Menikah merupakan ibadah mulia dalam Islam. Namun, tekanan untuk segera menikah dari keluarga seringkali membuat sebagian orang merasa tertekan dan tidak nyaman. Bagaimana cara mengatasinya dengan bijak?
Tulisan ini membahas tentang penyebab tekanan menikah dari keluarga, dampak psikologisnya, serta cara-cara efektif menghadapinya dari perspektif Islam. Berikut uraiannya:
Mengapa keluarga menekan untuk menikah?
Tekanan untuk menikah dari keluarga bisa muncul karena berbagai alasan. Kekhawatiran orang tua, tradisi budaya, atau keinginan melihat anak bahagia sering menjadi pemicunya.
Contohnya, seorang wanita berusia 28 tahun yang sudah mapan dalam karir terus mendapat desakan dari orang tuanya untuk segera menikah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menjelaskan tujuan mulia pernikahan dalam Islam yaitu untuk mendapatkan ketentraman dan kasih sayang.
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400)
Hadits ini menunjukkan anjuran menikah bagi yang telah mampu.
Bagaimana dampak tekanan menikah?
Tekanan untuk menikah bisa menimbulkan stres dan kecemasan. Beberapa orang mungkin merasa tidak siap atau belum menemukan pasangan yang tepat.
Misalnya, seorang pria berusia 30 tahun merasa tertekan dan kehilangan kepercayaan diri karena terus ditanya kapan menikah di setiap pertemuan keluarga.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini mengingatkan bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734)
Hadits ini mengajarkan kita untuk saling mempermudah urusan, bukan mempersulit.
Kapan waktu yang tepat untuk menikah?
Waktu yang tepat untuk menikah berbeda-beda bagi setiap orang. Kesiapan mental, spiritual, dan finansial perlu dipertimbangkan dengan matang.
Contohnya, sepasang kekasih yang sudah siap menikah tapi memutuskan untuk menunda karena ingin menyelesaikan studi terlebih dahulu.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 33)
Ayat ini memberikan solusi bagi yang belum mampu menikah untuk menjaga kesucian diri.
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengendalikan syahwat.” (HR. Bukhari no. 5066)
Hadits ini memberikan alternatif bagi yang belum mampu menikah.
Bagaimana berkomunikasi dengan keluarga?
Komunikasi yang baik dengan keluarga sangat penting dalam menghadapi tekanan menikah. Jelaskan dengan sopan alasan dan rencana masa depan kita.
Misalnya, seorang anak mengajak orang tuanya berdiskusi tentang keinginannya untuk fokus pada karir terlebih dahulu sebelum menikah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).”” (QS. Al-Isra: 53)
Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu berkata-kata yang baik, termasuk kepada orang tua.
Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda.” (HR. Tirmidzi no. 1919)
Hadits ini mengingatkan pentingnya menghormati orang yang lebih tua, termasuk orang tua kita.
Pentingnya introspeksi diri
Menghadapi tekanan menikah juga bisa menjadi momen untuk introspeksi diri. Apakah kita benar-benar belum siap atau justru takut komitmen?
Contohnya, seorang pria yang selalu menolak perjodohan akhirnya menyadari bahwa ia sebenarnya takut akan tanggung jawab pernikahan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini mengajak kita untuk selalu introspeksi diri dan mempersiapkan masa depan.
Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang cerdas adalah yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan sesudah mati.” (HR. Tirmidzi no. 2459)
Hadits ini mengajarkan pentingnya mengendalikan diri dan memikirkan masa depan.
Bagaimana menyiapkan diri untuk menikah?
Persiapan menikah tidak hanya secara finansial, tapi juga mental dan spiritual. Belajar tentang pernikahan dalam Islam dan meningkatkan kualitas diri sangat penting.
Misalnya, seorang wanita yang ingin menikah mulai belajar ilmu-ilmu rumah tangga dan memperdalam pengetahuan agamanya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)
Ayat ini menjanjikan pertolongan Allah bagi yang ingin menikah namun dalam kesulitan.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika datang kepadamu seorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kamu tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi no. 1084)
Hadits ini mengingatkan pentingnya memilih pasangan yang baik agama dan akhlaknya.
Bagaimana jika belum ingin menikah?
Jika memang belum ingin menikah, fokuslah pada pengembangan diri dan ibadah. Gunakan waktu untuk meningkatkan kualitas diri dan mendekatkan diri pada Allah.
Contohnya, seorang pemuda yang belum ingin menikah memutuskan untuk melanjutkan studi S2 dan aktif dalam kegiatan sosial keagamaan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُم بِوَاحِدَةٍ ۖ أَن تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَىٰ وَفُرَادَىٰ ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad).”” (QS. Saba: 46)
Ayat ini mengajak kita untuk selalu mengingat Allah dan memikirkan kebenaran, baik sendiri maupun bersama orang lain.
Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Thabrani)
Hadits ini mendorong kita untuk terus berbuat baik dan bermanfaat bagi sesama.
Menghadapi tekanan untuk menikah dari keluarga memang tidak mudah. Namun dengan pendekatan yang bijak, komunikasi yang baik, dan tetap berpegang pada ajaran Islam, kita bisa mengatasinya dengan baik.
Mari kita bersikap dewasa dalam menghadapi masalah ini. Hormati keinginan keluarga, namun tetap tegas dengan pilihan kita. Ingatlah bahwa pernikahan adalah ibadah yang harus dipersiapkan dengan matang. Semoga Allah SWT selalu membimbing kita dalam mengambil keputusan terbaik. Aamiin.