Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Peristiwa Fitnah Sampai Akhir Tragedi Perang Unta (Bagian 3)

Masjid Pesantren Darunnajah Cipining
Masjid Jami' Darunnajah 2 Cipining

Pemaparan Riwayat Abu Said

Riwayat shahih yang pertama dan terpenting adalah riwayat Abu Said Maula Abu Usaid As-Sa’idy Al-Anshari. Abu Said ini telah menyaksikan sendiri peristiwa itu, dan seperti dinukil dari Abu Nadhrah, ia juga mengetahui para tokoh didalamnya dan sempat berkumpul dengan mereka seperti Thalhah dan Ali bin Abu Thalib. Bahkan Abu Nadhrah yang menukil dari Abu Said ini hidup berdekatan dengan masa peristiwa Jamal (perang Unta), atau mungkin ikut serta didalamnya. Dan peristiwa ini terjadi setahun setelah terbunuhnya Utsman.

Dari sini komentar apa yang bisa dilontarkan terhadap sebuah riwayat dengan sanad yang baik yang dinukil dari orang yang sezaman dengan peristiwa dan berdekatan darinya, bahkan mungkin ikut serta didalamnya, kemudian penukilannya melalui orang yang menyaksikannya atau melihat sendiri bagian dari peristiwa tersebut; bukankah layak untuk bisa dijadikan asas sandaran? Tentu saja jawabannya: Iya. Apalagi jika ditambah kepercayaan akan riwayat ini dengan ukuran lain, seperti kecocokannya dengan potongan-potongan berita tentang kejadian yang terlihat tampak pada kitab-kitab hadits shahih, dan juga sejalan dengan alur dua riwayat lainnya yang menggunakan saksi-saksi langsung pada kejadian, yang kemudian menghapus keraguan terhadap riwayat Abu Said ini.

Berikut, teks dari riwayat tersebut yang dimulai dengan pemberitaan utusan Mesir yang datang ke Madinah dengan membawa protes ketidakpuasan terhadap tindakan Utsman di tahun-tahun kekhilafahannya yang terakhir:

Bagian pertama: Pertemuan antara Utsman dan utusan dari Mesir yang memprotesnya.

“Tatkala Utsman mendengar bahwa utusan penduduk Mesir telah menuju kepadanya, maka ia ingin menyambutnya di sebuah kampung yang terletak di luar kota Madinah. Ketika mereka mendengar rencana tersebut, maka utusan itu bertemu ke tempat yang Utsman sudah ada di situ, karena ia tidak senang mereka menemuinya di kota Madinah. Maka datanglah mereka dan berkata kepadanya: “Ambilkan sebuah mushaf Al-Quran”, maka Utsman pun mengambilnya, kemudian mereka berkata: “Buka Surat ketujuh!” Dan mereka menyebut surat Yunus dengan surat ketujuh. Maka dibacakan surat itu oleh Utsman sampai pada ayat berikut:

“Katakanlah apakah kamu sekalian melihat apa yang telah Allah turunkan bagimu sekalian dari rezeki, kemudian jadikan hal itu haram dan halal. Katakan hanya Allah-lah yang mengizinkan itu semua atau kepada Allah kamu sekalian akan berbuat berdusta. ” Maka mereka berkata: “Berhenti! Bukankah engkau melarang para penggembala mengembalakan hewan dimana untamu ada didalamnya?? Apakah Allah yang mengizinkanmu atau kepada Allah kamu berdusta?” Maka Utsman berkata: “Saya akan melaksana-kannya, ayat ini diturunkan dalam hal ini dan ini. Sedang tentang wilayah terlarang yang kalian maksud itu sebenarnya Umar telah menetapkannya sebelumku untuk setiap unta sedekahan. Adapun ketika aku memerintah bertambahlah jumlah unta sedekahan, maka aku tambahkan tempatnya sesuai pertambahan unta sedekahan tadi. Dan saya akan tetap melaksanakannya.

Masjid Pesantren Darunnajah Cipining
Masjid Jami Darunnajah Cipining

Namun mereka tetap mendesak Utsman dengan ayat itu, namun Utsman tetap mengatakan: “Saya akan tetap melaksanakannya, ayat itu turun dalam perkara ini dan ini.” Pada waktu itu yang berbicara dengan Utsman adalah pemuda berumur tigapuluh tahunan. Kemudian mereka mengkritiknya dengan hal-hal yang ia tidak punya jalan keluar darinya. Dan Utsman pun mengakuinya, ia kemudian berguman: “Saya memohon ampun dan bertaubat pada Allah.” Lalu ia katakan kepada mereka: “Apa yang kalian inginkan?” Mereka menjawab: “Kami akan meminta perjanjian darimu.” Kemudian mereka tuliskan persyaratan yang harus dipenuhi Utsman, sementara Utsman mengambil janji mereka untuk tidak melakukan pemberontakan, juga tidak memisahkan diri dari jamaah (kaum muslimin) apabila Utsman telah menjalankan syarat mereka, atau sesuai dengan yang mereka sepakati. Dan Utsman berkata kepada mereka: “Apa yang kalian inginkan?” Mereka berkata: “Kami ingin penduduk Madinah tidak mengambil pemberian tersebut.” Utsman menjawab: “Tidak! Sesungguhnya harta ini diperuntukkan bagi orang yang berperang dan orang terdahulu dari para sahabat Rasulullah.” Mereka pun ridha akan keputusan itu dan mereka pun masuk ke kota Madinah dengan hati yang lapang.

Kemudian Utsman berdiri untuk berkhutbah seraya berkata: “Sungguh demi Allah tidak pernah saya melihat utusan di muka bumi ini yang lebih tahu tentangku daripada utusan yang datang kepadaku ini.” Dan sekali lagi ia mengatakan: “Aku khawatir akan utusan dari penduduk Mesir ini, maka barangsiapa memiliki tanaman maka segeralah ia menyusulnya, dan barangsiapa memiliki hewan perahan maka segeralah ia memerah susunya. Ingatlah! Tidak ada harta kalian pada kami, karena harta ini diperuntukkan bagi yang berperang atau para pendahulu dari sahabat Rasulullah. ” Maka marahlah semua orang, dan mereka berkata: “Ini adalah makar orang-orang Bani Umayyah.”

Ini adalah bagian pertama dari teks riwayat. Didalamnya tampak bahwa Utsman dan orang-orang yang datang dari Mesir mengambil hukum antara mereka dengan Al-Qur’an. Hal ini persis seperti apa yang ada di potongan teks lain dengan sanad shahih dari Muhammad bin Sirin, seorang alim yang masyhur, dimana dikatakannya: “Maka tatkala ditawarkan kepada mereka Al-Qur’an maka mereka menerimanya.” Dan tampak di, dalamnya juga beberapa syarat dan bukan seluruhnya. Adapun sisa dari syarat tersebut dan pembatasannya dalam komentar Ibnu Sirin sebagai berikut: “Dan mereka mensyaratkan bahwa sesuatu yang ternafikan akan dibalikkan, dan yang tadinya dilarang akan diberikan, dan akan dipenuhi fai’, dan akan dalam pembagiannya, dan akan diangkat orang yang memiliki kekuatan dan amanah.”

Dan perlu kita tunjukkan di sini bahwa bagian pertama dari teks ini menunjukkan bahwa Utsman tidak bisa melepaskan diri dari segala perbuatan-perbuatannya kepada utusan Mesir tersebut, dan sebenarnya masalah mendasar adalah masalah pembagian harta hasil futuhaat (pembukaan wilayah baru); yaitu masalah amat penting seperti yang akan lihat.

Bagian kedua: Ditemukannya surat bercap tandatangan Utsman berisi perintah untuk membunuh beberapa orang dalam utusan Mesir

“Kemudian para utusan Mesir itu kembali dengan segala kerelaan. Namun di tengah jalan mereka mendapatkan seorang pengendara menghalangi mereka kemudian memisahkan diri, kemudian datang kembali kepada mereka, kemudian memisahkan diri dan kadang mendahului mereka. Lalu mereka menghardik pengendara tadi: “Ada apa, jika ada urusan apa maumu?” Dia menjawab: “Saya adalah utusan Amirul Mukminin kepada gubernurnya di Mesir.” Mereka pun menggeledahnya, ternyata mereka menemukan sebuah surat yang didiktekan oleh Utsman untuk gubernurnya, dan di situ ada stempelnya: agar ia menyalib mereka (para utusan) atau membunuhnya, atau memotong tangan dan kaki mereka karena pembangkangan mereka.” Maka para utusan itu berputar kembali, sesampainya mereka di kota Madinah mereka mendatangi Ali seraya berkata: “Apakah dirimu tidak melihat jelas musuh Allah? Sungguh Utsman telah menulis tentang kami begini dan begitu… Maka sesungguhnya Allah telah menghalalkan darahnya. Untuk itu berdirilah, wahai Ali, untuk menemuinya bersama kami!” Ali Radhiyallahu Anhu berkata: “Demi Allah, saya tidak akan pergi bersama kalian”. Maka mereka berkata: “Jadi kenapa engkau, ya Ali, menulis (sebuah surat) kepada kami?” Ali menjawab: “Demi Allah, saya tidak pernah menulis surat apapun kepada kalian.”

Kemudian para utusan itu saling memandang satu sama lainnya, lantas sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: “Hanya karena inikah kalian akan berperang atau hanya gara-gara inikah kalian marah?” Kemudian Ali bergegas bangkit dan keluar dari kota Madinah menuju sebuah kampung, sedang mereka bergerak pergi menemui Utsman, kemudian berucap: “Engkau telah menulis tentang kami begini, dan begitu.. Lantas dijawab oleh Utsman: “Sungguh hanya ada dua pilihan: kalian datangkan dua orang saksi dari kaum muslimin, atau kalian ambil sumpah dariku dengan nama Allah Yang tidak ada Tuhan melainkan Dzat-Nya, bahwa saya tidak pernah menulis (surat), atau memberi catatan, atau mengetahui hal tuduhan itu. Dan kalian tahu bahwa sebuah surat bisa ditulis atas dasar omongan orang, dan stempel bisa diukir (ditiru) dengan stempel lain!” Mereka berkata: “Demi Allah, telah Allah halalkan darahmu, telah berakhirlah perjanjian dan kesepakatan kita!” Kemudian mereka mengepung Utsman.

Pada bagian kedua ini terlihat amat penting, dimana terbongkar beberapa fakta-fakta yang selama ini nampak kabur dan buram. Yang pertama adalah kisah si-pengendara. Pada kisah tadi terdapat keanehan dan keganjilan. Semestinya pengendara tadi bukan sembarang utusan yang dikirim untuk misi rahasia, sehingga ia diminta untuk menghindari siapa pun di tengah perjalanannya, juga menyampaikan tujuannya tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya, sebagaimana perihal para utusan yang membawa sebuah perintah penting maka ia pun semestinya tidak mengetahuinya. Namun si pengendara dalam kisah tadi bermaksud agar misinya bisa diketahui, maka tampak ia menghalangi para utusan Mesir itu, kemudian menjauh, lantas kembali lagi, terus berpisah jauh dan kadang mendahului mereka. Siapakah orang yang melakukan hal seperti ini? Bukankah orang yang ingin mencari perhatian dan menimbulkan tanda tanya, dan jika mendapat perhatian maka ia akan ditanya apa sebenarnya yang ada padanya. Seakan-akan ia ingin mengatakan: “Lihatlah kepada diriku, ketahuilah aku, tanyalah diriku tentang apa yang ada padaku!” Dan memang terjadi demikian, si-pengendara itu ditangkap dan ditanya. Dan akan terlihat pada teks riwayat lain, bagaimana bahwa perkara utusan ini bukan seperti biasanya, melainkan direncanakan oleh sebagian dari utusan-utusan Mesir itu sendiri.

Fakta kedua yang tersingkap dari bagian kedua ini adalah tentang Ali bin Abu Thalib. Dan para utusan Mesir itu telah menunjukan kepadanya surat yang mengajaknya untuk pergi ke Madinah mendatangi Utsman, padahal surat tersebut tidaklah benar adanya. Sehingga Ali mengatakan: “Demi Allah saya tidak pernah sama sekali menulis surat kepada kalian.” Maka di sana terdapat pemalsuan mengatasnamakan lisannya, dan surat yang tertulis atas namanya untuk menggugah dan menggerakkan orang.

Dan surat yang tertulis atas nama Ali tersebut bukanlah satu-satunya, pada teks riwayat lainnya yang disandarkan kepada Ibnu Katsir: “Masruq berkata kepada Aisyah Radhiyallahu Anhu: “Perbuatan ini (pembunuhan Utsman) adalah perbuatanmu. Kamu telah menulis surat kepada orang banyak dan menyuruh mereka untuk memberontak kepada Utsman.” Maka dijawab oleh Aisyah: “Tidak, Demi Dzat yang diimani kaum mukmin dan dikafiri kaum kafir, saya tidak pernah menulis kepada orang-orang itu noda hitam di atas kertas putih sampai saya duduk pada majlisku ini.” Dan dikomentari oleh Al-A’masy: “Mereka menganggap bahwa surat itu ditulis dengan mengatasnamakan lisannya (Aisyah).”

Fakta ketiga yang tampak pada bagian kedua dari teks riwayat ini adalah bahwa Utsman setelah menafikan dirinya menulis surat tersebut, ia mengalihkan perhatian bahwa stempel yang tertera bukanlah stempelnya, melainkan stempel buatan yang terukir persis seperti stempelnya. Dan ini adalah bentuk dari pemalsuan yang mungkin terjadi. Dan dari perkataan ini menguatkan siapa pihak yang mengirim surat tersebut. Maka di sini pengirimnya bukan sosok yang ingin menjebloskan para utusan tadi di tangan gubernur Utsman di Mesir. Atau dengan kata lain, pengirimnya bukanlah Marwan yang membawa stempel Khalifah dan menuliskan namanya, seperti yang diisyaratkan beberapa riwayat tertulis versi Al-Waqidy dan lainnya dari para sejarawan yang tergolong lemah untuk peristiwa ini. Maka Utsman menafikan bahwa surat tersebut terstempel dengan stempelnya sendiri.

Tiga fakta ini telah menjelaskan kepada kita bahwa di balik kejadian ini terdapat konspirasi dan rekayasa yang terencana, dan para pelakunya bukanlah-seperti yang diklaim oleh beberapa teks-teks palsu- para shahabat yang berada di Madinah, seperti Ali, Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Melainkan mereka adalah pemeran-pemeran palsu yang tidak menampakkan diri, dan nantinya segala upaya mereka akan jelas kemudian.

Bagian ketiga: Penolakan utusan Mesir pemberian air dari Utsman dan diskusinya dengan mereka.

Suatu hari Utsman sedang melakukan pengawasan dan ia mengucapkan: “Assalamu’alaikum.” Kebetulan tidak seorang pun yang mendengar apalagi menjawabnya, kecuali Utsman menjawabnya sendiri. Kemudian ia berkata: “Demi Allah, apakah kalian tahu bahwa saya telah membeli sumur tempat minum dengan hartaku agar dengannya bisa terlepas dahaga, kemudian aku buat tali-tali milikku yang ada pada sumur tersebut seperti juga tali orang muslimin?” Mereka menjawab: “Benar.” Utsman berkata: “Maka atas dasar apa kalian melarang saya untuk meminum darinya sampai saya sarapan dengan air laut.” Lantas disambung: “Demi Allah, apakah kalian tahu bahwa saya pernah membeli ini dan itu dari sebidang tanah kemudian saya menambahnya dalam masjid?” Mereka menjawab: “Iya.” Lalu ia berkata: “Apakah kalian tahu bahwa ada seseorang telah dilarang untuk shalat sebelum saya (juga) dilarang?” Utsman menambahkan: “Demi Allah, apakah kalian mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan ini dan itu -segala sesuatu tentang urusannya- dan Allah sebutkan hal tersebut dalam Kitab-Nya (Al-Quran) yang sempurna…?” Maka tersebarlah berita larangan tersebut, sehingga membuat orang banyak mengatakan: “Pelan-pelanlah, wahai Amirul Mukminin.” Dan tersebarlah berita larangan itu, dan saat itu juga berdirilah Asytar atau di hari yang lain, lalu berkata: “Mungkin telah terjadi pemakaran terhadap dirinya dan diri kalian.” Maka banyak orang yang mengiyakan dan seide sampai bertemu ini dan itu. Kemudian Abu Said Maula Abu Usaid yang menceritakan kisah ini mengatakan: “Saya telah melihat Utsman mendatangi para utusan itu pada suatu kali, kemudian ia menasehati mereka dan mengingatkannya. Namun mereka tidak mengindahkan nasehatnya. Sedang kebanyakan orang umumnya memperhatikan nasehatnya pada awal hal itu didengarnya, namun mereka meski nasihat itu diulang, mereka tidak mempedulikannya.”

Bagian ketiga dari teks riwayat ini di dalamnya mengisyaratkan juga adanya rekayasa yang diarahkan kepada Usman, yaitu tatkala dikatakan oleh Malik Asytar dimana ia telah memainkan peranan besar setelah itu: “Nampaknya telah terjadi makar terhadap Utsman dan diri kalian.” Adapun yang ada dibagian ini dari persaksian Utsman terhadap beberapa pekerjaan yang dilakukannya pada masa Rasulullah, maka bisa dilihat pada kitab-kitab Ash-Shihah menunjukkan persaksian tersebut dengan teks-teks yang terputus-putus yang terdapat pada sanad-sanad lainnya. Dan diantaranya ada yang bunyinya mirip seperti teks tersebut dan ini menunjukkan akan keshahihannya.

Bagian keempat: Mimpi Utsman melihat Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam di saat tidurnya dan masa penantian Kematiannya.

“Kemudian ia membuka pintu dan meletakkan Al-Quran diantara kedua tangannya, dan pada saat itu ia melihat di tengah malam bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertutur: “Hersantaplah bersama kami malam ini.”

Pada bagian ini oleh Abu Said peristiwa ini dikisahkan dengan singkat, namun hal itu tidak melebihi apa yang dilihat Utsman sesungguhnya di dalam tidurnya,-beberapa riwayat lain yang banyak menyebutkan dengan jalan bermacam-macam, dan disebut oleh Ibnu Asakir versi lainnya melalui beberapa sanad. Dan sebagian menyebutnya tanpa sanad Imam Ath-Thabari. Dan keyakinan Utsman akan apa yang ia lihat dalam mimpinya serta penyerahannya kepadanya, memberi tafsiran bahwa beliau memang memerintahkan agar para shahabat dan para pembelanya untuk segera pulang ke rumah-rumah mereka; seperti terlihat pada banyak teks dari jalur yang bermacam-macam yang disebutkan oleh Ibnu Asakir.

Bagian kelima: Bagaimana Utsman dibunuh dan siapa yang membunuhnya?

“Lalu masuklah kepada Utsman seseorang laki-laki, seraya ia berkata: “Antara diriku dan dirimu Kitabullah”, kemudian laki-laki itu keluar dan meninggalkannya. Lantas masuk kepadanya laki-laki lainnya sambil berkata: “Antara diriku dan dirimu Kitabulllah”, sedangkan sebuah mushaf Al-Quran ada ditangannya. Maka diayunkan kepadanya sebilah pedang, kemudian ditepislah dengan tangannya sampai terpotong, -tidak tahu persis apakah hanya menciderainya atau sampai memotongnya, tidak ada keterangannya-. Maka ia (Utsman) berkata: “Demi Allah pada tapak tangan inilah pertama Al-Quran aku tulis.” Dan putri Farafashah mengambil tubuh suaminya dan diletakkan di kamarnya, dan itu sebelum ia terbunuh, maka ketika terasa dan terbunuh maka ia keringkan darah darinya. Maka sebagian mereka mengatakan: “Semoga Allah membunuh istrinya, lihatlah betapa tuanya ia.” Maka segera ia mengetahui bahwa musuh-musuh Allah tidak menginginkan apapun kecuali dunia.”

Sampai bagian ini maka tuntaslah apa yang disebutkan oleh Abu Said dalam riwayat pembunuhan Utsman. (WARDAN/Red)

Pendaftaran Santri Baru