Akhir-akhir ini, begitu marak kasus-kasus yang mengkambinghitamkan para ulama’. Ulama’ yang sejatinya merupakan tempat untuk berkeluh kesah tentang masalah agama malah dipermasalahkan dan dipenjara. Namun sebenarnya, dalam dinamika sejarah, kriminalisasi ulama’ bukanlah hal baru. Ada banyak ulama yang demi kebenaran berani mengkritik penguasa.
Mereka ini ulama’ lurus yang tidak silau dengan iming-iming penguasa dan kepentingan duniawi. Yang benar akan dikatakan benar; dan yang salah akan dikatakan salah. Hadits nabi mengenai keutamaan jihad kepada penguasa yang lalim dan tiran dipegang dengan baik oleh mereka. Akibat dari keteguhan ini, mereka bisa mengalami kriminalisasi dan penyiksaan.
Berikut ini adalah ulama besar korban kriminalisasi penguasa.
Sa’id bin Musayyab
Seorang ulama besar bernama Sa`id bin al-Musayyib pernah mengalami kriminalisasi saat menolak baiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan, akhirnya Hisyam bin Ismail [selaku Gubernur Madinah] memberi sanksi 60 cambukan kepadanya, dan dipenjara. [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 5/130] Pada riwayat lain bahkan Sa`id diboikot, tidak diajak bicara[al-Thabâqatu al-Kubra, 5/128], bahkan dicambuk [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 4/232].
Abu Hanifah
Abu Hanifah. Kisah Abu Hanifah yang dipenjara karena tidak mau sependapat dengan Khalifah al-Manshur terkait khalqiyat al-quran, tentu sudah kita ketahui semua. Tidak hanya dipenjara, ia bahkan dilarang untuk mengajarkan hadis.
Suatu hari Abu Hanifah didatangi oleh ibunya, sang Ibu berkata, “Wahai Abu Nu’man (Abu Hanifah), seharusnya ilmu yang kamu miliki dapat memberikan manfaat kepadamu, bukan malah membuatmu dipenjara seperti ini.” Mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hanifah menjawab, “Wahai ibu, aku bisa saja jika aku ingin hidup bahagia dan bergelimang harta melalui ilmu yang kumiliki. Tapi aku ingin Allah SWT mengetahui bahwa aku menjaga llmu yang kumiliki dan tidak menjerumuskannya dalam kehancuran.”
Imam Syafi’i
Beliau juga mengalami hal yang susah bersama penguasa. Imam Syafi`i dituduh sebagai pendukung Syi`ah oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan dia memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin.
Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Ia dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid [Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273]. Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad.
Ahmad bin Hanbal
Murid beliau pun, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib yang lebih menyakitkan dengan penguasa. Ia dicambuk, dipenjara selama 30 bulan oleh Ma`mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana yang diyakini mu`tazilah [al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180].
Imam Bukhari
Imam Bukhari pun akhirnya pergi dari negerinya karena “berusaha disingkirkan” oleh Penguasa Dhahiriyah di Bukhara saat itu, Khalid bin Ahmad al-Dzuhali. Penyebabnya, Imam Bukhari menolak permintaan Khalid untuk mengajar kitab “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di rumahnya. Bukhari beralasan, seharusnya yang butuh ilmulah yang mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi yang butuh. Pada akhirnya, Bukhari meninggalkan negerinya [Târîkh Baghdâd, 2/33].
Imam Nawawi
Menurut Ibnu al-Aththar, Imam Nawawi adalah ulama yang berani berhadapan langsung dengan penguasa. Demi kebenaran, dia tidak takut dicela. Jika tidak mampu menghadapi secara langsung, beliau menyampaikan kritik dengan mengirim surat.
Suatu saat, akibat kritikan yang sangat sangat tajam kepada Sultan Dhahir Baibars, hampir saja Imam Nawawi dikriminalisasi dan disiksa. Kritik Imam Nawawi ini diarahkan kepada sang penguasa karena kasus Hauthah. Inti permasalahannya, kerika Dhahir berada di Damaskus -pasca kekalahan Tatar-, ia mempercayakan kepengurusan Baitul Maal kepada orang bermadzhab Hanafi. Berdasarkan madzhab Hanafi, harta yang dikuasai Tatar (musuh), maka otomatis harta dikuasai penguasa. Lantas Imam Nawawi dan ulama lain mengkritik pendapat tersebut. Dan kritik paling keras adalah yang disampaikan Imam Nawawi.
Sang Sultan marah dan mengira bahwa itu dilakukan Imam Nawawi karena kepentingan jabatan duniawi karena telah disingkirkan. Ternyata, beliau sama sekali tidak memiliki jabatan dan kepentingan dunia. Setelah kesalahpahaman ini berakhir, Imam Nawawi dicintai dan diagungkan oleh Sultan Dhahir Baibars. (al-Imaam al-Nawawi- Syaikh al-Muhadditsin wa al-Fuqahaa, 1995: 110, 111)
Ibnu Taimiyah
Nasib ulama lain yang tidak kalah susah adalah seperti yang dialami Imam Ibnu Taimiyah. Hobi mengeluarkan fatwa yang kontroversial menjadikannya sosok yang langganan keluar masuk penjara. Dua belas kali dipenjara selama masa hidupnya, Ibnu Taimiyyah tercatat banyak sekali menulis kitab-kitab risalah.
Salah satu karyanya yang paling terkenal dan menjadi kitab terakhir yang ia tulis sebelum mengembuskan napas pamungkas adalah kitab Ar-Raddu ‘alā Al-Ikhnāi. Kitab ini merupakan bantahan terhadap pendapat ulama dari mazhab Hanafi bernama Muhammad bin Abu Bakar Al-Ikhnai.
Bisa dibayangkan betapa gairah keilmuan Ibnu Taimiyyah begitu luar biasa. Bahkan sebelum meninggal pun masih sempat menuliskan sanggahan atas sebuah karya yang ia tulis di dalam pernjara.
Demikianlah kisah para ulama’ yang teguh mempertahankan ilmunya bahkan sampai harus rela dipenjara. Karena menurut mereka, jeruji penjara tidaklah berarti baginya, namun keridhoan Allah lah yang menjadi tujuan utamanya.