat, justru sangat terasa, dan baru disadari tatkala sedang sakit. Nilai sehat kerap diabaikan tatkala sedang sehat, seakan sudah takdir alamiah bahwa manusia itu hanya berada dalam kondisi sehat. Padahal tidak. Sehat dan sakit adalah dua sifat predikatif yang seharusnya ada dalam hidup manusia. Tidak ada manusia yang sehat terus, dan demikian pula sebaliknya.
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)
Hadits diatas mengingatkan kita betapa seringnya kita lalai dari kenikmatan sehat itu sendiri.
Kelalaian dan kesadaran, itu kata kuncinya. Kita hampir selalu lalai untuk memaknai betapa kesehatan itu sangat mahal. Seluruh bagian tubuh kita (sebagai manusia normal), ketika sedang sakit, benar-benar harus ditebus dengan harga tidak murah. Untuk sakit ringan semisal demam atau flu saja, kita harus cek-ap ke dokter dan “arisan” ke apotik untuk menebus resepnya. Ketika sejumlah uang habis, kita baru menyadari pentingnya menjaga diri agar bebas flu.
Terlebih lagi kalau sakit keras, apapun di rumah sakit harus dibayar: kamar, obatan-obatan, jasa dokter, periksa dengan alat-alat canggih, dan seterusnya. Bahkan oksigen saja, yang setiap sekon kita hirup, juga berbayar. Saat dirawat itu, hampir tidak ada yang gratis. Makanan-minuman pun duakali lipat harganya. Yang menyebalkan, kadang ada suster yang bibirnya tak bisa berhias senyum. Mahal, bukan?
Pada saat seperti itulah kita baru tiba pada kesadaran akan kelalaian kita: bahwa nilai sehat itu sangat penting, dan bahwa selama sehat kita cenderung abai dan menyiakan pentingnya sehat. Betapa manusia sering bebal tentang perkara ini: baru sadar setelah jatuh pada titik nadir. Sungguh menggelikan, sebenarnya, bahkan memalukan.
Begitulah manusia, untuk menyadari nilai sehat saja perlu diingatkan atau disadarkan dengan sakit. Hikmahnya, sakit adalah sebuah teguran atau peringatan bagi manusia untuk menjaga kesehatan, sekaligus memahami betapa mahalnya nilai sehat. Sakit, dengan demikian, adalah pintu gerbang kesadaran bagi pemahaman dan hikmah itu.
Maka, sakit memang harus diterima tanpa terelakkan, sebagai bagian hidup sendiri. Sehat itu anugerah, tapi bukan berarti sakit itu musibah. Sebaliknya, sakit itu juga anugerah berupa ujian yang mengandung hikmah bahwa hidup yang sehat harus dijaga baik-baik agar tidak jatuh sakit. Bukankah raga adalah tempat bersemayamnya jiwa sehingga harus senantiasa dijaga?
Mudah-mudahan kita termasuk manusia yang selalu menyadari pentingnya nilai sehat justru pada saat kita sehat, bukan pada saat sakit. Dalam kondisi ini kita bisa menerima dengan legawa bahwa sehat dan sakit adalah anugerah semata dari-Nya.
(DN.COM/arulanisrullh)