Search
Close this search box.
blank

Keseimbangan Beribadah, Beraqidah, dan Bermuamalah ala Nabi SAW

Keseimbangan Beribadah, Beraqidah, dan Bermuamalah ala Nabi SAW

blank

Pengantar perkuliahan tentang Madzhab-Madzhab dan Aliran-Aliran Dalam Islam. Mempelajari teori-teori yang dibutuhkan dalam menghadapi kemunculan aliran-aliran pemikiran dalam Islam. Dalam masa-masa belajar manusia selalu berada dalam dua kondisi, yaitu malu untuk bertanya atau sombong, sehingga tidak mau bertanya.

Oleh sebab itu, mintalah setiap pemateri, masyayikh untuk mengulang, atau langsung mengangkat tangan untuk bertanya pada saat belajar.

Dalam berdoa, Nabi mengangkat kedua tangannya, sebagai simbol bahwa Nabi menjelaskan dua hal, yaitu akidah yang benar dan menjelaskan yang salah dalam satu waktu. Nabi selalu menjaga keseimbangan dalam beribadah, berakidah dan bermuamalah.

Oleh sebab itu ketika Nabi menemukan para sahabat ada yang keluar dari manhaj tersebut langsung diingatkan supaya kembali ke tengah, dalam artian tidak mengurangi dan tidak melebihkan. Beberapa contoh bisa kita lihat seperti:

Masalah Qadha dan Qadar, dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika ada sahabat yang berbicara masalah qada dan qodar wajah Nabi memerah seperti buah delima yang tebelah. Beliau bersabda:

 

بِهَذَا أُمِرْتُمْ ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ ؟ تَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ!! بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ

“Apakah untuk ini kalian diperintahkan atau apakah untuk ini kalian diciptakan? Kalian membenturkan sebagian ayat Al-Qur’an dengan sebagian yang lain. Gegara hal semacam inilah umat-umat sebelum kalian itu binasa!

Umat Islam yang lalu telah hancur karena terlalu membicarakan masalah qada dan qadar dengan membenturkan satu ayat dengan ayat yang lain. Maksudnya, Alqurna diturunkan untuk menjelaskan permasalah bukan untuk dibenturkan antara satu ayat dengan yang lainnya.

Maksudnya ada ayat yang menjelaskan tentang wajibnya mencari rizki dan ada juga perintah untuk beribadah, ada juga ayat yang menjelaskan tentang iktiar manusia, apakah memilih untuk menjadi seorang muslim, atau menjadi kafir.

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana ada larangan tentang qadha dan qodar padahal dia adalah salah satu dari rukum Iman? Perlu dipahami bersama, bahwa tidak ada pertentangan dalam masalah ini, antara hadis tentang larangan bertanya qadha dan qadar dengan keimanan terhadapnya.

Kenapa demikian, karena tidak, ada kejelekan yang mutlak. Ada sesutau yang buruk tapi di dalamnya banyak kebaikan. Contoh HP ini, kita hanya bisa melihatnya di satu sisi saja, sedangkan sisi lainnya dan bagian dalamnya hanya Allah yang tahu.

Contoh lainnya, pada jaman dahulu ada seorang raja yang punya menteri yang selalu melihat segi positif dari segala sesuatu, apabila ada sesuatu yang jelek yang terjadi, sesuatu bilang bahwa itu baik. Artinya, walaupun itu jelak, insya Alla ada kebaikan di dalamnya.

Pada suatu masa, raja kecelekaan dan jarinya patah, kemudian ketika menteri itu melihatnya dia bilang insya Allah ini baik, dan marahlah raja itu sehingga menterinya dimasukan ke dalam penjara untuk beberapa waktu.

Pada suatu hari, raja berburu dan ditangkap penduduk asli yang ada di hutan tersebut untuk diqurbakan kepada dewa-dewanya, tetapi ketika mengetahui jarinya patah, mereka berkata ‘tidak mungkin kita memberikan qurban yang cacat kepada dewa kita’.

Karena jarinya yang patah maka raja itu dibebesakan, sekembalinya ke istana, raja melepaskan mentrinya dan kemudian raja itu meminta maaf kepada mentri dan membebaskannya.

Selain tentang qadha dan qadar, ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa beberapa sahabat bertanya tentang ibadah Nabi di rumahnya, harapanya, mereka bisa mengitkutinya dengan baik, ibadah Nabi sehari-hari ketika bersama para shahabat bisa mereka ketahui tapi ketika Nabi berada dirumah mereka tidak tahu.

Setelah mengetahui ibadah Nabi, mereka merasa sangat hina, mereka tahu bawa Nabi ma’shum, Nabi sudah dijamin masuk surga, tapi masih beribadah dengan kadar yang luar biasa.

Kemudian satu persatu dari para shahabat berkata, akan melakukan ibadah selamanya, akan puasa dan tidak buka, ada juga yang tidak akan menikah untuk ibadah, ketika nabi mendengarknya, Nabi langsung mengingatkan, bahwa Nabi beribadah dan beristirahat, Nabi puasa dan berbuka dan  juga menikah, maka barang siapa yang tidak melaksanakan sunnahku, dia bukan umatku.

blank

Prof. Dr. Jamil Ibrahim As-Sayyid, Dosen Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar Mesir

Disarikan dan disusun kembali oleh Muhammad Irfanudin Kurniawan, M.Ag, Dosen Perdaban Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah (STAIDA).

(dn.com/danisha)

 

Pendaftaran Siswa Baru Pesantren Darunnajah