Assalamu’alaikum wr.wb …
Salam semangat menuntut ilmu dari negeri dua benua..
Merhabalar..
Ikhwan akhwat pembaca yang dirahmati Allah, mungkin antum semua mempunyai keinginan yang sama dengan saya, yakni ingin melanjutkan pendidikan di negeri baru dengan suasana baru dan tentunya semangat baru ?! Atau mungkin justru antumlah yang memiliki pengalam yang jauh lebih menarik dari pengalaman saya berikut ?! Haydi bakalım.
28 September 2016 merupakan hari pertama saya menginjakkan kaki di Bumi AL-Fatih. Perasaan syukur, senang dan bingung bercampur menjadi satu kala itu. Syukur dan senang, karena pada hari itulah cita-cita saya untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri terwujud. Bingung, karena saya berangkat hanya dengan bermodalkan pendidikan bahasa dari Pesantren, bahasa Arab dan Inggris. Sedang kala itu, saya belum mengenal sama sekali bagaimana Turki dan seisinya.
Dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Atatürk di Istanbul sampai dengan Bandara Esenboğa di Ankara, Alhamdulillah tak ada kendala yang begitu berarti. Saya hanya bingung ke mana saya harus pergi selanjutnya, karena komunikasi saya terputus dengan pihak beasiswa yang akan menjemput saya di bandara Esenboğa – Ankara. Selesai mengambil bagasi Alhamdulillah Allah mempertemukan saya dengan pihak beasiswa persis ketika saya melangkahkan kaki ke luar pintu kedatangan. Di depan saya berdiri seorang perempuan paruh baya berkerudung yang membawa selembar kertas dengan nama dan negara saya tertulis di sana.
Baru ketika di mobil saya tahu, bahwa dua bahasa yang saya kantongi tak memadai perjalan saya. Karena dari dua orang yang menjemput saya di bandara, tak ada dari keduanya yang dapat saya ajak berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Setelah beberapa bulan, barulah saya mendapat pengetahuan baru dari warga Turki yang tinggal di sekeliling saya. Masyarakat Turki merupakan masyarakat yang sangat mencintai tanah airnya. Mereka menyebut diri mereka sendiri dengan sebutan Vatan Sever (Pecinta Tanah Air). Karena itu pulalah mereka sangat mencintai dan menjaga bahasa dan budaya mereka. Dan inilah salah satu tantangan saya dalam menuntut ilmu. Bahasa.
1 Bulan pertama, perbendaharaan kosakata saya masih sangat minim. Saya hanya bisa mengucapkan beberapa nama benda dan kata sapaan. Saya mampu menyapa, namun ketika diberikan jawaban oleh lawan bicara saya, saya masih belum bisa memahami dan membalasnya. Seiring dengan berjalannya kursus bahasa Turki, TӦMER (Türkçe ve Yabancı Dil Araştirma ve Uygulama Merkezi) di lembaga bahasa Ankara Üniversitesi yang saya ikuti selama kurang lebih 9 bulan, pengetahuan berbahasa saya pun meningkat. Menurut saya, pelajar Indonesia memiliki keuntungan tersendiri dalam belajar bahasa Turki. Sama halnya dengan bahasa Indonesia, bahasa Turki pun sangat dekat dengan bahasa Arab. Malah bisa dibilang lebih dan sangat dekat. Dari artikel yang pernah saya baca, terdapat 6.467 kosa kata bahasa Arab dalam bahasa Turki. Bahasa lama Turki pun menggunakan alphabet bahasa Arab dengan beberapa huruf tambahan di dalamnya,yang dikenal dengan nama Osmanlıca.
Dan dari cara melafalkan huruf- hurufnya, orang Turki banyak mengganti A menjadi E. Misal Alif menjadi Elif, Zakiyah menjadi Zekiyeh dan lain sebagainya. Karena itulah ketika membaca Al-Qur’an dan tulisan-tulisan berbahasa Arab, pelafazan mereka terdengar aneh. Namun tak hanya dalam melafalkan bahasa Arab saja, pelafalan Bahasa Inggris mereka pun terdengar aneh di telinga kami.
Kurang lebih 5 tahun hidup di lingkungan pesantren, membuat saya terbiasa dengan kegiatan rutin pesantren yang padat dan tentunya bernuansa Islami. 2 bulan tinggal di asram baru, menjadi sedikit membosankan bagi saya. Tidak ada peraturan ketat dan sanksi berarti di sini. Tak ada santriwati yang berbondong ke masjid ketika adzan berkumandang. Tak ada yang mengantri untuk pergi ke kamar mandi. Juga tak ada santri yang membaca Al-Qur’an dengan pengeras suara.
Sholat jama’ah dan mendengar bacaan Al-Qur’an dengan pengeras suara, hanya saya dapati di masjid- masjid besar di sini. Dan itu selalu mengagumkan. Beberapa waktu lalu saya pergi ke Masjid Haci Bayram-Ulus-Ankara, untuk sholat zuhur dan mencari buku tambahan bersama teman kelas. Hari Jum’at ketika itu. Biasanya saya datang ke masjid itu weekend saja. Memasuki halaman masjid, kami dapati beberapa petugas keaman yang sudah berjaga di beberapa titik. Juga jama’ah perempuan yang duduk di taman dengan bungkusan besar di tangannya dan jama’ah laki-laki yang sudah membludak di luar masjid mendengarkan khutbah sholat Jum’at.. Ya, mereka sengaja pergi ke masjid untuk sholat dan memberi makanan kepada jama’ah secara gratis. Di sini, perempuan pun menunaikan sholat Jum’at. Masuk ruang sholat pun mengatri karena masjid full. Kami baru bisa masuk dan sholat zuhur setelah 15 menit berdiri dalam antrian.
Ketika masih di TӦMER kami memiliki sedikit masalah untuk beribadah. Ketika hari Jum’at khusunya. Karena waktu sholat berdekatan dengan waktu mulai pelajaran setelah istirahat siang, juga letak kantin, ruang sholat dan kelas yang berjauhan membuat kami sering telat masuk setelah jam istirahat. . Sedang di TӦMER, tak semua pelajar beragama Islam. Maka pelajaran akan tetap berjalan sesuai waktunya dan kami tertinggal. Di komplek kampus tempat kami mengikuti TӦMER, hanya ada ruang sholat yang kapasitasnya tak begitu besar. Masjid besar hanya ada di gedung fakultas Ilahiyat, dan itu berada di luar komplek inti kampus. Jadi, ketika hari Jum’at, ada sebagian teman muslim kami yang harus pergi ke luar komplek inti kampus untuk menunaikan Sholat Jum’at.
Tapi itu tak berlarut lama. Kami pun membuat kesepakatan dengan guru pengajar, yaitu; tak ada istirahat makan siang, hanya ada jeda sebentar antar jam pelajaran yang kami gunakan untuk sholat. Kami pun membawa bekal makanan berat yang bisa kami makan di kelas ketika jeda antar jam pelajaran. Juga di musim dingin kala itu, tak ada keran untuk air hangat di tempat wudhu di ruang sholat, dan ruang sholat pria wanita hanya berbatas gorden. Setelah beberapa waktu, akhirnya kami dibuatkan ruang sholat dengan letak gedung yang terpisah, juga ada air hangat untuk berwudhu. Alhamdulillaah..
Menjadi salah satu warga negara muslim terbesar di dunia, mendatangkan banyak keuntungan tersendiri bagi saya dan mungkin juga pelajar Indonesia lain yang sedang menempuh pendidikan di negeri lain. Ketika saya menyebut nama Endonezya (Indonesia), biasanya lawan bicara saya akan terlihat semakin sumringah dan penasaran. Tak sedikit pula dari mereka yang mengatakan, “ Ah, Endonezya.. Biz kardeşiz” (Ah, Indonesia.. kita adalah saudara). Mereka yang pernah pergi haji dan memiliki pengalaman bertemu dengan jamaah Indonesia di Makkah bilang, orang Indonesia itu bertubuh mungil, penolong dan sangat beradab. Sangat berbeda dengan perawakan mereka yang umumnya berbadan besar dan tinggi.
Salah satu budaya Turki yang saya suka adalah, banyaknya kata ucapan atau do’a singkat yang mereka gunakan dalam bahasa sehari-hari. Ketika di ruang makan, mereka saling mengucapkan Afiyet olsun (semoga dari makanan yang kita makan mendatangkan kesehatan). Ketika sedang mengerjakan sesuatu, Kolay gelsin (semoga dimudahkan pekerjaannya). Ketika diberikan atau dibelikan sesuatu oleh oranglain Kesene bereket (semoga diberkahi atas harta/uang yang digunakan) dan lain sebagainya.
Dari dimensi budaya, ada banyak perbedaan yang saya dapati di sini. Misal di dalam keluarga. Jika dalam budaya Indonesia kita memiliki panggilan sopan kepada orangtua, di sini tidak. Kata engkau bisa dikatakan lebih sopan dari kata kamu atau kau. Misal, “Ibu, engkau sedang apa ?” dalam bahasa Turki, “Anne, sen napıyorsun ?” . Dalam bahasa turki Sen berarti kamu dan Siz berarti kalian/ anda/ panggilan formal atau sopan. Namun dalam bahasa Turki, sebutan kepada orangtua hanya menggunakan sen bukan siz.
Pengalaman lain yang membuat saya sempat berpikir untuk pindah kelas ketika awal masuk kelas beberapa waktu lalu. Pagi itu saya mencari kelas bersama teman kelas lain. Kami berada di fakultas kami, İlahiyat Fakültesi (Fakultas Syari’ah). Ketika mendapati di kelas kami ada perempuan belum berkerudung, saya langsung mengajak teman saya untuk menengok kelas lain barangkali kami salah masuk kelas. Ternyata tidak. Dan perempuan belum berkerudung yang tadi kami lihat ternyata dosen pengajar kami. Ya, di sini, meskipun berada dan belajar di fakultas yang bernuansa Islami, namun masih ada hal seperti yang saya dapati tersebut, baik dari pelajar maupun pihak pengajar.
Hal lain, jika di Indonesia kita biasa mencium tangan ketika datang atau bertemu dengan saudara, di sini lebih menerapkan mu’annaqoh 3 kali. Pertama kali datang, saya mencium tangan guru saya dan beliau merasa terkejut dan tersanjung. Setelah bertanya, ternyata di sini cium tangan hanya dilakukan pada saat tertentu saja dan kepada orang yang sangat dihormati saja.
Misal ketika hari raya. Dan itupun tak semua melakukannya. Hanya anak kecil kepada orang-orang tua di sekitanya. Misal cucu kepada nenek dan kakeknya atau kepada paman dan bibinya. Mereka bilang, dulu mereka juga melakukan budaya itu, namun sekarang kian menghilang.
Ada juga beberapa hal yang mungkin sangat bertolak belakang dengan pandangan masyarakat kita pada umumnya namun di sini dianggap biasa saja,seperti; berlebihan ketika memuji atau kecewa terhadap sesuatu, mudah berubah pikiran, menutup pintu dengan keras, sering berteriak, meninggikan sanggul di balik kerudung, menyukai parfum, pesta dan tarian, dan hal lainnya.
Orang yang menuntut ilmu selalu saja diberikan keistimewaan oleh sang Maha Alim. Bagi saya kehidupan pelajar di Turki sangat dimudahkan. Di Turki, banyak terdapat asrama atau juga rumah pelajar. Baik milik pemerintah ataupun swasta dengan uang bulanan yang terjangkau. Beberapa teman kelas saya yang datang dari luar kota dan tinggal di asrama pemerintah bilang, per bulan mereka hanya perlu membayar uang asrama 150 TL (Rp 560.000) dengan fasilitas asrama yang memadai. Untuk yang ingin tinggal di gedung asrama baru milik pemerintah, biaya bulanan asramanya mulai 160 TL sampai 265 TL (di ibu kota, Ankara).
Ketika bepergian pun jangan lupa membawa identitas pelajar. Di Ankara sendiri, kendaraan umum jarak dekat ada beberapa jenis. Ada otobüs (bus) milik pemerintah dan swasta, dolmuş (seperti mobil angkot), metro dan Ankaray (kereta listrik bawah tanah). Harga normal 2,50 TL dan harga pelajar 1,75 TL. Sedang kendaraan jarak jauh ada bus antar kota, kereta cepat antar kota, dan pesawat. Untuk kereta cepat dan bus antar kota, selalu ada harga khusus pelajar.
Tinggal di Turki, harus punya Müze Kart (Kartu Musium). Karena pemegang kartu museum tidak akan dikenakan biaya ketika masuk berkunjung ke musium-musium yang dikelola pemerintah atau museum-musium besar. Untuk masuk museum yang dikelola pihak non pemerintah, tiket masuknya beragam mulai dari 5 TL per orang, dan mulai 2 TL untuk pelajar.
Dan tentunya masih banyak lagi keseruan dan keuntungan lain yang bisa didapatkan dari belajar di negeri dua benua ini.