STRATEGI PEMASARAN PESANTREN
Oleh: Dudun Ubaedullah, M.A. (Dosen STAI Darunnajah Jakarta)
A. Pendahuluan
Lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 2003 memberikan pengakuan negara kepada pondok pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Pengakuan negara tersebut memposisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sejajar dan setara dengan lembaga pendidikan lainnya.
Sebelum hadirnya undang-undang tersebut, tingkat pertumbuhan pesantren di Indonesia telah mengalami peningkatan secara positif. Sebagai gambaran, data yang dihimpun dari Direktorat Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, pada tahun 1981-1987 tingkat pertumbuhan pesantren rata-rata hanya 1,31% per tahun, sedangkan rata-rata pertumbuhan santri sebesar 13,64% per tahun. Pada tahun-tahun tersebut tingkat pertumbuhan santri lebih besar dari pertumbuhan pesantren.
Dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat pertumbuhan pesantren mencapai 12,09% per tahun. Namun demikian pertumbuhan pesantren tersebut tampaknya tidak diikuti oleh tingkat pertumbuhan santri yang hanya 3,67% per tahun. Hal tersebut mendorong munculnya tingkat persaingan antarpesantren untuk meraih santri.
Tingkat persaingan antarpesantren tersebut menjadi tinggi karena adanya tuntutan masyarakat terhadap kualitas pendidikan di pesantren yang demikian kuat. Pesantren harus mampu bersaing tidak saja dengan pesantren lainnya tetapi dengan lembaga-lembaga pendidikan non pesantren. Hal tersebut menjadi tantangan besar bagi pesantren untuk meraih jumlah santri.
Dalam perspektif manajamen pemasaran, pesantren merupakan lembaga penyedia layanan pendidikan sedangkan masyarakat adalah pengguna layanan pesantren atau pelanggannya. Dengan demikian, dalam konteks ini pesantren sebagai lembaga penyedia layanan pendidikan perlu meningkatkan upaya minat santri sebagai pelanggannya dengan berbagai macam strategi pemasaran Berkaitan dengan strategi pemasaran, Gajic menyatakan bahwa tujuan yang mendasar dari strategi pemasaran adalah “to combine competence and other strategies of an educational institution, to coordinate challenges and constraints of the environment and to find best ways to realize its missions and vision” .
Dengan kata lain strategi pemasaran bukan merupakan satu-satunya strategi melainkan sebagai pendukung dari strategi lainnya untuk mengkoordinasikan tantangan dan kendala lingkungan dan untuk menemukan cara terbaik untuk mewujudkan misi dan visi pesantren.
Strategi pemasaran pendidikan pada dasarnya bukan sekedar bagaimana menawarkan dan “menjual” layanan pendidikan agar masyarakat mendaftar dan belajar di lembaga pendidikan tersebut melainkan bagaimana menyusun strategi yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan terhadap pendidikan. Namun demikian, orientasi pasar (market oriented) di bidang pendidikan (terutama pesantren) harus dibedakan dengan konsep orientasi pasar di bidang ekonomi dan pasar. Hal tersebut dikarenakan pendidikan memiliki nilai-nilai dan filosofis yang kuat dan tidak boleh diabaikan karena atas dasar tuntutan pasar.
B. Pesantren Perspektif Lembaga Penyedia Layanan Pendidikan
Menurut Kotler dan Amstrong layanan adalah “An activity, benefit, or satisfaction offered for sale that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything”.2
Dalam konteks ini layanan merupakan sebuah kegiatan, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan pesantren kepada calon santri atau wali santri sebagai calon pelanggan. Timbulnya transaksi layanan (jasa) tersebut tidak mengakibatkan berpindahnya kepemilikan sebagai halnya yang terjadi pada transaksi sebuah produk.
Selain tidak adanya sifat kepemilikan, sebuah layanan juga bersifat tidak berwujud (intangible), tidak terpisahkan (inseparability), bervariasi (heterogeneity), mudah musnah (perishability)
Dalam perspektif Oveock dan Wright layanan dapat menciptakan nilai dan memberikan manfaat bagi pengguna layanan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai akibat dari membawa perubahan yang diinginkan atas nama penerima layanan. Berbeda halnya dengan produk yang berwujud, layanan (jasa) tidak memiliki wujud benda sehingga tidak dapat dirasakan dengan panca indera. Konsumen hanya dapat merasakan layanan yang diterima setelah ia menggunakan layanan tersebut. Dengan demikian kualitas layanan dapat diketahui setelah penggunaan layanan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan produk yang dapat diketahui kualitasnya dengan menguji coba produk tersebut sebelum membeli.
Layanan tidak dapat dipisahkan dengan penyedia layanan (inseparability) artinya kualitas layanan sangat bergantung kepada siapa yang memberikan layanan. Dalam satu lembaga dapat menghasilkan kualitas layanan yang berbeda jika orang yang memberikan layanan berbeda atau tidak memiliki standar layanan. Bedanya dengan produk, kontrol atas kualitas produk dilakukan begitu produk tersebut jadi. Siapa pun yang mengantarkan atau menjual produk tersebut tidak berkaitan dengan kualitas produk.
Layanan juga seringkali bervariasi atau berubah-ubah (heterogeneity) bergantung kepada siapa, kapan, dan di mana layanan itu diberikan. Selama tidak ada standar layanan maka heterogeneity akan relatif lebih tinggi. Di sisi lain penerimaan layanan yang diberikan dapat dimungkinkan terjadi perbedaan bergantung situasi dan perasaan konsumen sekalipun terdapat standar layanan dari penyedia jasa.
Karakteristik lain dari layanan adalah layanan dinyatakan selesai ketika pihak penyedia layanan memberika jasa kepada pelanggan dan tidak dapat diulang. Misalnya, seorang tenaga kependidikan memberikan layanan dengan sikap yang tidak ramah kepada peserta didik dapat memberikan penilaian negatif peserta didik atas layanan yang diterimanya. Ketika tenaga kependidikan tersebut meminta maaf maka perlakuan tersebut tidak dapat mengubah layanan sebelumnya yang telah diberikan (layanan tersebut sudah “musnah”) yang terjadi hanya bentuk perbaikan layanan.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren merupakan lembaga penyedia layanan pendidikan yang memiliki ciri khusus yaitu tradisi pesantren. Tradisi pesantren ini merupakan pembeda dengan bentuk lembaga pendidikan lain selain pesantren. Melalui tradisi tersebut, pesantren harus dapat memberikan layanan yang baik kepada pengguna layanan (santri, orang tua, dan masyarakat) sebagai bentuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing dengan lembaga pendidikan lainnya
Menurut Zamakhsari Dhoefier, tradisi pesantren tersebut adalah masjid, kyai, santri, pondok, pengajian kitab kuning (kurikulum agama). Berdasarkan hal tersebut maka kualitas layanan pendidikan yang bercirikan pesantren setidaknya harus dapat memberikan layanan yang prima melalui kelima unsur dari tradisi pesantren tersebut.
Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah di pesantren harus dibangun dan dikelola dengan baik guna memberikan layanan yang optimal. Masjid dengan desain yang baik serta lingkungan yang nyaman dan bersih merupakan bentuk dari pelayanan pendidikan pesantren yang baik melalui penyediaan sarana ibadah (masjid). Sebaliknya pengelolaan masjid yang tidak baik memerikan dampak negatif atas layanan yang diberikan pesantren.
Layanan pesantren yang berkualitas juga dapat dilakukan melalui sikap dan perilaku penyedia layanan dalam hal ini kyai dan staf-stafnya. Sikap dan perilaku yang baik mencerminkan bagaimana proses pendidikan disampaikan (delivered) kepada santri dengan baik. Kompetensi pengajar dan staf pesantren lainnya dalam menjalankan tugas juga menjadi penilaian tersendiri bagi santri sebagai orang yang menerima layanan pesantren. Guru yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan siswa seputar ilmu pengetahuan dapat memberikan kepuasan bagi santri. Kepuasan atas layanan tersebut merupakan penilaian (feedback) atas kualitas layanan pendidikan yang diberikan pesantren.
Sikap dan perilaku santri juga menggambarkan penilaian masyarakat terhadap layanan pendidikan yang diberikan melalui tradisi pesantren. Sikap dan perilaku santri yang baik menunjukkan proses pendidikan yang terjadi di pesantren sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hal tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat (orang tua) yang memasukkan anaknya ke pesantren tersebut atau calon santri yang ingin belajar di pesantren itu.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga dituntut memiliki kurikulum yang unggul sebagai daya tarik masyarakat untuk masuk pesantren. Kualitas layanan pendidikan melalui pengajian kitab-kitab agama (kurikulum) perlu dikelola dengan baik sebagai bentuk keunikan dan keunggulan program yang dimiliki pesantren.
Berdasarkan uraian di atas maka sebagai penyedia layanan pendidikan, pesantren perlu melakukan strategi dalam mengelola layanan tersebut melalui tradisi-tradisi pesantren sebagai bentuk pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Jika tradisi pesantren tidak dikelola dengan baik maka tidak menutup kemungkinan layanan pendidikan di pesantren tidak ada bedanya dengan lembaga pendidikan non pesantren. Dengan demikian, apabila tradisi-tradisi pesantren sudah tidak ada maka tidak dapat dikatakan sebagai pesantren sebab tradisi pesantren adalah salah satu faktor pembeda pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
A. PRINSIP-PRINSIP PEMASARAN PESANTREN
1. Pengertian Pemasaran Pesantren
Marketing atau pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang dilakukan oleh sebuah institusi di mana individu dan kelompok sebagai pengguna mendapatkan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Menurut Kotler “marketing is a social and managerial process by which individuals and organizations obtain what they need and want through creating and exchanging value with others”.
Konsep pertukaran tersebut tidak hanya sebatas benda atau jasa yang bersifat menguntungkan secara materi (profitable). Sebagai organisasi non profit, pesantren memberikan layanan, keahlian, keterampilan dan manfaat tertentu kepada individu atau masyarakat, dan sebagai “imbalan” pesantren mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan seperti sumbangan pendidikan atau biaya pendidikan dari masyarakat maupun pemerintah. Konsep pertukaran tersebut dapat dipahami sebagai sebuah pemasaran. Lebih lanjut Kotler menyebutkan pemasaran sebagai the process by which companies create value for customers and build strong customer relationships in order to capture value from customers in return.
Konsep pertukaran tersebut tidak hanya sebatas kepada bentuk transaksional saja, melainkan telah berkembang menjadi sebuah relasi antara penyedia jasa (lembaga pendidikan) dan masyarakat sebagai pengguna jasa. Sebagaimana definisi pemasaran yang diberikan oleh American Marketing Association (AMA), sebagaimana dikutip Zulkarnain, sebagai berikut: “marketing is an organizational function and a set of processes for creating, communicating, and delivering value to customers and for managing customer relationships in ways that benefit the organization and its stakeholders”. Oleh karena itu penekanan pemasaran tidak terbatas kepada peningkatan pendapatan melainkan bagaimana mendapatkan kepuasan pengguna jasa (customer).
Hal tersebut juga dijelaskan oleh Sheth dan Uslay yang menyatakan bahwa kerangka umum (framework) dari sebuah pertukaran adalah kepuasan (satisfaction). Sebagai penyedia jasa layanan pendidikan, pesantren harus mampu menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan santr-santrinya. Melalui layanan pendidikan yang ditawarkan, pesantren harus mampu mewujudkan harapan serta cita-cita santrinya melalui program-program yang ditawarkan.
Bagaimana program-program yang ditawarkan tersebut dapat disampaikan yang pada akhirnya diterima oleh masyarakat, diperlukan sebuah strategi pemasaran. Menurut Hawkins dan Mothersbaugh pemasaran didefinisikan sebagai “all about understanding and anticipating consumer needs and developing solutions for those needs”.
Dari definisi di atas menunjukkan bahwa kata kunci dari sebuah strategi pemasaran adalah bagaimana pesantren dapat memahami kebutuhan peserta dididik. Program-program yang ditawarkan oleh pesantren harus didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut. Melalui program yang ditawarkan tersebut kemudian masyarakat, dalam hal ini santri, “membeli” dan menggunakan layanan yang ditawarkan pesantren yang pada akhirnya akan berdampak kepada tingkat kepuasan santri.
Pesantren yang dapat memenuhi kebutuhan santrinya melalui program-program yang ditawarkan berdampak pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction) yang tinggi. Sebaliknya, tingkat kepuasan santri yang rendah merupakan akibat dari ketidakmampuan pesantren memenuhi kebutuhan santri.
2. Bentuk Strategi Pemasaran Pesantren
Pertumbuhan lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk di antaranya adalah pesantren, mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut membuat tingkat persaingan antarpesantren dan lembaga pendidikan non pesantren menjadi tinggi. Dalam merumuskan strategi pemasaran, ada 5 (lima) hal penting yang perlu dilakukan pengambilan keputusan, yaitu: (1) Analisis progam pesantren dengan kebutuhan masyarakat, apakah program tersebut perlu dipertahankan, dikembangkan, atau dihentikan. (2) Membuat program baru untuk mendapatkan peluang yang baru. (3) Melakukan analisis kompetitor. (4) Menentukan posisi pesantren dibandingkan dengan kompetitor, baik dengan pesantren lain atau lembaga pendidikan lain. (5) Merancang bauran pemasaran.
Untuk memenangkan persaingan tersebut, pesantren perlu memiliki strategi dalam menawarkan program-programnya kepada masyarakat. Beberapa strategi pemasaran dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Unsur strategi persaingan, meliputi:
a. Segmentasi pasar, yaitu tindakan mengidentifikasi dan membentuk kelompok pelanggan secara terpisah. Masing-masing pelanggan ini memiliki karakteristik, kebutuhan produk, dan bauran pasar tersendiri.
b. Targetting, yaitu tindakan memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki.
c. Positioning, yaitu penetapan posisi pasar. Tujuannya adalah untuk membangun dan mengkomunikasikan keunggulan bersaing produk yang ada di pasar ke dalam benak pelanggan.
Strategi pemasaran pesantren melalui pendekatan di atas memfokuskan layanan pendidikan pada target, jenjang, atau tingkat kelompok atau masyarakat tertentu. Strategi segmentasi pasar misalnya, produk atau layanan yang ditawarkan melalui strategi ini hanya difokuskan pada kelompok tertentu. Dalam konteks produk misalnya, ada produk yang dibuat hanya untuk tingkat ekonomi kelas atas, sementara ada produk yang dijual untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal tersebut bergantung pada segmentasi pasar.
Strategi tersebut tampaknya jika digunakan dalam perspektif pendidikan tidaklah tepat karena akan menimbulkan kesenjangan sosial yang tinggi dalam mendapatkan layanan pendidikan. Padahal semua warga negara Indonesia memilik hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Segmentasi layanan pendidikan jelas akan memberikan dampak deskrepansi yang jauh antara “kaum elit” dengan masyarakat bawah yang pada akhirnya menghasilkan tingkatan kualitas yang berbeda. Sehingga akan muncul kesan layanan pendidikan untuk masyarakat kelas bawah menjadi tidak bermutu, sementara menurut Undang-Undang semua masyarakat, termasuk yang tidak mampu secara ekonomi, berhak mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas.
Berbeda halnya jika strategi pemasaran pesantren yang dilakukan melalui penetapan posisi pasar (positioning). Pesantren dapat menggunakan strategi ini dengan menawarkan program-program unggulan dan unik kepada masyarakat di mana program tersebut hanya dimiliki oleh pesantren tersebut (bersifat unik). Misalnya pesantren yang memiliki program kewirausahaan tertentu dan sudah banyak menghasilkan enterpreneur-enterpreneur yang berhasil.
Strategi lain yang dapat dilakukan dalam pemasaran jasa pendidikan adalah melalui unsur nilai pemasaran. Strategi pemasaran ini berkaitan dengan nama, logo, simbol, atau desain, atau kombinasi dari semuanya, yang ditujukan untuk mengidentifikasikan lembaga pendidikan dan membedakannya dengan para pesaing. Merek atau nama lembaga pendidikan mempunyai banyak arti penting buat pelanggan, yaitu:
a. Sebagai identifikasi untuk membedakan antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan yang lain. Melalui identifikasi ini peserta didik dapat mengetahui lembaga pendidikan mana yang dapat memenuhi kebutuhannya;
b. Sebagai garansi atas kualitas lembaga pendidikan. Merek atau nama lembaga yang populer di masyarakat akan memberikan rasa percaya diri kepada calon peserta didik.
c. Merek atau nama lembaga pendidikan dapat memberi arti emosional. Hubungan emosional tersebut dapat ditunjukkan melalui peranserta alumni dalam pengembangan lembaga pendidikan berupa penempatan kerja atau pembangunan gedung atau sumbangan dalam bentuk lainnya.
Menurut De Chernatony dan Riley, sebagaimana dikutip Chapleo, menyatakan “a brand is a multidimensional construct whereby mangers augment products or services with values and this facilitates the process by which consumers confidently recognize and appreciate these values”. Merk memiliki konstruk yang multidimensi sehingga tidak hanya dipahami sebagai sebuah nama, logo, atau sesuatu yang berbentuk fisik melainkan nilai-nilai yang dianut oleh lembaga dalam menyampaikan produk atau layanan kepada pelanggan dapat memberikan bekas di benak pelanggan.
Strategi pemasaran melalui merk atau nama besar pesantren atau nilai-nilai yang dianut memberikan pengaruh positif terhadap minat masyarakat dalam memilih pesantren. Melalui strategi ini nama baik pesantren menjadi garansi kualitas lembaga pendidikan.
Strategi pemasaran lainnya yang banyak digunakan oleh pesantren adalah strategi bauran pemasaran (mixed marketing) pendidikan. Strategi ini kemudian dikenal dengan istilah 4P (Place, Price, Product, Promotion). Keempat unsur strategi bauran tersebut dijelaskan berikut ini.
1. Tempat (Place)
Salah satu strategi bauran pemasaran (marketing mix) adalah strategi tempat di mana pesantren akan didirikan. Perencanaan lokasi di mana pesantren akan didirikan menjadi bagian terpenting mengingat letak yang mudah terlihat dan terjangkau oleh masyarakat sebagai calon pelanggan. Lokasi yang mudah terlihat dan mudah diakses oleh masyarakat menjadikan pesantren, terutama yang baru berdiri, dapat mudah dan cepat dikenal masyarakat.
Tempat (place) adalah bagaimana program yang ditawarkan oleh sebuah pesantren dapat sampai ke pelanggan. Melalui strategi tempat (place) dapat diketahui apakah penyampaian produk atau layanan dapat langsung ke pelanggan atau melalui media atau jaringan lainnya.
Strategi pemasaran melalui strategi lokasi pesantren yang tepat dapat memudahkan aktifitas yang dapat mendukung proses pembelajaran di pesantren tersebut serta layanan pendidikan yang ditawarkan dapat mudah disampaikan kepada pelanggan. Dalam konteks perusahaan Kotler menyatakan bahwa “Place includes company activities that make the product available to target consumers”. Lebih lanjut Kotler dan Amstrong menyebutkan bahwa tempat (place) meliputi 6 (enam) unsur yaitu saluran distribusi (channel), cakupan area (coverage), lokasi (location), persediaan (inventory), transportasi (transportasi), dan logistik (logistic).
Layanan pendidikan pada dasarnya harus dilakukan dengan direct service dimana pesantren melalui kyai atau ustadz memberikan layanan pendidikan secara langsung kepada santri-santrinya. Dengan demikian keberadaan pesantren melalui strategi tempat secara fisik wajib diketahui dan mudah diakses secara fisik. Meskipun pada tahapan tertentu materi pengajaran dapat saja disalurkan (didistribusikan) secara online seperti melalui e-learning.
Dengan demikian, dalam strategi tempat lembaga pendidikan perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti (1) keberadaan lembaga secara fisik harus jelas, (2) kemudahan akses untuk mencapai lokasi pesantren, (3) jarak dengan pesantren atau lembaga pendidikan lain sebagai kompetitor, (4) tingkat kepadatan lalu lintas menuju lokasi, (5) sarana transportasi umum menuju lokasi, (6) keberadaan fasilitas lain yang mendukung proses pembelajaran seperti toko atau pasar yang menjual kebutuhan belajar.
2. Biaya Pendidikan (Price)
Pada sebagian kelompok pelanggan, penentuan biaya pendidikan menjadi sensitif. Penentuan oleh kelompok ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam pengambilan keputusan mereka. Meskipun tingkat persaingan harga (biaya) pendidikan tidak sekuat pada bidang retail dan jasa lainnya akan tetapi biaya pendidikan menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan dalam memilih sebuah pesantren. Oleh karena itu strategi penentuan biaya pendidikan juga tidak dapat diabaikan dalam strategi pemasaran pendidikan.
Perspektif pengelolaan lembaga pendidikan, di Indonesia terdapat 2 (dua) jenis lembaga pendidikan yaitu (1) sekolah atau perguruan tinggi negeri yang dikelola oleh pemerintah, dan (2) sekolah atau perguruan tinggi swasta yang dikelola oleh masyarakat. Dalam hal pembiayaan, sekolah atau perguruan tinggi yang dikelola negara sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah sehingga “harga” yang ditawarkan kepada pelanggan relatif lebih murah bahkan pada tingkatan tertentu bebas biaya atau gratis. Persaingan antar sekolah negeri dari aspek strategi biaya pendidikan tampaknya bukan menjadi dasar dalam memilih sekolah kecuali untuk jenjang perguruan tinggi.
Lain halnya dengan lembaga pendidikan swasta, sebagaimana halnya pesantren, yang secara umum pembiayaan dilakukan oleh masyarakat meskipun ada sedikit bantuan dari pemerintah untuk tingkat pendidikan tertentu. Oleh karena itu strategi penentuan biaya pendidikan pada lembaga pendidikan swasta menjadi hal yang sangat penting terlebih pertumbuhan jumlah lembaga pendidikan swasta yang relatif tinggi yang membuat tingkat persaingan pada lembaga pendidikan swasta menjadi tinggi.
Yang termasuk dalam biaya pendidikan dalam strategi pemasaran pendidikan adalah biaya pendaftaran, SPP, biaya makan, asrama, kesehatan, serta biaya lainnya yang dibebankan kepada santri atau wali santri. Strategi yang dilakukan juga perlu mempertimbangkan biaya operasional (cost) pesantren.
Untuk pesantren yang menyelenggakan lembaga pendidikan formal penentuan biaya pendidikan (price) tidak boleh mengorbankan standar pelayanan minimal yang telah ditentukan oleh pemerintah melalui Permendiknas No. 15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar serta perubahannya melalui Permendikbud 23 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Permendiknas No. 15 Tahun 2010.
Menurut Ihlanfeldt dalam Gajic dalam strategi biaya pendidikan lembaga lembaga pendidikan harus mempertimbangkan 3 (tiga) hal. Pertama, efek kebijakan biaya pendidikan yang diberikan terhadap visi dan misi lembaga pendidikan. Kedua, efek dari kebijakan biaya pendidikan yang diberikan pada saat pendaftaran. Ketiga, kebijakan biaya pendidikan tersebut dapat mendorong percepatan lembaga pendidikan.
Selain mempertimbangkan ketiga hal di atas, dalam penentuan strategi penetapan biaya pendidikan lembaga pendidikan perlu mempertimbangkan sasaran yang dibuat. Pertama, biaya (price) yang dibebankan kepada santri tidak membebani pesantren dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dan setidaknya dapat mengembalikan investasi biaya operasional pendidikan. Kedua, penentuan biaya (price) berorientasi pada peningkatan pemasaran pendidikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah pelanggan pendidikan. Ketiga, penentuan biaya (price) mempertimbangkan strategi biaya yang dilakukan oleh kompetitor baik dengan lembaga pendidikan swasta maupun negeri.
3. Produk Pendidikan (Product)
Produk dapat diartikan sebagai sesuatu yang ditawarkan kepada pelanggan (customer) agar dikonsumsi, digunakan, dan diperhatikan yang bertujuan untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan pelanggan. Bentuk dari suatu produk dapat berupa fisik (tangible) maupun non fisik (intangible) seperti gagasan atau program.
Dalam konteks pendidikan, produk pemasaran pendidikan berupa kurikulum atau program yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Program adalah jasa atau kegiatan yang memungkinkan lembaga pendidikan mendapatkan nilai tambah yang dapat dibedakan menjadi program ini (core product) dan program pendukung.
Melalui program-program yang ditawarkan pesantren, masyarakat, dalam hal ini santri atau calon santri, dapat mempertimbangkan pilihan yang ditawarkan serta memberikan penilaian dengan cara membandingkan dengan program-program yang ditawarkan oleh pesantren atau lembaga pendidikan lainnya baik melalui informasi yang diterima maupun berdasarkan pengalaman dirinya.
Pesantren yang memiliki program unggulan biasanya banyak diminati masyarakat dan menjadi kebanggaan tersendiri apabila ia diterima di pesantren tersebut. Dalam arti lain bahwa program-program yang ditawarkan oleh pesantren dapat menjadi daya saing (competitive advantage) dengan pesantren atau lembaga pendidikan lainnya.
Menurut Tjiptono, terdapat empat tingkatan produk (program) yang ditawarkan kepada pelanggan. Pertama, produk inti (core product). Produk atau program inti merupakan pembeda yang mendasar antara institusi jenis tertentu dengan lembaga lainnya, misalnya lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan. Produk inti dari lembaga pendidikan adalah layanan pendidikan, sedangkan produk inti dari lembaga keuangan adalah produk dan layanan keuangan.
Kedua, produk dasar (basic product). Basic product lembaga pendidikan suatu program misalnya pengetahuan atau keterampilan yang memiliki ciri khas. Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan merupakan produk dasar lembaga pendidikan yang harus dipenuhi. Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa lembaga pendidikan wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Lembaga pendidikan yang telah memenuhi ketentuan tersebut dalam konteks ini baru memenuhi basic product / programme.
Ketiga, expected product. Program yang diharapkan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan sesuai dengan tingkat kebutuhan mereka menjadi perhatian utama lembaga pendidikan dalam menawarkan program-programnya. Lembaga pendidikan yang memiliki expected programme dalam melakukan perencanaannya tidak hanya cukup sampai pada tingkatan memenuhi standar minimal melainkan lebih mengedepankan kebutuhan pelanggan akan pendidikan.
Keempat, augmented product merupakan program unggulan yang menjadi daya saing sekaligus pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Melalui program unggulan lembaga pendidikan mendapatkan sumber daya terbaik di satu sisi dan mendapatkan nilai kepercayaan masyarakat di sisi lain. Tingkat kepercayaan tersebut menjadi nilai daya saing yang lain. Dengan demikian dengan program unggulan yang dimiliki oleh lembaga menjadikan nilai tambah dan menjadi harapan masyarakat untuk dapat belajar di lembaga pendidikan tersebut.
4. Promosi (Promotion)
Menurut James F, sebagaimana dikutip Boyd, menyatakan bahwa strategi promosi berarti suatu program yang terkendali dan terpadu melalui metode komunikasi dan menggunakan material yang dirancang untuk mengadirkan institulis dan produknya kepada calon pelanggan; menyampaikan ciri-ciri produk yang memuaskan kebutuhan untuk mendodrong penjualan yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada kinerja laba jangka panjang.
Pada dasarnya promosi merupakan bentuk komunikasi pemasaran yang bertujuan untuk membujuk, memengaruhi orang lain untuk bersedia menerima, membeli, atau menggunakan program yang ditawarkan melalui penyebaran informasi. Dalam arti lain, promosi adalah bentuk kegiatan yang bertujuan agar produk atau layanan yang ditawarkan dapat diketahui oleh konsumen.
Berdasarkan hal tersebut maka pada dasarnya promosi pesantren memiliki tujuan: (1) membangun minat masyarakat agar memilih (mendaftar) pesantren dan menjadikan lembaga tersebut sebagai tempat studi, (2) memberikan informasi program yang unggul dari pesantren atau lembaga pendidikan yang menjadi kompetitor, (3) menjelaskan keunikan yang ditawarkan pesantren dari lembaga lainnya, (4) membujuk masyarakat untuk mendaftar dan menjadikan pesantren yang ditawarkan sebagai tempat studi.
Dalam menyusun strategi promosi, pesantren dapat menggunakan strategi AIDA (Attention, Interest, Desire, Action). Strategi tersebut pada dasarnya menjelaskan bagaimana tahapan masyarakat ketika memilih dan menggunakan sebuah produk atau layanan.
Pada tahapan pertama, individu atau masyarakat yang belum mengenal pesantren perlu diberikan perhatian. Bentuk perhatian tersebut dapat berupa sesuatu yang unik, misalnya desain bangunan atau asrama yang unik, warna gedung yang menarik perhatian, atau melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengundang masyarakat seperti peringatan hari besar Islam (PHBI) atau santunan anak yatim, dan sebagainya.
Ketika individu sudah memberikan perhatian terhadap layanan yang ditawarkan maka selanjutnya menyusun strategi bagiamana mereka dapat menggugah minat mereka. Keingintahuan terhadap layanan yang ditawarkan merupakan salah satu bukti bahwa seseorang telah memasuki tahapan interest dari promosi yang ditawarkan.
Ketertarikan seseorang terahadap penawaran yang diberikan dapat terjadi melalui media promosi yang disediakan oleh pesantren, seperti brosur, leaflet, website, sosial media elektronik, dan media promosi lainnya. Setelah individu sudah merasa tertarik terhadap layanan pendidikan yang ditawarkan maka strategi berikutnya adalah bagaimana mendorong individu tersebut untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Pada tingkatan desire (hasrat) ini maka seseorang atau calon pelanggan memiliki keinginan untuk datang ke pesantren dan mencari informasi apakah informasi yang didapat benar-benar sesuai dengan yang diinginkan dan diharapkan calon pelanggan. Jika harapan yang dimiliki calon pelanggan dapat diperoleh melalui penawaran tersebut dalam perspektif calon pelanggan maka tahapan selanjutnya ia akan mendaftarkan diri di pesantren tersebut. Pada tahapan ini lah terjadi action di mana hasrat yang ada pada diri calon pelanggan direalisasikan dalam bentuk penerimaan penawaran yang diberikan oleh pesantren
C. PENUTUP
Tradisi pesantren sebagai nilai-nilai sebuah pesantren pada dasarnya menjadi salah satu keunggulan pesantren dari lembaga pendidikan lainnya yang bukan pesantren. Melalui tradisi-tradisi tersebut dan dipadukan dengan program-program pesantren yang bersifat unik dan strategi pemasaran yang tepat dapat meningkatkan daya saing pesantren, tidak hanya antarpesantren melainkan dengan lembaga pendidikan lainnya.
Hal tersebut menjadi tantangan bagi pengelola pesantren untuk menciptakan program-program yang dibutuhkan masyarakat. Program-program tersebut tidak saja dapat menyerap lapangan pekerjaan sebagai outcome pesantren, akan tetapi program-program yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
(adm_Staida/Idham)