Wanita, sebelum kedatangan Islam, menempati derajat yang sangat rendah dan tidak terhormat. Terbukti dengan perlakuan yang tidak adil terhadap wanita pada masa-masa silam, yang terjadi dibeberapa “negara klasik”, seperti Yunani, Romawi, Persia dan lain sebagainya. Demikian juga di China, India, Yahudi, Nasrani dan Arab sebelum Islam, kondisi wanita pada jaman dahulu kala sangat menyedihkan. Berikut ini adalah sedikit penjelasannya;
Wanita dalam pandangan orang-orang Yunani
Yunani adalah gambaran dari masyarakat terdahulu yang paling maju dan modern. Apabila kita mau menolehkan pandangan kita pada abad yang lampau maka kita akan mendapatkan bahwa kondisi wanita sudah sampai pada puncak kehinaan ditinjau dari segala aspek kehidupannya. Di dalam masyarakat, mereka tidak memiliki kedudukan atau status yang mulia. Bahkan ada keyakinan bahwa, wanita adalah penyebab segala penderitaan dan musibah yang menimpa manusia. Dan wanita adalah makhluk yang paling rendah derajatnya. Kondisi mereka yang berada dalam puncak kehinaan, kerendahan dan kehilangan martabat tersebut menyebabkan mereka tidak berhak duduk di meja makan sebagaimana laki-laki, terlebih manakala ada tamu asing, maka kedudukan wanita adalah sebagai seorang budak dan pelayan.
Opini penduduk Yunani kemudian berubah, mereka hanyut dalam arus syahwat dan nafsu hewani, yang mana mereka memberikan kebebasan bagi wanita dalam hal seksual belaka. Mereka juga memberikan kebebasan penuh untuk menjadi pelacur. Oleh karena itu, para pelacur dan pezina menempati kedudukan yang tinggi, hingga jadilah para pelacur itu sebagai kiblat bagi masyarakat Yunani dan mereka mengitari para pelacur tersebut bahkan dibuatlah dongeng tentang mereka.
Disebabkan oleh hal itu pula mereka mengambil dewa “Kupid” sebagai tuhan yang menurut mereka, ia adalah dewa cinta yang merupakan buah yang dihasilkan dari dewi yang berhubungan dengan tiga dewa padahal dia hanya memiliki satu suami saja. Kemudian dewi itu berhubungan dengan laki-laki dari manusia maka lahirlah “Kupid” yang dianggap sebagai dewa cinta dari hasil hubungannya dengan manusia tersebut. Maka, pada umumnya penduduk Yunani memandang bahwa ikatan suami istri itu bukanlah hal penting dan bukan pula suatu kehormatan. Karena itulah, seorang wanita menjadi murah dan mudah untuk dinikmati oleh masyarakat. Bahkan, mereka mampu memilih siapakah laki-laki yang hendak menggaulinya secara terang-terangan tanpa ikatan perkawinan dan pernikahan. Begitulah, sejarah menjadi saksi bahwa Yunani telah jatuh kewibawaannya, disebabkan karena kemerosotan tersebut. Dan tidak pernah bangkit lagi sejak peristiwa tersebut.
Wanita dalam Pandangan orang-orang Romawi
Negeri Romawi sudah diakui pula mencapai puncak ketinggian dan kemajuan setelah Yunani. Penduduk negeri ini menilai bahwa undang-undang dan aturan-aturannya cenderung kepada kezhaliman, pengekangan dan kekejaman yang ditujukan pada diri wanita. Slogan mereka yang berkenaan dengan wanita adalah “mengikat mereka tanpa melepaskannya…” Laki-laki memiliki hak penuh atas keluarga sebagaimana hak raja atas rakyatnya. Dia berhak mengatur istrinya sesuai dengan selera hawa nafsunya. Bahkan, dengan kekuasaannya kadang-kadang seorang laki-laki berhak membunuh istrinya.
Seiring dengan majunya Romawi dan perjalanannya menuju dunia modern, maka lenyaplah penindasan terhadap wanita tersebut. Hanya saja hal yang masih membekas yaitu menilai rendah terhadap wanita, dan hubungan mereka dengan wanita sebagaimana layaknya berhubungan dengan pelayan. Sebagai akibat karena wanita melihat dirinya dalam kehinaan tersebut, maka ia menyeret para lelaki ke dalam arus perbuatan yang keji dan dosa. Dengan memanfaatkan pandangan laki-laki terhadap mereka, bahwa mereka adalah tempat melampiaskan keinginan dan nafsu binatang para laki-laki. Di antara dampak dari hal ini adalah maraknya profesi sebagai pelacur sampai-sampai panggung pentas (Fakuaro) memperoleh kedudukan yang penting bagi orang Romawi pentas yang berisi kontes wanita telanj*ng. Begitu pula sudah merajalela kebiasaan mandi bersama antara laki-laki dan perempuan dalam satu tempat yang bisa dilihat dan disaksikan oleh orang-orang Mereka memandang bagus tentang novel-novel porno dan budaya telanj*ng, sebagaimana mereka mengistilahkan dengan “budaya bug*l” atau kadang menggunakan istilah “modernisasi” ataupun “reformasi”.
Sebagai imbasnya, maka urusan cerai menjadi sesuatu yang mudah hanya karena sebab-sebab yang remeh. Hingga disebabkan banyak dan seringnya para wanita pernah menikah dengan laki-laki, sebanyak bilangan umurnya tanpa ada beban dan rasa malu.
Lebih aneh lagi apa yang dikatakan oleh seorang gerejawan Grum (340 M – 420 M) tentang wanita yang menikah ke-23, dan bersamaan dengan itu dia juga menjadi istri yang ke-21 bagi suaminya. Sehingga hancurlah negeri Romawi dengan sehancur-hancurnya sebagaimana hancurnya negeri Yunani sebelumnya.
Semua itu disebabkan, mereka tenggelam dengan nafsu hewani yang tidak layak dilakukan oleh manusia.
Wanita dalam Pandangan Penduduk Persia
Persia..? Tahukah Anda apakah itu Persia.? ltulah negeri yang mana Undang-Undangnya banyak dijiplak oleh banyak negara. Mereka mewajibkan untuk memberlakukan normanya dan menerapkan Undang-Undang serta aturan-aturannya.
Padahal bersamaan dengan hal itu, kita melihat bahwa undang-undang tersebut curang dan menzhalimi hak wanita dan menimpakan hukuman yang berat terhadap wanita hanya karena sedikit kesalahan pada suatu waktu. Undang-Undang itu juga menyebutkan bahwa laki-laki memiliki kebebasan mutlak tanpa batas. Hukuman tidak diterapkan melainkan bagi wanita. Bahkan apabila kesalahan dilakukan terus menerus oleh seorang wanita, maka tiada halangan untuk menyembelihnya.
Di negeri Persia wanita dilarang menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki baju besi yang bermacam-macam, sedangkan bagi laki-laki memiliki kebebasan dalam memperturutkan hawa nafsunya, dia adalah raja hanya semata-mata karena dia seorang laki-laki.
Bahkan tatkala haid wanita diusir dari tempatnya ke tempat yang jauh dari kota, dan tidak boleh ada yang berhubungan dengan mereka kecuali pembantu yang mengantarkan makanan.
Wanita di Negeri China
Umumnya dahulu masyarakat Cina adalah manusia hidup dalam kerusakan dan kebiadaban. Masyarakatnya lebih dekat kepada masyarakat binatang daripada masyarakat manusia. Mereka berzina tanpa merasa tabu dan malu, sehingga banyak anak-anak yang diketahui ibunya akan tetapi tidak diketahui siapa bapaknya. Tiada yang dapat diperbuat oleh wanita pada masyarakat Cina, melainkan menunggu perintah dan melaksanakannya tanpa menolak.
Dalam masyarakat Cina dahulu, yang terkenal berperadaban kuat, maka bagi seorang ayah sebagaimana telah menjadi kebiasaan umum, tidak memberikan warisan pada anak perempuan. Tidak boleh bagi wanita menuntut atau meminta harta ayahnya sedikitpun, selagi dia bukan seorang laki-laki. Mereka menyerupakan wanita dengan racun yang merusak kebahagiaan dan harta.
Wanita di Negeri India
Nasib para wanita di negeri India tidak lebih baik daripada Yunani atau pun Romawi, meskipun negeri ini punya kelebihan dalam hal pengetahuan dan kemajuan sejak dahulu. Bahkan mereka menganggap wanita sebagai budak dan mendudukkan laki-laki sebagaimana kedudukan raja. Maka wanita selalu dibebani sebagai budak bagi ayah, suami dan anak-anaknya. Pada umumnya masyarakat India memiliki keyakinan bahwa wanita adalah sumber kesalahan dan penyebab kemunduran akhlak maupun mental. Sehingga, mereka mengharamkan wanita dalam hak-hak pemerintahan dan warisan.
Bahkan, mereka tidak memiliki hak hidup setelah suaminya mati, sehingga dia harus mati di hari kematian suaminya dan dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya dalam satu tempat pembakaran.[1] Adat tentang dibakarnya istri tatkala suaminya meninggal itu terus berlanjut hingga terpancar cahaya Islam di seantero India, khususnya tatkala diperintah oleh raja yang shalih yang bernama Unak Dzaib rah.a. Maka Islam telah menyelamatkan wanita dari dunia hitam tersebut dan telah melenyapkan adat yang kejam dan menyiksa mereka.
Wanita dalam Pandangan Yahudi
Adapun wanita menurut orang-orang Yahudi, bahwa mereka adalah makhluk yang rendah dan hina. Bagi mereka wanita ibarat barang tak berharga yang dapat dibeli di pasar-pasar, yang dikekang hak-haknya, terhalang untuk mendapatkan warisan apabila orang tuanya meninggalkan harta. Adapun apabila seorang ayah meninggalkan barang tetap (semisal rumah atau tanah), maka diberikan kepadanya. Namun apabila meninggalkan harta, sama sekali dia tidak memiliki hak nafkah dan mahar termasuk dari jenis emas dan perak.
Apabila ahli waris tidak ada melainkan wanita dan tidak memiliki saudara laki-Iaki, maka tidak boleh bagi wanita tersebut menikah dengan suku yang lain, dan tidak boleh bagi mereka menyalurkan warisan tersebut kepada orang yang di luar sukunya.
Mereka menganggap bahwa bagi laki-laki, wanita adalah satu pintu dari pintu jahannam karena wanitalah yang dituduh menggerakkan dan membawa mereka kepada dosa. Dari wanitalah terpancar mata air musibah yang menimpa manusia seluruhnya. Mereka berkeyakinan bahwa wanita adalah laknat, karena telah menggoda Adam. Para wanita manakala sedang haidh, mereka tidak boleh duduk, makan-makan, dan menyentuh bejana karena dianggap najis. Mereka dilarang memasuki rumah dan disediakan baginya tempat khusus yang di depannya terdapat roti dan air. Mereka tetap di tempat tersebut, hingga mereka kembali suci. Telah merata di kalangan mereka perzinaan dan dosa dengan mengatasnamakan kebebasan. Maka wanita menjadi pelacur, dan mereka menempatkan perzinaan sebagai bentuk dari upacara suci, dengan menyetubuhinya berarti dia telah melakukan ibadah. Bahkan menjadikan zina sebagai bentuk taqarrub/mendekatkan diri kepada tuhan mereka.
Kita dapatkan pula, bahwa pendeta di kalangan mereka mirip dengan pezina yang memperbolehkan penganut Yahudi untuk melakukan perbuatan zina. Dan dikatakan dalam kitab mereka yang diselewengkan bahwa Allah mengharamkan orang Yahudi bersetubuh dengan kerabatnya, adapun dengan wanita lain maka diperbolehkan.
Begitulah, menurut mereka wanita itu rendah dan hina dina. Maka dari sini kita, begitu pula ibu-ibu kita, istri-istri kita, putri-putri kita dapat merasakan nikmat Islam yang begitu agung dan rahmat-Nya yang tiada tara yang telah memuliakan wanita, sehingga dapat meningkatkan akidah kita. Maka kita serukan kepada para wanita, “Wahai muslimah janganlah kau ganti nikmat Allah dengan kekufuran.”
Wanita dalam pandangan orang-orang Nasrani
Masuklah agama Nasrani ke Eropa, kemudian mencoba mengubah tatanan masyarakat barat yang sedang mengalami krisis moral dan kemungkaran yang membuat dahi menjadi basah (bahkan sampai pada tingkat lebih hina dari pada binatang). Maka, mereka berpendapat dan meyakini, bahwa diam adalah merupakan solusi bagi wabah yang berbahaya tersebut. Akan tetapi, realita membuktikan bahwa solusi yang diberikan oleh para pemuka Nasrani tidak dapat mencegah kenyataan yang menyedihkan. Mereka kemudian menempuh jalan dengan memberikan batasan yang berlebih-lebihan pada satu sisi, namun memerangi fitrah manusia pada sisi yang lain.
Di antara pandangan mereka adalah, bahwa mereka menggambarkan wanita sebagai biang dari kemaksiatan, akar dari kejahatan dan dosa. Wanita adalah salah satu pintu-pintu jahannam bagi laki-laki, karena merekalah yang mendorong dan membawa laki-laki untuk berbuat dosa. Seorang pemuka Nasrani yang bernama Tirtolian berkata, “Wanita adalah pintu setan ke dalam jiwa manusia, wanita pulalah yang mendorong seseorang mendekati pohon yang dilarang, melanggar aturan Allah dan suka menggoda laki-laki.”
Pendeta Swastam yang dijuluki “orang suci” berkata, “Sesungguhnya wanita merupakan suatu keburukan yang tak dapat dihindarkan, merupakan bencana yang diingini, malapetaka bagi keluarga dan rumah tangga, sesuatu yang dicintai namun mencelakakan serta merupakan musibah yang terselubung.”
ltulah pandangan mereka dalam satu sisi. Di sisi lain mereka memiliki pemahaman, bahwa berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan adalah najis sekalipun ditempuh dengan cara yang benar (nikah). Sehingga, mereka memandang bahwa hidup sebagai biarawati (yang mereka tidak boleh menikah) adalah merupakan ukuran luhurnya akhlak seseorang.
Di sini kita dapatkan bahwa apa yang dijadikan landasan di negeri barat berasal dari pengaruh ajaran Nasrani yang menyimpang, yang mempengaruhi rendahnya kedudukan wanita dalam seluruh sisi kehidupan. Termasuk dalam aspek ekonomi seperti hak waris dan aspek-aspek lain yang tak terbatas, dan tidak ada toleransi bagi mereka untuk mendapatkan hasil dari usaha tangannya. Cukuplah sebagai bukti apa yang telah ditulis oleh seorang penulis wanita dari Perancis Armandin Laosil Auror. Yang mana tidak memungkinkan baginya untuk menyebarkan tulisannya melainkan dia menggunakan nama samaran laki-laki yaitu George Saneed sekitar tahun 1814 M – 1876 M.
Dengan penelitiannya tersebut, dia membuktikan segala sesuatu yang menunjukkan penghinaan terhadap wanita dan kurang pengertian mereka bahwa wanita memiliki akal untuk berpikir.
Hal yang lebih tragis dan mencengangkan, bahwa cerai sama sekali tidak diperbolehkan dalam agama mereka, apa pun alasannya, sekalipun sudah sampai pada saling benci dan menjauhi antara suami istri. Bahkan, sekalipun kehidupan mereka laksana neraka maka tetap tidak diperkenankan. Hal ini merupakan bahaya terbesar yang dapat menghancurkan keluarga dan membuka peluang saling mengkhianati antara suami istri.
Wanita dalam Pandangan Bangsa Arab Jahiliyah
Pandangan kita beralih kepada kondisi wanita di Arab sebelum Islam dan bagaimana keberadaan mereka pada zaman itu? Bagaimana pula status mereka di dalam masyarakat menurut mereka?
Sungguh, kondisi wanita pada bangsa Arab sebelum Islam berada dalam puncak kehinaan, sehingga sampai pada keterbelakangan, kemunduran, kelemahan, dan kehinaan yang sudah tidak layak lagi disandang oleh makhluk yang bernama manusia. Mereka tidak memiliki hak sekalipun untuk mengungkapkan pikirannya dalam seluruh permasalahan hidupnya. Mereka tidak berhak mendapatkan warisan, karena adat yang berlaku adalah, tidak mendapatkan warisan kecuali yang memanggul pedang dan menjaga negara.
Mereka juga tidak ada hak mengajukan usul tentang calon suaminya, karena urusan tersebut dipegang mutlak oleh walinya. Hingga seorang anak berhak melarang janda dari ayahnya untuk menikah. Sehingga sang ibu harus memberikan kepadanya apa yang telah diambil dari suaminya yang telah meninggal. Hal ini jika si anak laki-laki tidak mengatakan, “Aku mewarisi ibu (istri ayahku) sebagaimana mewarisi harta ayahku.” Karena dia memiliki hak untuk mengawini ibunya tanpa mahar atau mengawinkan ibunya dengan orang lain dengan syarat orang tersebut menyerahkan maharnya kepadanya (bukan kepada ibunya-red).
Dari lbnu Abbas r.a. berkata, “Orang Arab dahulu apabila ada seseorang yang bapaknya ataupun pamannya mati maka dia lebih berhak terhadap istri ayahnya. Jika dia mau bisa menahannya atau mengurungnya sehingga dia dapat menebus maharnya atau dia mati sehingga si anak akan pergi dengan membawa hartanya.”[2]
Di Arab dahulu tidak mengenal batas untuk menikah, tidak ada hitungan pula istilah cerai dilontarkan. Ada empat macam perkawinan pada zaman mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan yang lain bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a. berkata:
“Sesungguhnya nikah pada zaman Jahiliyah ada empat macam;
Pertama, sebagaimana nikahnya orang-orang sekarang, yakni seorang laki-laki melamar anak orang lain kemudian memberikan mahar dan menikahinya.
Kedua, seseorang mengatakan kepada istrinya setelah suci dari haidh, “Datanglah kepada fulan (biasanya seorang bangsawan) dan mintalah untuk digauli.” Kemudian suaminya menjauhinya (tidak menggaulinya), sehingga jelas apakah istrinya itu telah hamil dari laki-laki lain tadi, apabila telah jelas tandanya bahwa istri sudah hamil, barulah suami menggaulinya jika ingin. Tujuan dari perbuatan ini, semata-mata karena ingin mendapatkan anak yang berketurunan bangsawan. Nikah yang semacam ini disebut “nikah istibdha’”.
Ketiga, sekelompok laki-laki yang berjumlah kurang dari sepuluh orang, seluruhnya menggauli seorang wanita yang sama. Kemudian tatkala dia hamil dan melahirkan dan berlalu beberapa malam setelah melahirkan, maka wanita itu memanggil para laki-laki tersebut dan mereka tidak kuasa menolaknya. Sehingga apabila mereka telah berkumpul di depan wanita tersebut, wanita itu berkata, “Kalian telah mengetahui apa yang kalian perbuat terhadapku dan kini aku telah melahirkan, ini adalah anakmu wahai fulan..’ dia sebut seseorang yang dia sukai di antara laki-laki tersebut, kemudian dia serahkan anak itu kepada laki-laki yang dia tunjuk.
Keempat, Sekelompok laki-laki menggauli satu wanita yang tidak menolak siapa pun yang menggauli dirinya. Mereka adalah pelacur yang mana mereka memasang pada pintu mereka sebuah tanda sebagai tanda pengenal bagi siapa yang ingin menggaulinya. Manakala dia hamil dan kemudian melahirkan, maka dipanggillah mereka yang telah menggaulinya seluruhnya, kemudian anak tersebut diserahkan kepada orang yang dia anggap paling mirip dengannya sedangkan dia tidak kuasa menolak.”[3]
Cukuplah riwayat ini menunjukkan tentang rusaknya pandangan manusia dan nafsu kebinatangannya, dan tidak butuh penjelasan tentang hal itu. Karena cukuplah sebagai gambaran, seorang laki-laki yang menyerahkan istrinya kepada orang lain agar tumbuh darinya anak yang memiliki bibit unggul. lni sebagaimana seseorang yang menyerahkan hewan betinanya agar dikumpuli pejantan yang unggul sehingga mendapatkan bibit unggul.
Dan cukuplah pula sebagai gambaran, sekelompok laki-laki yang kurang dari sepuluh menggauli seorang wanita. Mereka berkumpul untuk menggaulinya, kemudian wanita itu memilih salah seorang di antara mereka untuk menyerahkan anak itu kepadanya.
Dahulu para laki-laki Arab di masa Jahiliyah merasa kecewa dan sempit dadanya, apabila dikabarkan bahwa istrinya melahirkan anak wanita. Mereka sangat marah dan kecewa seakan-akan ditimpa suatu musibah. Al-Qur’anul Karim telah mengisahkan tentang adat Jahiliyah yang ada pada mereka sebagaimana firmanNya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. an-Nahl: 58-59).
Di antara adat-istiadat Jahiliyah Arab yang paling buruk adalah mengubur anak perempuan hidup-hidup, maka hal ini dapat dikatakan sebagai bukti yang menunjukkan tentang puncak kekerasan, kekejaman dan sadisnya mereka sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam al-Qur’ an al-Karim:
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?” (QS. at-Takwir: 8-9).
Bermacam-macam penyebab yang mendorong kabilah-kabilah Arab tega mengubur anak-anak perempuan mereka. Ada yang mengubur anak perempuannya untuk menjaga kehormatan dan takut mendapat aib, karena mereka adalah ahli tempur dan perang yang menyerahkan anak-anak perempuan untuk menebus tawanan. Anak-anak perempuan mereka pun berada di tangan musuh, inilah puncak kehinaan dan aib. Bani Tamim dan Bani Kindah adalah kabilah yang paling dikenal dalam hal banyaknya mengubur anak-anak perempuan.
Telah disebutkan dalam beberapa riwayat, bahwa kabilah pertama di Arab yang mengubur anak perempuan adalah kabilah Rabi’ah. Suatu ketika, sekelompok kaum di Arab cemburu terhadap kabilah Rabi’ah dan mereka menawan seorang gadis anak raja mereka. Maka, mereka meminta agar gadis tersebut dikembalikan. Setelah diadakan perjanjian agar sang gadis sendiri yang memilih apakah kembali kepada kaumnya ataukah ikut bersama yang menawannya, ternyata gadis tersebut memilih bersama orang yang menawannya daripada bersama ayahnya.
Maka, hal itu menjadikan murka sang raja sehingga dia membuat peraturan agar kaumnya mengubur anak-anak perempuan mereka. Mereka pun mengerjakannya karena gengsi dan takut terulang kejadian tersebut.[4] Ada pula yang mengubur anak perempuannya karena tempat yang tandus, kurangnya pendapatan dan kebutuhan yang banyak. Maka untuk mencegah kemiskinan mereka mengubur anak-anak perempuan mereka. Inilah yang difirmankan Allah:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. al-Anam: 151).
Dan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. al-lsra’: 31).
Di antara kabilah-kabilah itu ada yang mengubur anak-anak perempuan karena gengsi dan takut mendapat aib, bahkan ada pula di karenakan suatu penyakit pada seorang gadis seperti sakit gigi atau lumpuh, atau penyakit lain. Dan terkadang penguburan tersebut mereka kerjakan dengan berat, kesedihan hati dan meneteskan air mata.
Tiada henti-hentinya kezhaliman yang mengundang bencana. Undang-undang yang diberlakukan dan diterapkan bagi wanita yang tidak berdosa, karena mereka lemah dan busuknya adat kaumnya hingga Islam datang mengharamkannya dan merombaknya.
Uraian singkat ini membuat kita mengetahui tentang kondisi wanita pada abad yang lampau ditinjau dari segi banyaknya kesewenang-wenangan, pelecehan dan penghinaan yang ada di seluruh negara. Adapun bagi orang-orang Arab di masa Jahiliyah wanita adalah barang perniagaan, dagangan yang murah dan diperjualbelikan sedangkan mereka tidak memiliki hak untuk menghindar dari kehidupan yang penuh kehinaan ini.
Sekarang, kita akan berpindah kepada cahaya Islam dan melihat betaba para wanita merasakan nikmat hidup di bawah naungannya dengan derajat yang tinggi dalam masalah penjagaan dan perlindungan. Yang mana Islam telah memberikan hak-hak manusiawinya secara sempurna dan hak-hak pemilikannya secara sempurna, menjaga mereka dari pelecehan syahwat dan fitnah seksual dan nafsu hewani. Islam menjadikan mereka termasuk salah satu unsur untuk membangun masyarakat, menjaganya dan menyelamatkannya. Di samping itu mereka memiliki pengaruh yang besar untuk membina kaum laki-laki menjadi “rahib di malam hari… singa di siang hari”. [WARDAN/DR]
Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat
Footnote:
[1] Untuk memperluas pembahasan ini lihatlah Hadharatul Hindi hal. 633-646 yang dikarang oleh Ghostaf Loobon. Dan lihatlah kitab yang bagus al-Mar’ah wal Qanun oleh Dr. Mushthafa as-Siba’i rah.a.
[2] Lihatlah Jami’ul Bayan fii Tafsiiril Qur’an (IV/304) oleh ath-Thabari
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab: an-Nikah bab: Tidak sah nikah tanpa wali (Vl/132-133). Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dalam ath-Thalaq tentang Nikah yang terjadi pada zaman jahiliyah hal. 2242
[4] Lihatlah tafsir Ruhul Ma’ani (XXX/67) dan kitab Tariikhul ‘Arab Qablal Islam (V/87) oleh Dr. Jawad Ali.