Pada abad ke-10, para filolog meninggalkan metode dikte, yang pada awalnya dikenalkan para teolog. Mereka kemudian menggunakan metode pengajaran lainnya, tadris. Dengan metode, seorang guru menjelaskan sebuah subjek atau karya yang sebelumnya dibacakan seorang siswa.
Sama seperti pada saat seseorang menjelaskan buku ringkasan. Dalam praktik pengajaran tadris, seorang siswa diminta membacakan sebuah naskah mata pelajaran dengan keras. Dengan demikian, siswa lainnya bisa mendengarkan dan menyimak isi naskah itu.
Setelah itu, guru menerangkan maksud isi yang terkandung dalam naskah tersebut. Pengajaran dengan metode tadris, berkembang dan semakin luas digunakan di bidang pendidikan. Hal ini juga menyebabkan lembaga pendidikan madrasah kian kokoh.
Penyebabnya, metode debat yang muncul bersamaan dengan berkembangnya madrasah-madrasah dianggap tak cocok lagi. Semula debat banyak digunakan saat mengajarkan fikih yang merupakan pelajaran tetap di madrasah.
Di sisi lain, berkembang pula apa yang disebut sebagai metode otodidak. Metode ini berkembang karena keterbatasan subjek yang diajarkan di madrasah. Pada saat itu, memang lebih banyak menekankan pengajaran fikih, sunah, dan Alquran.
Namun, madrasah menekankan pengkajian ilmu lain kepada para muridnya. Belajar secara otodidak juga sering dilakukan para pelajar yang tidak memiliki uang untuk mengikuti sesi kuliah, atau pengajaran secara privat yang dilakukan di rumah seorang guru.
Metode otodidak sebenarnya juga sering digunakan oleh para pelajar yang mampu, namun karena tertarik dengan mata pelajaran yang tidak diajarkan di madrasah tempat dia belajar, dia menggunakan metode otodidak untuk mendapatkan ilmu yang diinginkan.
Di madrasah, pendidikan yang paling ditekankan adalah ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan mata pelajaran tata bahasa, hanya sebagai mata pelajaran tambahan supaya para siswa memahami bahasa Arab klasik dan syair Arab kuno.
Pemahaman yang bagus terhadap bahasa Arab klasik dan syair Arab kuno diperlukan, supaya siswa lebih mudah memahami isi ayat-ayat Alquran dan hadis. Dengan demikian, mata pelajaran tata bahasa yang diajarkan hanya merupakan kajian dasar.
Cabang ilmu pengetahuan lain yang sering dipelajari secara otodidak adalah filsafat, kedokteran, matematika, ilmu alam, syair, teknik menulis surat, sejarah, retorika, musik, dan kaligrafi. Para pelajar sering berkumpul dengan pelajar lainnya yang tertarik di bidang sama.
Dan, melalui metode belajar otodidak dan berdiskusi, muncul sejumlah ilmuwan Muslim dengan beragam pemikirannya yang berpengaruh. Mereka bahkan bisa memiliki keahlian di sejumlah bidang ilmu, seperti Ibnu Sina yang mumpuni di bidang kedokteran, matematika, juga filsafat.
Lalu, muncul serangkaian buku yang ditulis para cendekiawan Muslim di bidangnya, untuk memudahkan para pelajar melakukan metode belajar secara otodidak. Tsabit ibn Qurra menulis buku berjudul Maratib al-Ulum atau Buku tentang Klasifikasi Ilmu.
Pendidikan adalah hal yang mutlak harus dimiliki oleh semua orang baik tua maupun muda, Pendidikan sangatlah penting untuk bekal menghadapi dunia dimasa yang akan datang, maka dari itu pendidikan harus mulai diajarkan pada anak usia dini. Walaupun pendidikan berlangsung sepanjang hayat, enam tahun pertama masa anak adalah jangka waktu yang paling penting bagi perkembangannya yang mana enam tahun pertama inilah yang akan membentuk karakter si anak. Tahun prasekolah menjadi masa anak membina kepribadian mereka. Karenanya, setiap usaha yang dirancang untuk mengembangkan minat dan potensi anak harus dilakukan pada masa awal ini untuk membimbing anak menjadi diri mereka dengan segala kelebihannya. Orangtua dan pendidik harus dapat membantu anak menyadari dan merealisasikan potensi anak untuk menimba ilmu pengetahuan, bakat, dan kepribadian yang utuh.
Dalam pesantren darunnajah kita diajarkan untuk nrimo dan selalu belajar dari setiap saat karena apa yang dirasakan,dilihat dan didengar oleh santri itu semua adalah pendidikan.
Penulis:Muhammad Rafi Aliefanto