Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Kisah Rasulullah Saw. Melewati Perkampungan Kaum Tsamud dalam Perjalanan ke Tabuk

Dalam sejarah Islam, perang Tabuk adalah pertempuran yang sangat terkenal. Di sinilah terakhir kali Rasulullah saw. bertempur. Suatu hari Rasulullah saw. mengetahui bahwa pasukan Romawi sedang bersiap-siap akan menyerang Madinah Al-Munawwarah. Mendengar berita itu, pada tanggal 5 Rajab tahun 9 H. tanpa membuang waktu, Nabi saw. mengerahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan perlengkapan perang. Ketika itu sedang musim kemarau yang sangat panas. Karena pasukan Romawi jumlahnya sangat besar, dan mungkin para sahabat akan menemui kesulitan, Rasulullah saw. terpaksa mengumumkan kepada kaum Muslimin untuk bergotong-royong menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Orang-orang kaya diminta untuk memberikan sumbangan harta untuk biaya perang.

Pada masa itulah Abu Bakar r.a. mendermakan seluruh harta yang ada di rumahnya. Ketika ditanya oleh Nabi saw., “Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” Dia menjawab, “Saya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.”

Umar bin Khaththab r.a. mendermakan setengah harta kekayaannya. Utsman bin Affan r.a. membekali alat perlengkapan hampir sepertiga kebutuhan kaum Muslimin. Sedangkan yang lainnya telah berinfak menufut kemampuan masing-masing.

Keadaan mereka ketika itu sebenarnya amat susah, hingga satu ekor unta diperuntukkan bagi sepuluh orang, karena kurangnya binatang ini. Oleh karena itulah, perang ini dikenal juga dengan istilah Jaisyul ‘Usrah (pasukan kesulitan).

Memang pada perang ini penuh dengan kesusahan, jarak yang ditempuh tentara kaum muslimin sangat jauh, pada waktu itu sedang musim panas terik yang membakar, ditambah lagi kebun-kebun kurma mereka sudah siap untuk dipanen. Padahal sebagian besar usaha penduduk Madinah bergantung kepada bercocok tanam kurma, dan itulah yang menjadi rezeki mereka selama satu tahun. Tiba-tiba mereka diseru untuk berangkat menghadapi musuh yang paling gagah dan meninggalkan kebun-kebun mereka.

Hal ini merupakan ujian yang amat berat atas keimanan kaum muslimin pada waktu itu. Di satu sisi mereka memiliki ketakwaan kepada Allah dan tidak mungkin melalaikan perintah Nabi saw. dan tidak menyertai pertempuran itu. Sedang di sisi lain mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi dan sebentar lagi akan berakhir dengan memetik hasil panen kurma mereka yang telah ditanam bertahun-tahun lamanya, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk meninggalkannya.

Tetapi karena keimanannya yang teguh, mereka semua tidak ada yang ingin tinggal diam di Madinah kecuali kaum wanita, anak-anak dan orang-orang munafik serta mereka yang tidak mempunyai kendaraan. Ada di antara mereka yang menangis karena tidak dapat menyertai Nabi saw. dan tentara- tentara muslimin. Mengenai orang-orang ini Allah telah berfirman:

“Mereka berpaling, sedang mata mereka mengalirkan air mata karena sedih dan mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat mereka belanjakan.” (Qs. At-Taubah [9]: 92)

Di antara mereka yang benar-benar beriman, hanya tiga orang mukmin saja yang tanpa alasan tidak dapat menyertai pertempuran itu. Kisah mereka akan diceritakan kemudian. Sementara itu dalam perjalanan mereka ke Tabuk, pasukan muslimin telah sampai di perkampungan kaum Tsamud, yaitu suatu kaum yang telah dibinasakan oleh Allah. Di sini Rasulullah saw. menutup wajah dengan ujung gamisnya, sambil mempercepat perjalanannya. Beliau juga memerintahkan para sahabatnya, “Di tempat ini hendaklah kalian berjalan dengan cepat, dan berjalan sambil menangis karena kalian sedang melewati perkampungan kaum yang zhalim. Takutlah kepada Allah agar Allah tidak menurunkan adzab kepada kalian sebagaimana yang telah diturunkan kepada kaum Tsamud.” (Islamul Khamis)

Hikmah: Lihatlah sikap Rasulullah saw. dan para sahabatnya ketika melewati perkampungan Tsamud yang telah dibinasakan oleh Allah. Rasulullah saw. memerintahkan sahabatnya untuk menangis. Semoga adzab yang telah diturunkan kepada mereka tidak diturunkan kepada kita. Akan tetapi keadaan kita saat ini, apabila di suatu kampung terkena gempa bumi, maka tempat itu dijadikan tempat rekreasi. Kita tidak merasa sedih, bahkan hati kita tidak ada kerisauan yang membuat kita menangis karena takut kepada adzab Allah. [WARDAN/Deni]

Transkrip dari Buku Fadilah Amal, Bab Kisah Para Sahabat

Pendaftaran Santri Baru