Dialah Maimunah binti al-Harits bin Huzn bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyah. Saudari dari Ummul Fadhl istri Abbas, dan beliau adalah bibi dari Khalid bin Walid dan juga bibi dari lbnu Abbas.
Beliau termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur dengan keutamaannya, nasabnya, dan kemuliaannya. Mulanya beliau menikah dengan Mas’ud bin Amru ats-Tsaqafi sebelum masuk Islam, sebagaimana beliau. Namun beliau banyak mondar-mandir ke rumah saudaranya Ummu Fadhl, sehingga beliau mendengar sebagian kajian-kajian Islam dan tentang nasib dari kaum muslimin yang berhijrah. Sampai kabar tentang Badar dan Uhud yang mana hal itu menimbulkan bekas mendalam pada dirinya.
Tatkala tersiar berita kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar, kebetulan ketika itu Maimunah berada di rumah saudara kandungnya yaitu Ummu Fadhl, maka dia juga turut senang dan sangat bergembira. Namun manakala dia pulang di rumah suaminya ternyata dia mendapatkan, bahwa suaminya sedih dan berduka cita karena kemenangan kaum muslimin. Maka, hal itu memicu mereka pada pertengkaran yang mengakibatkan perceraian. Maka beliau keluar dan menetap di rumah al-‘Abbas.
Ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah yang mana Nabi SAW diperbolehkan masuk Makkah dan tinggal di dalamnya selama tiga hari untuk menunaikan haji dan orang-orang Quraisy harus membiarkannya.[1] Pada hari itu kaum muslimin masuk Makkah dengan rasa aman, mereka mencukur rambut kepalanya dengan tenang tanpa ada rasa takut. Benarlah janji yang haq, dan terdengarlah suara orang-orang mukmin membahana, “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaik…”
Mereka mendatangi Makkah dalam keadaan tertunda, setelah beberapa waktu bumi Makkah berada dalam kekuasaan orang-orang musyrik. Maka, debu tanah mengepul di bawah kaki orang-orang musyrik yang dengan segera menuju bukit-bukit dan gunung-gunung, karena mereka tidak kuasa melihat Muhammad dan para sahabatnya kembali ke Makkah dengan terang-terangan, kekuatan, dan penuh wibawa. Yang tersisa hanyalah para laki-laki dan wanita yang menyembunyikan keimanan mereka, sedangkan mereka mengimani bahwa pertolongan sudah dekat.
Maimunah adalah salah seorang yang menyembunyikan keimanannya tersebut. Beliau mendengarkan suara yang keras penuh keagungan dan kebesaran. Beliau tidak berhenti sebatas menyembunyikan keimanan, akan tetapi beliau inginkan agar dapat masuk Islam secara sempurna dengan penuh izzah (kewibawaan) yang tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. Harapannya adalah kelak akan bernaung di bawah atap nubuwwah, sehingga dia dapat minum pada mata air agar memenuhi perilakunya yang haus akan akidah yang istimewa tersebut, akhirnya mengubah kehidupan beliau menjadi seorang pemuka bagi generasi yang akan datang.
Dia bersegera menuju saudara kandungnya yakni Ummu Fadhl dengan perasaan yang tergesa-gesa untuk menjadi seorang ibu dari Ummahatul mukminin. Saudarinya tersebut kemudian membicarakan dengan suaminya ‘Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Tidak ragu sedikit pun ‘Abbas tentang hal itu, bahkan beliau bersegera menemui Nabi SAW dan menawarkan Maimunah untuk Nabi. Akhirnya Nabi menerimanya dengan mahar 400 dirham.[2] Dalam riwayat lain, bahwa Maimunah adalah seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi SAW maka turunlah ayat dari Allah Tabaraka wa Ta’ala:
“… dan perempuan mukmin yang menyerahkan diri kepada Nabi kalau Nabi mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin…” (QS. al-Ahzab: 50).[3]
Ketika sudah berlalu tiga hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi SAW. Mereka mengatakan, “Telah habis waktumu maka keluarlah dari kami.” Maka Nabi SAW menjawab dengan ramah:
“Bagaimana menurut kalian jika kalian biarkan kami dan aku merayakan pernikahanku di tengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian??!”
Maka mereka menjawab dengan kasar, “Kami tidak butuh makananmu maka keluarlah dari negeri kami!”[4]
Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama tinggalnya Nabi SAW di Makkah, yang mana kedatangan beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti al-Harits, dia tidak cukup hanya menyatakan keislamannya bahkan lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasul SAW, sehingga membangkitkan kemarahan mereka. Untuk berjaga-jaga Rasulullah SAW tidak mengadakan walimatul ‘urs dirinya dengan Maimunah di Makkah. Beliau mengizinkan kaum muslimin berjalan menuju Madinah. Tatkala sampai di suatu tempat yang disebut “Sarfan” yang berjarak 10 mil dari Makkah maka Nabi SAW memulai malam pertamanya bersama Maimunah r.a.. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriyah.
Mujahid berkata, “Dahulu namanya adalah Bazah, namun Rasulullah SAW menggantinya dengan Maimunah.[5] Maka sampailah Maimunah ke Madinah dan menetap di rumah nabawi yang suci sebagaimana cita-citanya yang mulia, yakni menjadi Ummul Mukminin yang utama, menunaikan kewajiban sebagai seorang istri dengan sebaik-baiknya, mendengar dan taat, setia dan ikhlas. Setelah Nabi SAW menghadap Ar-Rafliqul A’la, Maimunah hidup selama bertahun-tahun hingga 50 tahunan. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa, serta setia kepada suaminya penghulu anak Adam dan guru seluruh manusia yakni Muhammad bin Abdullah SAW. Hingga karena kesetiaanya kepada suaminya, beliau berpesan agar dikuburkan di tempat di mana dilaksanakan walimatul ‘urs dengan Rasulullah.[6]
‘Atha’ berkata, “Setelah beliau wafat, saya keluar bersama Ibnu Abbas. Beliau berkata, ‘Apabila kalian mengangkat jenazahnya, maka janganlah kalian menggoncang-goncangkan atau menggoyang–goyangkan.’ Beliau juga berkata, “Lemah lembutlah kalian dalam memperlakukannya karena dia adalah ibumu’.”[7]
Berkata ‘Aisyah setelah wafatnya Maimunah, “Demi Allah telah pergi Maimunah, mereka dibiarkan berbuat sekehendaknya. Adapun demi Allah beliau adalah yang paling takwa di antara kami dan yang paling banyak bersilaturrahim.”[8]
Keselamatan semoga tercurahkan kepada Maimunah yang mana dengan langkahnya yang penuh keberanian tatkala masuk Islam secara terang-terangan membuahkan pengaruh yang besar dalam mengubah pandangan hidup orang-orang musyrik dari jahiliyah menuju dienullah, seperti Khalid dan Amru bin ‘Ash r.a. dan semoga Allah meridhai para shahabat seluruhnya. [WARDAN/DR]
Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat
Footnote:
[1] lsi perjanjian bahwa Rasul dan para sahabat akan kembali pada tahun 6 Hijriyah, maka mereka tidak akan masuk pada tahun itu. Kemudian mereka masuk Makkah pada tahun berikutnya dan mereka menetap selama tiga hari. Lihatlah Isi perjanjian Hudaibiyah dalam Tarikh ath-Thabari (III/79) dan Thabaqat Ibnu Sa’ad (Il/70)
[2] Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/133)
[3] Lihat As-Sirah lbnu Hisyam (IV/296), aI-Ishabah (Vlll/192), al-Istii’ab (IV/1916), Thabaqat Ibnu Sa’ad (Vlll/137) dan aI-Ahzab: 115.
[4] As-Sirah (IV/296), Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIIl/138), ath-Thabari dalam ath-Tarikh (III/100) dan aI-Ishabah (VIII/192).
[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (Vlll/137) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (lV/30) dan dishahihkan serta disetujui oleh adz-Dzahabi.
[6] Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIlI/139) dan al-Hakim dalam aI-Mustadrak (lV/31) dan dishahihkan serta disepakati oleh adz-Dzahabi.
[7] Separuh pertama diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIII/140) dan al-Hakim (IV/32) dari jalan lain, dishahihkan dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Adapun separuh yang kedua dari perkataan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad dari jalan al-Waqidi (Vlll/140).
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (Vlll/138) dan al-Hakim (lV/32), keduanya dari jalan Yazid bin al-Asham.