Oleh : Mukarrom, M.Pd.I (Alumni Angkatan Ke 7 Assabi’ah Darunnajah Cipining)
Beberapa hari yang lalu ada seorang ibu dari murid yang saya didik di sekolah. Menanyakan tentang perkembangan anaknya di sekolah. Dalam percakapan tersebut dia sangat khawatir dengan perkembangan anaknya saat ini. Di minta untuk sholat sangat sulit, merapikan mainan yang telah dimainkan tidak mau, meletakkan pakaian atau peralatan yang telah dia pakai tidak mau, dan menjadi semakin membuatnya kesal saat si ibu sakit si anak diminta untuk mengambilkan air minum untuk meminum obatnya juga tidak mau. Kesedihan tersebut membuat si ibu sangat terganggu dalam aktivitasnya.
Sehingga dia bingung untuk melakukan tindakan apa selanjutnya. Sedangkan dia merasa untuk pemenuhan penunjang pendidikan yang diberikan kepada anaknya jauh berbeda yang pernah dia dapatkan waktu dia masih kecil.
Permasalahan yang dihadapi oleh ibu tersebut ternyata hampir dihadapi oleh semua orang tua yang pernah saya temui. Dari permasalahan yang dihadapi tersebut sebenarnya terletak dari teladan dan berkesinabungankah cara melakukan pendidikan terhadap anaknya. Orang tua kita dahulu bisa membuat anak-anaknya menjadi seorang yang disiplin, taat beribadah, gigih, pekerja keras, dan tanggung jawab adalah buah dari penanaman sikap keteladanan yang dibarengi dengan adanya kesinambungan dalam pembentukan sikap tersebut. Dari latar belakang orang tua dahulu sangat sedikit yang mengenyam hingga bangku kuliah, terkadang ada yang tidak sampai bersekolah. Mendidik beberapa orang anaknya dengan pemenuhan gizi dan pendidikan yang seadanya.
Apabila dibandingkan dengan keadaan sekarang tentu sangatlah bertolak belakang. Perhatian dalam keseimbangan gizi telah diperhatikan dari si anak berada dalam kandungan hingga saat ini. Seorang ibu hamil sudah banyak memakan suplemen dan susu untuk menjaga dan membentuk pertumbuhan fisik dan otak anak. Setelah lahir pemenuhan pendidikanpun mulai diperhatikan oleh orang tua dengan memasukkan pendidikan anak usia dini hingga saat ini. Namun pada kenyataannya, tidak semua usaha yang dilakukan tersebut mampu membentuk sebuah sikap yang tetap pada si anak dalam melakukan sesuatu. Dari permasalahan tersebut tentu ada sesuatu harus diperbaiki dan ditemukan jalan pemecahannya.
Dalam pembentukan sikap beribadah. Untuk membentuk kecintaan si anak sholat di masjid, maka orang tua harus menjadi teladan cinta sholat di masjid. Meskipun sedang berada di luar tidak dilihat oleh anak, namun sesungguhnya Allah melihat dan mencintai orang menjaga kata-katanya. Hal itu sesuai dengan firman Allah surat Ash-Shaf ayat ketiga yang artinya “Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Berdasarkan dari firman tersebut maka jelaslah setiap orang harus menjaga perkataan yang telah diucapkan. Apabila bisa menjaga perkataan yang telah diucapkannya dengan kukuh dalam bentuk teladan, maka Allah akan menjaganya dan membukakan hati bagi orang yang ingin diubahnya, seperti anak kita, teman kita atau lebih luas lagi lingkungan kita.
Keteladanan tidak cukup hanya dilakukan dalam waktu yang terbatas, namun keteladanan tersebut harus dilakukan secara terus-menerus atau berkesinambungan. Pembentukan anak bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Merubah sebongkah kayu jati menjadi lemari atau kursi jati yang bisa diperjualbelikan atau menghasilkan. Pembentukan sesuatu pada anak harus dilakukan hingga berulang-ulang tanpa ada batasan waktu. Namun hingga dia mengerti untuk apa perbuatan yang dia lakukan. Setelah dia telah meneladani orang tua untuk melakukan ibadah sholat, maka terus-menerus harus selalu dijaga dan diingatkan. Sehingga perbuatan yang dia lakukan menjadi sesuatu yang biasa dan tidak nyaman baginya apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan atau terlewatkan.
Dari penjelasan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa keberhasilan seseorang hingga mencapai puncak kesuksesannya adalah sebuah hasil pendidikan yang dilakukan oleh seorang teladan yang melakukannya secara berkesinambungan. Bisa dilakukan oleh guru ataupun oleh orangtua sendiri yang mau untuk bekerja keras, meniadakan rasa sayang yang terlalu berlebihan (Saya diwaktu kecil hidup dengan penuh perjuangan, maka anak saya jangan sampai merasakan penderitaan yang pernah saya lakukan) dan mau meluangkan waktu untuk anak.(Wardan. Maghfur)