Belakangan ini kehebohan terjadi di media sosial dan media masa dengan pernyataan seorang Kapolres saat diwawancara secara live salah satu stasiun televisi nasional pasca insiden pembakaran Mapolres di wilayah Sumatera Barat.
“Pak Kapolres pelaku diduga jaringan kelompok teroris atas dasar bukti apa kalau mereka tergabung dalam jaringan teroris?” tanya pembawa acara.
“Dalam proses melumpuhkan dua pelaku tersebut, pelaku meneriakan takbir kemudian menyatakan bahwa saya yang membakar, kemudian menyatakan bertanggung jawab dalam pembakaran, menyatakan taghut dan setelah dilumpuhkan ditemukan surat yang berisi kalimat-kalimat jihad, ada pisau, sangkur, anak panah dan penutup wajah”. Jawab Kapolres.
Saya sebagai seorang santri sangat tersinggung dengan pernyataan Kapolres yang menyebutkan pelaku pembakaran Mapolres adalah teroris lantaran tersangka meneriakkan takbir.
Bagi saya yang hidup di lingkungan pesantren kalimat takbir adalah sebuah kalimat “sakral” yang dapat menumbuhkan dan memunculkan ghirah atau semangat. Dalam sebuah seminar, pelatihan, atau bahkan dalam sebuah rapat di lingkungan pesantren untuk meningkatkan konsentrasi dan semangat kadang pembawa acara meneriakkan kalimat takbir.
Bahkan dalam setiap latihan muhadharah atau latihan pidato yang dilaksanakan seminggu sekali para santri meneriakkan kata takbir sebagai penyemangat untuk sang penceramah. Pun dengan para audinen atau pendengarnya meneriakan kata takbir dalam setiap jeda sesi sebagai penyemangat dan penghidup suasana.
Lima kali dalam sehari umat islam mengumandangkan azan, dan muazin setiap kali azan mengucapkan tiga kali kalimat “Allahu Akbar” artinya ada 15 kali kalimat takbir berkumandang dalam waktu 24 jam hanya dari satu mushola, masjid, laggar.
Jika definisi atau pengertian teroris adalah meneriakkan takbir, apa berarti para santri dan umat islam seluruhnya adalah teroris?
Bung Tomo dengan teriakkan takbirnya membakar semangat rakyat Surabaya melawan penjajah tanpa rasa takut. Para pejuang, para kyai mengumandangkan takbir untuk mengobarkan semangat para santrinya mengusir penjajah. Dan pekikan takbir dari panglima besar Salahudin Al Ayubi menggelorakan dan membakar semangat jihad pasukan muslim merebut kembali Yerusalem dari tangan tentra salib.
Dari contoh tersebut di atas dengan mengagungkan kebesaran Allah, apakah pantas kalimat takbir “Allahu Akbar” masuk dalam kategori ciri-ciri teroris.
Sepertinya pengertian teroris memang diarahkan hanya kepada para pelaku yang beragama Islam, sedangkan sekelomok orang dengan senjata lengkap modern menembaki polisi dan tentara di tanah cendrawasih yang ingin memisahkan/memerdekakan diri dari NKRI hanya disebut KKB (kelompok Kriminal Bersenjata).
Mengapa yang berwenang begitu gamang menyebut mereka teroris atau bahkan sparatis padahal sudah jelas mereka bersenjata lengkap menembaki dan membunuh para aparat yang bertugas disana dan tujuanya memisahkan diri dari NKRI, namum begitu enteng dan gampangnya mencap teroris kepada pelaku kejahatan yang kebetulan beragama Islam.
Apa hanya karena meneriakkan takbir kemudian dicap sebagai teroris? Jika demikian, maka beruntunglah Bung Tomo yang mengobarkan semangat rakyat Surabaya dengan teriakan takbirnya pada tahun 1945, andai saja itu dilakukan tahun 2017 ini mungkin saja Bung Tomo sudah ditangkap aparat karena dituding teroris.