Beliau adalah Shafiyyah binti Huyai binti Akhthab bin Sa’yah cucu dari al-Lawi bin Nabiyullah Israil bin Ishaq bin lbrahim a.s., termasuk keturunan Rasulullah Harun a.s.. Shafiyyah adalah seorang wanita yang mulia dan cerdas. Memiliki kedudukan yang terpandang, berparas cantik, dan bagus diennya. Sebelum Islamnya beliau menikah dengan Salam bin Abi al-Haqiq, kemudian setelah itu dia menikah dengan Kinanah bin Abi al-Haqiq. Keduanya adalah penyair Yahudi. Kinanah terbunuh pada waktu perang Khaibar, maka beliau termasuk wanita yang ditawan bersama wanita-wanita yang lain. Bilal “Muadzin Rasulullah” menggiring Shafiyyah dan putri pamannya. Mereka melewati tanah lapang yang penuh dengan mayat-mayat orang Yahudi. Shafiyah diam, tenang, tidak kelihatan sedih, dan tidak pula meratap sebagaimana yang dilakukan oleh putri pamannya yang mencakar mukanya, menjerit dan menaburkan pasir pada kepalanya.
Kemudian keduanya dihadapkan kepada Rasulullah SAW, Shafiyah dalam keadaan sedih namun tetap diam, sedangkan putri pamannya kepalanya penuh pasir, merobek bajunya karena merasa belum cukup ratapannya. Maka Rasulullah SAW bersabda -sedangkan tersirat rasa tidak suka pada wajah beliau:
“Enyahkanlah setan ini dariku.”[1]
Kemudian beliau SAW mendekati Shafiyyah kemudian mengarahkan pandangan atasnya dengan ramah dan lembut, kemudian bersabda kepada Bilal:
“Wahai Bilal aku berharap engkau mendapat rahmat tatkala engkau bertemu dengan dua orang wanita yang suaminya terbunuh.”[2]
Selanjutnya Shafiyyah dipilih untuk beliau dan beliau mengulurkan selendang beliau kepada Shafiyah, hal itu sebagai pertanda bahwa Rasulullah SAW telah memilihnya untuk dirinya. Hanya kaum muslimin tidak mengetahui apakah Shafiyyah diambil oleh Rasulullah sebagai istri atau sebagai budak ataukah sebagai anak? Maka tatkala beliau menghijabi Shafiyyah, maka barulah mereka tahu bahwa Rasulullah SAW mengambilnya sebagai istri. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a., bahwa Rasulullah SAW tatkala mengambil Shafiyyah binti Huyyai beliau bertanya kepadanya, “Maukah engkau menjadi istriku?” Maka Shafiyyah menjawab, “Ya Rasulullah sungguh aku telah berangan-angan untuk itu tatkala masih musyrik, maka bagaimana mungkin aku tidak inginkan hal itu manakala Allah memungkinkan itu saat aku memeluk Islam?”
Kemudian tatkala Shafiyyah telah suci Rasulullah SAW menikahinya,[3] sedangkan maharnya adalah merdekanya Shafiyyah. Nabi SAW menanti sampai Khaibar kembali tenang. Setelah beliau perkirakan rasa takut telah hilang pada diri Shafiyyah, beliau mengajaknya pergi Shafiyah yang beliau bawa di belakang beliau, kemudian beranjak menuju sebuah rumah yang berjarak enam mil dari Khaibar. Nabi SAW menginginkan diri Shafiyyah ketika itu, namun dia menolaknya. Ada rasa kecewa pada diri Nabi, karena penolakan tersebut.
Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan perjalanannya menuju Madinah bersama bala tentaranya, tatkala mereka sampai di Shahba’ jauh dari Khaibar mereka berhenti untuk beristirahat. Pada saat itulah timbul keinginan untuk merayakan walimatul ‘urs. Maka didatangkanlah Ummu Anas bin Malik r.a., beliau menyisir rambut Shafiyah, menghiasi dan memberi wewangian hingga karena kelihaian dia dalam merias, Ummu Sinan al-Aslamiyah berkata bahwa beliau belum pernah melihat wanita yang lebih putih dan cantik dari Shafiyyah.[4] Diadakanlah walimatul ‘urs, maka kaum muslimin memakan lezatnya kurma, mentega, dan keju Khaibar hingga kenyang.
Rasulullah SAW masuk ke kamar Shafiyyah sedangkan masih terbayang pada beliau penolakan Shafiyyah tatkala ajakan beliau yang pertama, maka Shafiyyah menerima Nabi untuk menjalani malam pertama dengan lembut beliau menceritakan sebuah cerita yang menakjubkan. Beliau bercerita bahwa tatkala malam pertamanya dengan Kinanah bin Rabi’, pada malam itu beliau bermimpi bahwa bulan telah jatuh di kamarnya. Tatkala bangun beliau ceritakan hal itu kepada Kinanah, maka dia berkata dengan marah, “Mimpimu tidak ada takwil lain melainkan kamu telah berangan-angan mendapatkan Raja Hijaz Muhammad.”[5] Maka dia tampar wajah beliau dengan keras sehingga bekasnya masih ada, Nabi SAW mendengarnya sambil tersenyum kemudian bertanya, “Mengapa engkau menolak diriku tatkala kita menginap yang pertama?” Maka beliau menjawab, “Saya khawatir terhadap diri Anda karena dekat dengan Yahudi.”[6] Maka menjadi berseri-serilah wajah Nabi yang mulia serta lenyaplah kekecewaan hatinya maka Nabi melewati malam pertamanya tatkala Shafiyyah berumur 17 tahun.[7]
Tatkala rombongan sampai di Madinah Rasulullah perintahkan agar pengantin wanita tidak langsung dipertemukan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau turunkan Shafiyyah di rumah sahabatnya yang bernama Haritsah bin Nu’man. Ketika wanita-wanita Anshar mendengar kabar tersebut, mereka datang untuk melihat kecantikannya. Nabi SAW memergoki ‘Aisyah keluar sambil menutupi dirinya serta berhati-hati (agar tidak dilihat Nabi) kemudian beliau masuk ke rumah Haritsah bin Nu’man. Maka beliau menunggunya sampai ‘Aisyah keluar. Maka tatkala beliau keluar, Rasulullah memegang bajunya seraya bertanya dengan tertawa, “Bagaimana menurut pendapatmu wahai (mawar) yang kemerah-merahan?” ‘Aisyah menjawab sementara cemburu menghiasi dirinya, “Aku lihat dia adalah wanita Yahudi.” Maka, Rasulullah SAW membantahnya dan bersabda:
“Jangan berkata begitu… karena sesungguhnya dia telah Islam dan bagus keislamannya.”[8]
Selanjutnya, Shafiyyah berpindah ke rumah Nabi menimbulkan kecemburuan istri-istri beliau yang lain karena kecantikannya. Mereka juga tidak mengucapkan selamat atas apa yang telah beliau raih. Bahkan dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah wanita asing.
Bahkan suatu ketika sampai keluar dari lisan Hafshah kata-kata, “Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan beliau menangis. Tatkala itu Nabi masuk sedangkan Shafiyyah masih dalam keadaan menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, “Hafshah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah anak seorang Yahudi.” Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya engkau adalah putri seorang Nabi dan pamanmu adalah seorang Nabi, suamipun juga seorang Nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian beliau bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah?”[9]
Maka kata-kata Nabi ini menjadi penyejuk, keselamatan dan keamanan bagi Shafiyyah. Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri Nabi yang lain maka dia pun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”[10]
Shafiyyah r.a. wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu’awiyah. Beliau dikuburkan di Baqi’ bersama Ummahatul Mukminin. Semoga Allah meridhai mereka semua. [WARDAN/DR]
Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat
Footnote:
[1] As-Sirah an-Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam (IIl/350) dan aI-Ishabah (Vlll/126) dan Tarikh ath-Thabari (III/94).
[2] As-Sirah (Ill/351) dan aI-Ishabah (Vlll/126) dan Thabaqat Ibnu Sa’ad (II/81).
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Anas dalam aI-Maghazi, bab: Perang Khaibar dan dalam an-Nikah, bab: Memerdekakan budak wanita sebagai mahar (Vl/121). Dan Muslim dalam an-Nikah, bab: Keutamaan memerdekakan budak wanita kemudian menikahinya, (no. 1360). Lihat pula dalam aI-Isti’ab (IV/ 1872), dan aI-lshabah (VIII/162) serta Thabaqat Ibnu Sa’ad (ll/84).
[4] AI-lshabah (VlII/126).
[5] As-Sirah an-Nabawiyah Ibnu Hisyam (III/350) dan Tarikh ath-Thabari (III/94) dan aI-lshabah bahwa beliau menceritakan mimpinya kepada ibunya.
[6] Al-lshabah (Vlll/126).
[7] Ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad (Vlll/ 129) dan aI-Mustadrak (lV/29).
[8] Ath-Thabaqat lbnu Sa’ad (VIll/125).
[9] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalan Abdur Razaq dari Ma’mar dari Tsabit dari Anas, no. 3894. Begitu pula oleh Ahmad dalam al-Musnad (Ill/135) sanadnya shahih.
[10] AI-Ishabah (VIII/127) dan aI-lstii’ab (IV/1872).