Suatu ketika seseorang bertanya kepada Bilal r.a., “Bagaimanakah biaya pengeluaran Rasulullah?”
Jawabnya, “Beliau tidak pernah menyimpan sesuatu. Akulah yang mengurus keuangannya. Apabila datang seorang Islam yang sedang kelaparan, maka beliau menyuruh aku melayani orang itu. Aku meminjam dari siapa saja untuk memberi orang itu makan.”
Hal seperti ini terjadi terus menerus. Suatu ketika aku bertemu dengan seorang musyrik, dia berkata, ”Aku mempunyai banyak harta benda, maka janganlah kamu meminjam dari siapa pun, apabila kamu mempunyai keperluan, berhutanglah kepadaku?”
Aku menjawab, “Apalagi yang lebih baik dari hal ini”, maka aku pun mulai mengambil hutang dari dia. Apabila datang perintah dari Rasulullah saw. maka aku datang dengan membawa pinjaman dari orang itu dan memberikannya kepada orang yang beliau kehendaki.
Suatu ketika, setelah berwudhu aku bangun untuk mengumandang-kan adzan, orang musyrik itu datang bersama beberapa orang lainnya dan berkata, ”Hai, Habsyi!” Maka aku pun memalingkan wajah ke arahnya, tiba-tiba dia mencaci maki dan mengeluarkan kata-kata kotor dari mulutnya sambil berkata, “Tinggal berapa hari lagi habisnya bulan ini?”
Aku menjawab, “Bulan ini sudah hampir habis.”
Dia berkata, “Tinggal empat hari lagi, apabila engkau belum melunasi seluruh pinjaman kepadaku hingga akhir bulan ini, maka aku akan menjadikanmu sebagai hamba sahaya dan kamu harus menggembala kambing seperti dahulu.”
Setelah berkata demikian, ia pergi meninggalkan aku. Sesuatu yang aku takutkan telah terjadi, aku merasa sangat bingung dan gelisah. Setelah shalat ‘Isya, ketika Rasulullah saw. sedang duduk seorang diri, aku mendekatinya lalu menceritakan peristiwa tadi. Aku berkata, “Ya Rasullah, engkau tidak mempunyai persediaan apa pun untuk membayar utang itu saat ini, dan saya juga tidak mempunyai apa-apa. Saya merasa orang itu akan menghinakan aku lagi. Oleh karena itu, apabila diizinkan, saya akan bersembunyi, sambil menyiapkan sesuatu untuk membayar hutang, apabila datang kepada engkau sesuatu dari mana saja, maka saya akan datang.”
Setelah berkata demikian, aku segera pulang ke rumah. Aku mempersiapkan pedang, perisai, sepatu, dan semua barang-barang untuk di perjalanan, dan aku menunggu sampai datangnya waktu shubuh. Ketika menjelang waktu shubuh aku pun pergi tanpa tujuan. Tetapi menjelang kepergianku itu, seorang utusan Nabi saw. datang berlari sambil berkata, “Cepatlah, datang menemui Nabi.” Aku pun segera datang menemui Nabi saw. dan melihat empat unta beserta muatannya sedang duduk.
Beliau bersabda, “Dengarkanlah kabar gembira ini wahai Bilal, Allah telah menyiapkan sesuatu untuk melunasi utang-utangmu. Ambilah unta-unta, ini beserta muatannya. Barang-barang ini telah dikirim ke mari sebagai hadiah untukku oleh ketua kaum Fidak.”
Aku mengucapkan syukur kepada Allah kemudian dengan gembira membawa semua barang itu dan. kembali lagi setelah melunasi seluruh hutang-hutangku. Sedangkan Rasulullah saw. sedang menunggu di dalam masjid. Sampai di sana aku berkata, “Ya, Rasulullah, aku bersyukur bahwa Allah Swt. telah membebaskan kita dari seluruh hutang-hutang, dan tidak ada sesuatu pun yang tersisa dari hutang-hutang itu.”
Nabi saw. bertanya, “Apakah ada barang-barang yang masih tersisa?” “Ya, masih ada sedikit barang yang tersiasa.” Jawab Bilal r.a.. Nabi saw. bersabda, “Bagikanlah barang-barang itu sampai habis, sehingga aku menjadi tenang, aku tidak akan pulang ke rumah sebelum barang-barang itu dibagikan semua.
Aku pun pergi untuk membagikan barang-barang yang masih tersisa kepada fakir miskin. Setelah shalat ‘Isya, Nabi saw. bertanya, “Masihkah ada barang yang tersisa?”. Aku berkata, “Masih, karena belum ada orang yang memerlukannya.” Maka Nabi saw. kembali tidur di masjid.
Keesokan harinya, setelah ‘Isya, beliau bertanya lagi, “Apakah masih ada barang yang tertinggal?” Aku menjawab, “Tidak ada sisa, Allah telah memberkati anda dengan ketentraman jiwa. Semua barang-barang itu telah aku habiskan.” Rasulullah saw. memuji Allah. Pada malam itu barulah beliau pulang ke rumah menemui isteri-isteri beliau. Nabi saw. tidak suka menghadapi maut selama masih ada harta kekayaan di tangannya.” (Al Badzlu)
Juga banyak para waliyyullah yang tidak menginginkan harta benda tersisa sedikit pun di tangan mereka. Jika para waliyyullah saja memiliki keinginan seperti itu, bagaimana dengan Rasulullah saw. sebagai pemimpin para anbiya, pemimpin para waliyyullah? Beliau ingin agar hidupnya terbebas dari harta kekayaan dunia.
Aku mendengar dari orang yang dapat dipercaya bahwa, kebiasaan Maulana Syah Abdurrahim Raipuri rah.a. apabila lembaran-lembaran uang terkumpul, maka beliau membagi-bagikannya. Beberapa saat sebelum meninggal, baju yang sedang dipakai dan yang lainnya beliau berikan kepada pelayan khususnya Maulana Abdul Qadir rah.a. dan beliau berkata, “Aku akan senantiasa memakai baju ini.” Aku melihat ayahku (Maulana Muhamad Yahya rah.a.) apabila setelah maghrib masih mempunyai uang rupiah, maka dia berikan kepada siapa saja yang mau meminjamnya. Beribu-ribu rupiah orang meminjam darinya. Apabila ada orang yang ingin membayar maka beliau senantiasa menjawab, ”Pada malam hari aku tidak menyimpan uang”. [WARDAN/Deni]
Transkrip dari Buku Fadilah Amal, Bab Kisah Para Sahabat