Abu Thalhah r.a. pada suatu hari sedang mendirikan shalat di dalam kebunnya. Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada seekor burung yang tersesat di antara rimbunan daun yang tebal. Matanya mengikuti gerak-gerik burung itu sehingga lupa dengan jumlah rakaat yang telah dilakukannya. Kelalaiannya telah menimbulkan penyesalan yang luar biasa dalam hatinya. Setelah menyelesaikan shalatnya, ia pergi ke rumah Rasulullah saw., lalu ia berkata, “Aku telah tertimpa musibah karena kebunku ini. Oleh karena itu kebun ini kuserahkan kepada Allah (mewakafkannya untuk dipergunakan di jalan Allah). Apabila engkau menghendakinya, silakan gunakan sesuai dengan keinginan engkau.” ٠
Peristiwa yang hampir serupa juga terjadi pada zaman Khalifah Utsman r.a.. Seorang Anshar sedang mengerjakan shalat dalam kebunnya, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada buah-buah ranum yang bergantungan di dahan-dahan pohon. Hal ini menyebabkan dia lupa jumlah rakaat yang telah dikerjakannya. Hatinya amat sedih mendapatkan musibah yang disebabkan oleh buah-buahan di kebunnya itu, sehingga ia pun datang ke hadapan Utsman r.a. dan berkata, “Aku akan menginfakkan kebunku ini di jalan Allah dan gunakanlah harta ini sesuai dengan keinginanmu.” Kemudian Utsman r.a. menjual kebun itu seharga 50.000 dirham dan uangnya digunakan untuk perjuangan agama. (Al Muwatha — Imam Malik)
Hikmah: Inilah sebagian contoh mengenai keadaan iman para sahabat. Karena mereka menganggap bahwa shalat adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga, maka mereka rela menginfakkan apa pun miliknya apabila mengganggu kekhusyuan mereka dalam shalat, sehingga kebun seharga 50.000 Dirham tidak segan-segan mereka sedekahkan. Dalam kitab Qaulul Jamil, Syah Waliyyulah rah.a. menyebutkan tentang tingkatan seorang sufi. Hubungan ini dibedakan sejauh mana mereka taat kepada Allah Swt. daripada memperhatikan hal-hal yang lain. Kerena ketaatan para sahabat kepada Allah tidak terpengaruh oleh benda-benda lain. [WARDAN/Deni]
Transkrip dari Buku Fadhilah Amal, Bab Kisah Para Sahabat