Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Pandangan Islam Terhadap Fenomena Gerhana

Gerhana Bulan
Gerhana Bulan

Islam hadir menyikapi pandangan masyarakat tentang banyak hal. Di antaranya pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana matahari dan bulan.

Dalam persepsi itu, Islam menepis mitos dan pandangan primitif abad ke-7 tentang gerhana, sekaligus menekankan dimensi religius, spiritual, dan sosial pada gerhana itu sendiri sebagai misi kenabian Nabi Muhammad.

Masyarakat Arab pra-Islam memandang gerhana sebagai sesuatu yang menakutkan. Gerhana adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, baik dari kematian maupun kelahiran.

Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.

Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi Muhammad, Ibrahim, meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena kepergian putra Nabi Muhammad. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad bersabda:

“Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya mengalami gerhana bukan karena atau sebab bagi kematian atau kelahiran seseorang.”

Selanjutnya Nabi Muhammad menganjurkan untuk melaksanakan salat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.

Dengan pernyataan dan anjuran Nabi tersebut, Islam jelas menepis segi mitis dan primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.

Dari  berbagai hadis, Nabi Muhammad tampaknya beberapa kali melaksanakan salat gerhana. Karenanya, laporan tentang bagaimana Nabi melaksanakan salat gerhana matahari berbeda-beda.

Ada yang menyebutkan Nabi Muhammad salat gerhana dengan dua ruku’ dalam satu rakaat; ada yang menyebutkan dengan satu ruku’ dalam satu rakaat. Bahkan ada yang menyebutkan empat, enam, delapan, dan sepuluh ruku’ dalam satu rakaat.

 

Pendaftaran Santri Baru