Karunia sumberdaya alam adalah bekal untuk dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sesungguhnya ia merupakan diwarisan bagi orang-orang yang bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bukan kepada mereka yang hanya mengeksplorasi semena-mena.
Pesantren Darunnajah Cipining ditakdirkan terletak di pedesaan, yang tanahnya bisa ditanami tumbuh-tumbuhan. Baik tumbuhan yang menjulang dan rimbun dedaunnya, maupun tumbuhan-tumbuhan kecil dan semusim.
Tanaman-tanaman semusim ini berbagai macam jenisnya, termasuk salah satu diantaranya cabai yang merupakan kebutuhan dalam masak-memasak dan hampir setiap keluarga memerlukannya.
Cabai dapat ditanam di tempat yang lapang maupun sempit, sesuai dengan kebutuhan dan lahan siap pakainya. Bila ketersediaan tanahnya luas dan memungkinkan dari segi pembiayaan dan penunjang lainnya, maka cukup menjanjikan untuk dibudidayakan.
Namun jika ketersediaan lahannya sempit dan kebutuhannyapun cukup sederhana, maka cabai cukup ditanam di polybag-polybag saja, yang dari segi umur hidupnya bisa mencapai setahun atau dua tahun.
Lonjakan harga cabai kian hari kian meroket. Di sisi lain, cabai juga sebagai sumber bumbu pokok masakan dapur. Terlebih lembaga pendidikan berasrama seperti halnya pesantren masih banyak menggantungkan bahan baku ini. Hampir mustahil rasa pedas didapat selain daripada cabai.
Tidak jarang pula keluarga atau rumah tangga yang membutuhkan cabai. Ada yang kuantitasnya besar bila dipakai untuk berdagang, tetapi juga ada sedikit saja pemakainnya, sekedar untuk dikonsumsi sekeluarga saja.
Bibit cabe instan bisa dibeli di took-toko pertanian. Bisa juga disemai sendiri dari cabai-cabai yang sudah merah/tua, tergantung dari varian cabai mana yang disukai dan sering digunakan.
Untuk memenuhi permintaan tersebut, dan juga mengurangi budget belanja dapur, maka KH. Jamhari Abdul Jalal dengung-dengungkan kemandirian cabai bagi pesantren maupun bagi guru-guru keluarga termasuk guru bujang dan santri.
Mengingat tanah Cipining luas, cabai mudah dan bisa tumbuh diberbagai sudut tanah pesantren, perawatan gampang dan modalpun tidak terlalu tinggi. Rugi sekiranya tidak memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah ini.
Maka beliau memulai menanam cabai-cabai tersebut di depan wisma kampus satu dan kampus tiga sebagai pilot project (percontohan). Kebijakan selanjutnya adalah, setiap guru yang sudah berkeluarga untuk menanam sekurang-kurangnya sepuluh pohon cabai, baik itu di dalam polybag maupun di tanah langsung.
Beberapa guru keluarga kini sudah mulai menanam cabai, bahkan ada beberapa orang yang menanam sayur-sayuran seperti terong, kangkung dan bayam. Kira-kira pada usia 100 hari bisa menikmati hasilnya, dan tentunya mengurangi pengeluaran.
Bila seorang guru keluarga bisa menanam lebih banyak, dan tidak habis atau tidak dikonsumsi sendiri, maka bisa disedekahkan kepada yang lain, atau bahkan bisa jadi profit baginya dengan cara dijual ke dapur umum pesantren dengan harga pasaran.
Pak Jamhari menegaskan, bila setiap keluarga bisa menghasilkan cabai tanpa harus membeli lagi, maka pesantren akan melimpah cabai dan semua mendapatkan berkahnya. Berkah karena limpahan cabai dan berkah karena cabai tersebut bisa dimaksimalkan kemanfaatannya.
Tidak hanya itu, impian Pak Kiyai adalah bagaimana pesantren-pesantren serupa, yang posisinya mempunyai lahan lapang luas, di pedesaan, maka tanaman ini bisa dijadikan sebagai alternatif untuk menambah income lembaga pendidikan pesantren, sekurang-kurangnya pesantren tidak beli cabai. Itulah hakikat sesungguhnya mensyukuri lahan luasnya.
Tidak mustahil kebijakan ini bisa diaplikasikan pada pesantren-pesantren di bawah Yayasan Darunnajah, yang hampir seluruh cabangnya berada pada daerah pedesaan atau mempunyai lahan untuk bisa dimanfaatkan untuk menanam cabai.
Mudah-mudahan Pesantren Darunnajah Cipining pada tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya bisa mandiri cabai, dilanjutkan dengan kemandirian-kemandirian lainnya melalui Biro Usaha yang secara bertahap akan terus mengembangkannya.[Wardan/Amins]