Categories: Darunnajah Charity

Miskinnya Kejujuran

“Honesty is the first chapter in the book of wisdom”
(Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan)
Thomas Jefferson (Presiden ke-3 Amerika Serikat)
Kita mulai dengan cerita. oleh.yuniardi syukur

Alkisah, ada seorang yang benar-benar tukang tipu, tidak jujur dan seribu satu sifat jelek lainnya. Laki-laki itu rupanya jatuh cinta kepada si gadis lugu tapi jujur. Tampaknya, tak mudah juga bagi dia untuk mendapatkan cinta sang gadis. Gadis itu mengajukan syarat, “kamu harus merubah sifatmu dari negatif jadi positif, baru saya mau dinikahi.”

Mendengarkan itu, si bengal pun tertantang. Maka dia niatkanlah hatinya dengan tekad yang bulat untuk itu. Tapi sayang, suatu waktu dia melakukan kejahatan. Katanya sih, “ini yang terakhir kalinya.”Kenapa bisa? Rupanya, dia berbuat jahat itu untuk mendapatkan sebentuk cincin manis yang kelak akan diberikannya kepada sang gadis. Kali ini ia apes, tertangkap tanganlah dia sama polisi. Akhirnya, dia masuk bui.

Di dalam “hotel prodeo”, ia pun berpikir sangat keras. “Bagaimana ya caranya biar bisa keluar?” Di lain waktu ia berangan-angan, “kalau keluar penjara, pasti aku bisa mempersunting gadis impian itu.” Di tengah berpikirnya itu, tiba-toba muncullah sebuah ide yang brilian, luar biasa, ketika ia memakan apel. Di dalam apel kan ada bijinya, nah biji itu disimpannya baik-baik. Kepada sipir penjara (tentu ia tidak bisa seperti Gayus Tambunan yang banyak duit), ia meminta agar diperkenankan bertemu dengan sang raja. Katanya, “aku mau sampaikan hadiah yang istimewa.”

Yah, namanya juga orang dipenjara, bersalah, walau niatnya baik kerap saja ada yang meragukannya. Ia tidak digubris oleh sipir itu. Ia pun mencari cara lain. Ia berteriak-teriak. “Pertemukan aku dengan raja!!!” Akhirnya, karena sang sipir juga kesal, bosan mendengarkan teriakan lengkingan sepanjang waktu itu, ia pun mengabulkan saja keinginan laki-laki penuh dosa itu.

Maka si bengal pun menghadaplah dia pada baginda raja. Dengan santun ia serahkan sebutir biji apel kepada raja, dan berkata, “biji apel ini ajaib. Ia akan berbuah emas yang tak putus-putus oleh waktu, sepanjang musim dan jaman.”

Mendengar hal yang rasanya tidak masuk akal itu, sang raja jadi murka. “Penipu kau!” begitu kata raja yang merasa dilecehkan. Menurut raja, kalaupun biji apel itu akan tumbuh menjadi sebuah pohon emas, maka pastilah si bengal itu yang akan menanamnya.
Tapi, si bengal itu berkomentar, “mohon maaf tuanku raja, saya tidak mungkin menanam itu.” “Kenapa?” tanya raja, penasaran. “Tuanku, syarat agar biji ini tumbuh jadi pohon emas adalah kalau yang tanam seorang yang jujur. Saya sendiri pasti jauh dari itu. Menurut saya, bagindalah yang paling tepat untuk itu.”

Tertegun sang baginda. Terhenyak. Dia jadi teringat catatan kelamnya ketika ia harus membunuh raja sebelumnya—hanya demi mendapatkan tahta. Sebuah tahta yang kini telah didudukinya. “Oh, tidak. Lebih baik perdana menteri saja yang menanamnya,” kata raja. Sang Perdana mentripun terkesima, teringat kasak kusuknya kepada baginda agar ia diangkat menjadi perdana mentri, walaupun ia tahu ada yang lebih tepat menduduki posisi itu. Dia menolak menanam biji apel tersebut dan meminta salah seorang menteri untuk menanamnya.

Demikianlah biji tersebut senantiasa berpindah tangan, dari mentri yang merasa memperoleh kedudukannya dengan menjilat perdana mentri, ke panglima perang, yang merasa pernah melakukan kesalahan karena salah menghukum orang.

Biji apel, yang dikenal dengan benih kejujuran tersebut terus menerus berpindah tangan, dari penuntut hukum yang merasa pernah salah menuntut orang, kepada hakim yang juga merasa pernah salah menghukum seseorang.

Bahkan para tetua adat dan pemuka agamapun nggak ada yang berani menanamnya dengan alasan merasa track record-nya nggak bersih-bersih amat.

Ceritanya, kalau pernah berlaku tidak jujur, maka biji apel akan berbuah apel. Tidak berbuah emas, sehingga akan ketahuanlah ketidak jujuran yang menanam. Begitulah yang dipercayai orang perorang.

Akhirnya, Baginda Raja berujar, “Anak muda, kamu terbebas dari hukuman, karena bagaimanapun, kamu sudah dengan sangat terbuka diketahui kesalahannya dan sudah mendapat hukuman. Sedangkan kami, kita, yang lainnya, ternyata adalah pelaku ketidakjujuran, pelaku ketidakbenaran yang berpura pura dan tertutup topeng kepalsuan. Terbukti, tidak ada satupun yang berani menanam biji benih kejujuran tersebut, yang artinya semuanya meragukan kejujuran dan kebenaran dirinya, mengetahui bahwa jejak rekamnya tidak begitu mulus, tidak begitu baik, sehingga nggak punya keberanian untuk menanam benih kejujuran tersebut.”

Apa pesan moral dari cerita itu?

Kita sering melihat orang lain dengan kacamata yang negatif. Seorang penjahat misalnya, dari kedalaman hatinya pasti ada setitik kebaikan. Dalam kasus ini, ia ingin sekali menikah. Dan, ia jujur sekali untuk itu. Artinya, kalau ia ingin menikah, berarti ia ingin mengubah hidupnya dari yang gelap menuju terang. Di jaman sekarang ini, tak jarang ada yang tidak mau menikah. Ada yang alasannya karena ekonomi, karena tidak mau diatur-atur, atau ada yang terjebak dalam kelainan orientasi seksual. Si penjahat dalam moral ilustrasi di atas, telah benar-benar jujur untuk itu.

Akhirnya, walau dipenjara, dia pun berpikir untuk bisa keluar dan memberikan perspektif baru: semacam nasehat kepada penguasa. Biji apel yang katanya akan tumbuh emas kalau ditanam oleh orang yang tidak pernah bohong itu, berat. Siapa di jaman ini yang tidak pernah bohong? Bisa jadi, hanya anak kecil, itupun yang masih balita.

Si raja yang besar itu, para menteri, pemimpin perang, dan seterusnya, tak ada yang mampu untuk menanam biji itu. Tak mampu, bukan karena fisik mereka lemah, akan tetapi karena jiwa mereka tak lepas dari bohong dari hari ke hari. Jadi pemimpin juga karena kesuksesan membohongi masyarakat, jadi anggota dewan juga begitu, dan seterusnya. Saat ini, kita butuh orang-orang yang jujur untuk mengelola dunia yang sudah semakin tua ini. ***

* Cerita dalam tulisan ini diambil dalam sebuah blog di internet dengan diubah beberapa bagian, namun tetap substantif. * Dosen, Penulis 10-an buku, Admin Majelis Hikmah Pondok Indah, bekerja di Jimly School of Law and Government, Jakarta.

Recent Posts

Kunjungan Santri Darunnajah 14 Dalam Harbukfes 2024 di Untirta

Santri Pondok Pesantren Darunnajah 14 turut meramaikan Harbukfes 2024 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).…

4 hours ago

Membentuk Hafidzah Unggul

Di era modern ini, tantangan dalam menghafal Al-Qur'an semakin beragam. Godaan teknologi, lingkungan pergaulan, dan…

8 hours ago

Hadirilah!!! Halal Bihalal IKPDN Tahun 2024

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 📢 UNDANGAN HALAL BIHALAL IKPDN PUSAT DAN CABANG TAHUN 2024 Dengan rahmat…

18 hours ago

Darunnajah Berqurban

PANITIA QURBAN PONDOK PESANTREN DARUNNAJAH JAKARTA بسم الله الرحمن الرحيم السلام عليكم ورحمة الله وبركاته…

19 hours ago

Membangun Dasar Hafalan Al-Quran sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, pendidikan agama menjadi fondasi penting dalam membentuk karakter…

1 day ago

Menyemai Cinta dan Hafalan Al-Quran di Kota Hujan

Kota Hujan, sebuah julukan yang melekat pada Kota Bogor, Jawa Barat. Kota yang dikenal dengan…

2 days ago