Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Peristiwa Fitnah Sampai Akhir Tragedi Perang Unta (Bagian 1)

Masjid Kampus 3 Pesantren Darunnajah Cipining
Masjid Kampus 3 Pesantren Darunnajah Cipining

Kritik Terhadap Sumber Rujukan dalam Peristiwa Fitnah

Tidak ada diantara rentetan peristiwa sejarah umat kita (Islam) satu peristiwa pun yang mencapai polemik seperti kejadian yang menyebabkan kematian Khalifah Utsman bin Affan, hingga tragedi Perang Unta dan Shiffin. Bahkan peristiwa ini dinamakan sebagai fitnah karena terjadi fitnah sesama manusia. Dan ia benar-benar menguji tingkat keberagamaan, akhlak dan keteguhan mereka dalam prinsip dan akidah. Peristiwa itu betul-betul merupakan fitnah yang mencabik-cabik umat menjadi kelompok dan golongan, dan merupakan awal pertentangan dan perselisihan dalam Islam. Bahkan setiap orang dapat diketahui posisinya dari kejadian ini dengan pertanyaan: “Apa pendapatmu tentang peristiwa Utsman, apakah terbunuh karena ia zhalim atau terzhalimi?” Dan dari jawabannya akan diketahui, dari kelompok mana ia.

Sumber-sumber tentang fitnah dan pemberitaan mengenainya sangatlah banyak memenuhi isi kitab-kitab yang berjilid. Dan memberi gambaran buat pembaca bahwa di dalamnya akan didapati rincian kejadian dengan amat detail, lengkap beserta tokoh-tokohnya, perkembangan, dan prediksinya. Beberapa penulis sejarah kontemporer telah amat banyak menulis tentang peristiwa ini, sehingga mereka sampai pada kesimpulan yang bermacam-macam dan pada posisi yang berbeda-beda. Karena setiap orang mendapatkan dari peristiwa itu apa yang mendukung pendapat dan prediksinya, juga yang menyokong opini dan kecenderungannya antara pendukung Utsman atau penentangnya, dan antara sangsi terhadap posisinya atau menjadi pembelanya, serta antara penghujat para sahabat melalui pencercaan dan penghinaannya atau pembela para sahabat yang selalu siap setiap saat dibutuhkan.

Masjid Kampus 3 Pesantren Darunnajah Cipining
Masjid Kampus 3 Pesantren Darunnajah Cipining

Kenyataannya, setiap sejarawan dari mereka memiliki argumen yang mereka sandarkan dan ambil. Dan diantara mereka ada yang mengumpulkan hal-hal yang saling bertentangan, sekali-kali dibela dan sekali-kali diserangnya, mencoba untuk menghabiskan kabar berita dan meletakkannya pada tempatnya. Padahal suatu hal yang saling bertentangan dan bertolak belakang sehingga tidak bisa dikumpulkan.

Sungguh bahwa peristiwa-peristiwa fitnah itu tidak pernah diketahui kejelasannya, dan seorang ahli sejarah tidak sembarangan bersandar kepadanya kecuali memang yang shahih dan benar-benar lebih unggul dari riwayat yang batil. Apakah ada satu dari para sejarawan mencoba mengangkat pertentangan dalam peristiwa itu dan mengklasifikasikannnya? Saya tidak tahu persis. Tapi yang mungkin bisa diketahui bahwa para sejarawan itu masih terus menggali sumber berita dan meletakkannya disamping berita lainnya, untuk menambah perbendaharaan peristiwa tanpa mengklarifikasinya atau memastikan keshahihannya.

Bagaimana cara memastikannya? Hendaknya kita harus mengawalinya dengan mengelompokkan berita-berita tersebut sesuai riwayatnya agar bisa dipertemukan dengan prediksi para periwayat tersebut, dan juga agar bisa dibedakan antara pembawa berita yang jujur dan yang mencoba melakukan penyesatan. Dapat terungkap dari mereka siapa diantara mereka yang paling memastikan kebenaran riwayatnya. Itulah langkah pertamanya. Selama seorang sejarawan tidak mengetahui sumber-sumber informasi yang ada ditangannya dan tidak bisa mengukur kebenarannya, maka ia tidak bisa membangun bangunan sejarah di atasnya. Sehingga apa yang wajib dilakukan adalah melihat sumber-sumber yang ada di hadapan kita, dikelompokkan lalu memisahkan mana yang benar dan yang bohong. Inilah kritik eksternal dalam sejarah dan kemudian disusul dengan kritik internal untuk informasi berita, yang akan membuktikan kesesuaian dan ketepatannya dalam hal keshahihan dan kepastiannya dan selaras dengan logikanya.

Para sejarawan terdahulu telah banyak menulis tentang pembunuhan Utsman. Dan orang pertama yang menulis tentang kasus fitnah ini dalam sebuah karya tulis adalah Abu Mikhnaf Luth bin Yahya (157 H), yang memiliki karya “Maqtal Utsman” (Pembunuhan Utsman). Diikuti kemudian Saif bin Umar At-Tamimi (sekitar tahun 180 H), ia menulis buku “AI-Futuh AI-Kabiir waAr-Riddah” dan buku “Al-Jamal wa Masiiratu Aisyah waAli”. Kemudian Abu Ubaidah Mu’ammar bin Mutsanna (tahun 207 H) dengan bukunya ‘‘Maqtal Utsman”. Dan kemudian buku “Ar-Riddah wa Ad-Daar” ditulis oleh Muhammad bin Umar Al-Waqidy (207 H) seputar terbunuhnya Utsman dirumahnya. Selanjutnya Ali bin Al-Madainy (225 H) mengeluarkan kitab “Maqtal Utsman”. Dan Umar bin Syaibah (262 H) adalah sejarawan terdahulu yang paling akhir menulis karya tentang “Maqtal Utsman” (Pembunuhan Utsman).

Dari pemaparan singkat ini bisa kita lihat bahwa para ahli sejarah terdahulu menggebu-gebu dalam peristiwa ini, maka mereka berlomba-lomba berkarya didalamnya, karena peristiwa ini memiliki nilai menurut para sejarawan. Namun buku karya mereka tersebut tidak pernah selamat dari terpaan zaman sehingga tidak ada satu kitab pun bisa berada di tangan kita. Meskipun demikian para ahli sejarah yang sempat bertemu dengan mereka telah mengingat dengan baik sebagian dari apa yang ada di dalam buku-buku tersebut. Sehingga didapatkan Al-Baladzuri meriwayatkan kepada kita potongan dari informasi berita yang dibawa oleh Saif bin Umar dan Al-Waqidy. Hal serupa dilakukan Ibnu Asaakir pada karya biografi besar tentang Utsman, yaitu karya yang belum sempat beredar dan ditelaah para sejarawan di zaman sekarang.

Demikianlah dapat dikatakan bahwasannya sebagian informasi bisa kita ketahui dari apa yang disebutkan oleh Abu Mikhnaf, Saif, dan Al-Waqidy tentang peristiwa fitnah. Apabila kita himpun perkataan dari setiap mereka dengan teliti maka akan nampak bahwa ia memiliki arah yang berbeda-beda. Seperti Abu Mikhnaf yang beraliran Syiah, ia tidak pernah mengangkat sosok Utsman sebagai sang khalifah, justru yang banyak adalah usaha untuk menjatuhkannya sehingga ia berhak mendapatkan itu semua.

Ia juga membeberkan bahwa Thalhah bin Ubaidillah adalah salah seorang yang menentang dan memberontak padanya. Dan mengesankan bahwa Ali bin Abi Thalib tampil seakan-akan condong dan membela Utsman, padahal ia marah terhadap perbuatan dan perkataannya.

Sedang Al-Waqidy dari riwayat-riwayatnya dapat dilihat kebenciannya terhadap Utsman, sampai At-Thabary memperkecil penukilan riwayat darinya karena kekejiannya, sebab apa yang bisa dinukil darinya berisi hujatan dan tuduhan terhadap Utsman. Dan oleh Al-Baladzuri hujatan kejam itu ditambahkannya. Sedang Al-Waqidy tidak mengurangi pengesanan para sahabat sebagai perekayasa terhadap pembunuhan Utsman, khususnya disebut disini adalah Thalhah. Kemudian tidak penting baginya bahwa Ali bin Abi Thalib tampak berseberangan dengan Utsman dan berseteru dengannya. Adapun Muhammad bin Abu Bakar baginya adalah pembunuh atau pelaku langsung pembunuhan tersebut. Itu semua melalui riwayat yang dituturkan para syeikh dan pendahulu syeikhnya.

Adapun Saif bin Umar didapati lepas dan mengesampingkan riwayat Abu Mikhnaf dan Al-Waqidy, dengan menyajikan rantai sejarah yang tidak ada didalamnya tuduhan terhadap para sahabat bahkan membebaskan mereka dari itu semua, seperti yang akan kita saksikan.

Tapi anehnya, para sejarawan terdahulu dan juga terkini sama-sama menyajikan secara sejajar pemaparan berita ketiga sejarawan tadi, seakan-akan satu arah dan sejalan, padahal sebenarnya saling bertentangan dan bertolak belakang. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa siapa yang ingin mendapatkan macam-macam riwayat yang saling bertolak belakang untuk mendukung teori yang dipahami dan dipertahankannya, maka ia pun mendukung riwayat itu demi mendukung setiap yang ia inginkan. Tapi apakah seorang sejarawan patut mengumpulkan riwayat yang saling bertentangan tersebut? Tentu tidak, bahkan ia seharusnya menunjukkan perbedaan pandangan para sejarawan saat ia menukilnya dari mereka, untuk mengingatkan pembaca akan fanatisme, tuduhan atau kekejian mereka.

Hendaknya kita saling bertanya pada saat di hadapan kita sumber-sumber berita yang saling bertentangan dan bermacam-macam itu, mana yang kita jadikan sandaran dan kita akan ambil? Sungguh upaya jarh dan ta’dil yang dilakukan para ahli hadits yang telah berhasil menyingkap ihwal para ulama dari sisi kredibilitas periwayatan mereka, mereka memperingatkan kita untuk berhati-hati terhadap perkataan Al-Waqidy.

Imam An-Nasa’i dan Asy-Syafi’i menuduhnya dengan dusta dan mengada-ngada, yaitu suatu klaim terpedas yang disandangkan kepada seorang periwayat kabar berita. Adapun Bukhari, Ad-Dulaby, Al-Uqaily, dan Abu Hatim Ar-Razi telah sepakat untuk tidak mengambil riwayat-riwayatnya. Dikatakan oleh Adz-Dzahaby: “Telah tercapai kesepakatan umum (ijma’) untuk melemahkan riwayat Al-Waqidy.”

Sehingga jika pendapat para ahli hadits ini disandarkan maka apa yang dikatakan Al-Waqidy itu setidaknya dibenturkan ke dinding. Adapun pandangan mereka tentang Abu Mikhnaf lebih kurang pedas dari pada Al-Waqidy, namun mereka tidak bisa mempercayai kabar-kabarnya, dan menilainya lemah, dan tidak memperdulikan riwayat darinya karena ia telah tertuduh sebagai zindiq.

Pendapat keseluruhan ulama jarh wa ta’dil dari kalangan ahli hadits bahwa mereka tidaklah bisa percaya kepada ketiga sejarawan tersebut yang menyimpan riwayat cerita tentang tragedi fitnah. Sehingga di sini perlu segera dikatakan bahwa penilaian ahli hadits terhadap kalangan sejarawan hendaknya tidak dijadikan neraca terakhir dalam sejarah, karena para ahli hadits sangat keras dan ketat dalam timbangan penilaian mereka, dan jika diterapkan standar penilaian ini terhadap sejarah, maka sebagian besar dari sejarah akan runtuh.

Untuk itu kita kembali kepada ukuran timbangan kedua yaitu bahwa para ahli hadits juga mempermudah dalam riwayat dari orang-orang yang dinilai lemah, walaupun riwayat-riwayat mereka sebenarnya lebih mendukung hadits-hadits yang shahih dan bisa dipercaya. Jadi dalam sejarah bisa dimaklumi mengambil sisi kelonggaran dari para ahli hadits, sehingga bisa dijadikan sarana untuk menelusuri kebenaran atau hakekat sejarah dan pengetahuannya.

Dengan demikian kita wajib menemukan berita-berita yang shahih tentang tragedi fitnah tersebut dan mempertimbangkannya dengan apa yang dikabarkan oleh Al-Waqidy, Abu Mikhnaf, dan Saif. Maka riwayat-riwayat shahih itu sejalan dengan riwayat mereka terhitung sebagai hal yang bisa diambil, dan apa-apa yang bertolak belakang, hendaknya dibuang dan ditinggalkan. Cara seperti itu tidak saja bisa berlaku untuk hadits tapi juga bisa diterima dalam sejarah.

Bahkan sejarah menambahkannya dengan suatu hal yang bisa diambil, yaitu sejarah bisa mempercayai perkataan para saksi mata lebih besar dari kepercayaannya kepada orang-orang yang jauh dari suatu peristiwa.

Jadi misi yang kita emban adalah mendapatkan riwayat-riwayat dari peristiwa fitnah yang diriwayatkan oleh orang-orang yang bisa terpercaya dan jujur, yang bersumber dari para saksi mata dalam kejadian-kejadian tersebut atau dari sumber terdekat. Agar kumpulan tersebut menjadi standar bagi kita semua untuk menerima riwayat-riwayat yang lain atau bahkan menolaknya. [WARDAN/Red]

Pendaftaran Santri Baru