Mahfuzhat merupakan kata-kata mutiara atau hikmah yang sarat makna. Ungkapan-ungkapan ini mengandung pelajaran berharga yang dapat kita petik untuk kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini membahas tentang makna di balik beberapa mahfuzhat tentang persaudaraan dan lisan. Kita akan menggali hikmah yang terkandung di dalamnya dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan.
Berikut uraiannya:
Apa Dampak Menolong dalam Keburukan?
مَنْ أَعَانَكَ عَلىَ الشَّرِّ ظَلَمَكَ
“Barangsiapa yang menolongmu dalam keburukan, sungguh ia telah menzhalimimu.”
Mahfuzhat di atas mengajarkan kita untuk berhati-hati dalam memilih teman atau rekan. Orang yang mendukung atau membantu kita dalam melakukan keburukan sejatinya bukanlah teman sejati. Ia justru telah berbuat zhalim kepada kita, karena membiarkan atau mendorong kita terjerumus dalam keburukan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman.” (HR. Abu Dawud no. 4833, Tirmidzi no. 2378. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pilihlah teman yang baik, yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kita dari keburukan. Jika ada yang berusaha menyeret kita dalam kejahatan, meskipun berpura-pura menolong, sejatinya dia telah menzhalimi kita. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu…” (QS. Ali ‘Imran [3]: 118)
Bagaimana Nilai Seseorang Ditentukan?
قِيْمَةُ الْمَرْءِ بِقَدْرِ مَا يُحْسِنُهُ
“Nilai seseorang tergantung pada kebaikan yang bisa dia lakukan.”
Hikmah ini mengajarkan bahwa kualitas seseorang sangat ditentukan oleh seberapa banyak kebaikan dan manfaat yang bisa dia berikan. Bukan ditentukan oleh harta, jabatan, ataupun popularitasnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3289)
Seseorang yang hidupnya banyak memberikan manfaat bagi orang lain, itulah orang yang bernilai di sisi Allah. Sebaliknya, orang yang tidak memberikan kebaikan apa-apa, nilai dirinya rendah di hadapan Allah meskipun secara duniawi terlihat mulia.
Apakah Makna Saudara Sejati?
رُبَّ أَخٍ لَمْ تَلِدْهُ وَالِدَةٌ
“Betapa banyak saudara yang tidak dilahirkan oleh seorang ibu.”
Kata-kata hikmah ini mengajarkan bahwa ikatan persaudaraan tidak hanya terbatas pada hubungan darah atau keluarga. Di luar itu, kita bisa memiliki saudara-saudara yang meskipun tidak dilahirkan dari rahim ibu kita, namun kedekatan dan perhatiannya melebihi saudara kandung sendiri.
Nabi ﷺ menggambarkan kedekatan antar saudara seiman dalam sabdanya:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan belas kasihan di antara mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluhkan suatu penyakit, maka seluruh tubuh pun ikut merasakannya dengan tidak tidur dan demam.” (HR. Muslim no. 2586)
Itulah gambaran saudara seiman sejati. Tidak hanya sekedar perhatian luarnya, tapi memiliki ikatan hati yang mendalam. Karena itulah, persaudaraan tidak hanya terbatas pada hubungan darah.
Motivator Islami, Dr. Aidh Al-Qarni berkata, “Sahabat lebih baik dari seribu kerabat dan seorang kekasih lebih baik dari seribu sahabat.”
Manakah yang Lebih Berbahaya, Terpeleset Kaki atau Lisan?
عَثْرَةُ الْقَدَمِ أَسْلَمُ مِنْ عَثْرَةِ اللِّسَانِ
“Terpelesetnya kaki lebih selamat daripada terpelesetnya lisan.”
Petuah ini menegaskan bahwa kesalahan dalam ucapan bisa lebih berbahaya dampaknya dibandingkan terjatuh atau terpeleset kaki. Luka fisik akibat terjatuh masih bisa disembuhkan. Tapi luka hati karena ucapan yang menyakitkan bisa meninggalkan bekas yang dalam dan sulit dipulihkan.
Dalam haditsnya, Rasulullah ﷺ memperingatkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang diridhai Allah tanpa dihiraukan olehnya, (namun) dengan sebab (kalimat) itu Allah angkat derajatnya beberapa tingkatan. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa dihiraukan olehnya, (namun) dengan sebab (kalimat) itu dia terlempar ke dalam Jahanam.” (HR. Bukhari no. 6478)
Ini menunjukkan betapa besarnya dampak sebuah perkataan di hadapan Allah. Perkataan yang baik bisa mengangkat derajat seseorang, sedangkan perkataan buruk bisa menjatuhkannya ke neraka. Jadi penting bagi kita untuk menjaga lisan dari ucapan yang membahayakan.
Di Mana Letak Keselamatan Seseorang?
سَلَامَةُ الْإِنْسَانِ فِي حِفْظِ اللِّسَانِ
“Keselamatan seseorang terletak pada kemampuannya menjaga lisan.”
Hikmah ini semakin mempertegas pentingnya menjaga lisan. Karena keselamatan seseorang baik di dunia maupun di akhirat sangat bergantung pada kemampuannya mengendalikan perkataan.
Lisan yang tidak terjaga bisa menyebabkan berbagai keburukan. Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari (keburukan) lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40)
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tanda kesempurnaan iman seseorang adalah ketika ucapan dan perbuatannya tidak menyakiti orang lain, baik dengan cacian, gibah, dusta, atau kata-kata yang merendahkan kehormatan.”
Maka jika ingin selamat, biasakan untuk berkata yang baik-baik saja. Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam. Sebagaimana nasehat Rasulullah ﷺ:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018, Muslim no. 47)
Kapankah Ketulusan Persahabatan Terlihat?
مَوَدَّةُ الصَّدِيقِ تَظْهَرُ وَقْتَ الضِّيقِ
“Ketulusan persahabatan akan terlihat di waktu sempit (sulit).”
Ungkapan ini mengajarkan kita tentang hakikat persahabatan yang sesungguhnya. Sahabat sejati bukanlah yang datang di saat senang saja, tapi yang tetap setia menemani di kala susah.
Ketika kita sedang menghadapi kesulitan, di sanalah niat tulus seorang sahabat akan diuji. Apakah ia tetap bersama kita, ataukah justru menjauh dan meninggalkan kita.
Dalam sebuah atsar disebutkan:
الإِخْوَانُ ثَلَاثَةٌ، فَوَاحِدٌ كَالْغِذَاءِ لَا بُدَّ مِنْهُ، وَالثَّانِي كَالدَّوَاءِ تَحْتَاجُ إِلَيْهِ أَحْيَانًا، وَالثَّالِثُ كَالدَّاءِ لَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ أَبَدًا
“Sahabat itu ada tiga macam: 1) Sahabat yang seperti makanan pokok, kamu selalu memerlukannya. 2) Sahabat yang seperti obat, kamu memerlukannya sewaktu-waktu. 3) Sahabat yang seperti penyakit, kamu tidak memerlukannya sama sekali.” (Dikatakan oleh Yahya bin Mu’adz Ar-Razi)
Sahabat sejati ibarat makanan pokok, keberadaannya selalu dibutuhkan baik di waktu lapang maupun sempit. Sahabat yang hanya datang saat butuh atau senang saja seperti obat. Sedangkan yang menjauh atau menjatuhkan kita di masa-masa sulit, sesungguhnya ia bukan sahabat, tapi penyakit yang harus dijauhi.
Karenanya, berhati-hatilah dalam memilih sahabat. Pilihlah sahabat yang tulus, yang setia menemani kita baik di waktu senang maupun susah. Dan jadilah sahabat yang baik pula bagi mereka.
Kesimpulan
Demikianlah beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik dari mahfuzhat tentang persaudaraan dan lisan. Kita diajarkan untuk:
1) Berhati-hati memilih teman, jangan sampai berteman dengan orang yang mendukung keburukan.
2) Menilai kualitas seseorang dari kebaikan dan manfaat yang bisa dia berikan.
3) Memahami bahwa persaudaraan tidak terbatas pada hubungan darah saja.
4) Menjaga lisan karena kesalahan ucapan bisa lebih berbahaya daripada terpeleset kaki.
5) Menyadari bahwa keselamatan bergantung pada kemampuan menjaga lisan.
6) Memilih sahabat yang tulus, yang setia menemani baik di waktu susah maupun senang.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kata-kata para ulama ini dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi di hadapan Allah dan sesama manusia.
Penutup
Belajar dari kata-kata hikmah memang tidak ada habisnya. Selalu ada pelajaran dan motivasi baru yang bisa kita dapatkan. Maka jangan pernah berhenti untuk terus menggali ilmu dan hikmah.
Semoga pembahasan tentang mahfuzhat kali ini bisa menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Mari kita terapkan hikmah-hikmah tersebut agar kita bisa menjadi pribadi dengan akhlak dan adab yang mulia, terutama dalam hal menjaga persaudaraan dan lisan. Sehingga kita bisa meraih kebahagiaan tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat kelak.
Mari Beraksi!
Setelah mengetahui berbagai hikmah tentang persaudaraan dan lisan, saatnya kita beraksi dan mempraktekkannya. Mulailah dengan hal-hal kecil seperti:
– Mendoakan kebaikan untuk saudara dan sahabat kita.
– Menjaga lisan dari ucapan yang menyakiti atau merugikan orang lain.
– Memberikan bantuan dan dukungan tulus kepada saudara yang sedang kesulitan.
– Membiasakan diri untuk mengucapkan kata-kata yang baik dan bermanfaat.
– Menjauhi teman yang mengajak kepada keburukan dan memilih sahabat-sahabat yang saleh.
Jika hal-hal kecil ini kita lakukan secara istiqamah, niscaya kita akan menuai banyak kebaikan dan menjadi hamba Allah yang dicintai-Nya. Maka tunggu apa lagi? Ayo segera beraksi!