Kesaksian 212,
Ketika Thola’al Badru Membahana.
Saya dan tiga puluh empat peserta lainnya berangkat dari pesantren kami di Bogor Barat pada Kamis sore (1/12/16). Awalnya kami sudah bermufakat untuk langsung langsung ke Istiqlal guna i’tikaf dan mabit di sana. Berhubung ada intruksi dari pimpinan kami (beliau terlibat aktif dalam Aksi Bela Islam 411) yang sedang safar ke tiga negara (Inggris, Mesir, Pakistan), maka kami bergabung dengan pesantren-pesantren cabang lain di pesantren pusat yang berlokasi di Ulujami Jakarta Selatan. Malam itu juga kami ikut musyawarah koordinasi dengan panitia dan koordinator lapangan dari pesantren pusat. Jumlah peserta sekira 275 ustadz dan ustadzah.
Sekira pukul 07.25 wib kami tiba di Bundaran HI dan meneruskan perjalanan ke arah Monas dengan jalan kaki. Sepanjang jalan kami merasa penuh semangat perjuangan dan ukhuwwah Islamiyah. Beberapa kali berpapasan dengan rombongan lain, kami saling menyapa dengan sama-sama Takbir, Allahu Akbar!. Secara tiba-tiba saja dada bergemuruh luar biasa dan terasa ada yang hangat di sudut pojok mata.
Setiba di kawasan Patung Kuda ternyata jumlah massa sudah seperti lautan manusia. Saya pribadi sangat ingin lanjut berjalan sampai benar-benar dalam kawasan Monas bahkan mendekat ke Panggung Utama para ulama nan mulia. Namun karena koordinator lapangan memustukan untuk segera gelar sajadah, kamipun sami’na wa atho’na. Terlebih kami juga tahu bahwa keputusan pemimpin kafilah yang sering tampil di televisi Nasional tersebut, didasarkan pada arahan dari panggung utama yang terdengar jelas sampai tempat kami berada bahwa dalam kawasan Monas sudah sangat padat maka yang masih di luar agar tidak memaksakan diri ke sana.
Sajadah segera digelar. Shaf sholat dalam sekejap mata terlihat rapi. Sejurus kemudian ada beberapa di antara kami yang menunaikan sholat Dhuha. Sebagian lain menyimak tausiyah dan dzikir yang disampaikan secara bergantian oleh para ulama di panggung utama.
Bonus. Ya, saya menyebutnya bonus manakala melihat Dr. Nur Hidayat Wahid melintas di depan barisan kami tanpa kawalan yang ketat. Segera saja saya dan beberapa kawan maju dua tiga langkah dan menyalami Wakil Ketua MPR yang notabene alumni Gontor dan Madinah tersebut. Bagi kami, berjabat-tangan dengan seorang ulama adalah Tabarukan (berbagi keberkahan) dan tafa’ulan (menumbuhkan optimisme).
Tidak lama berikutnya terjadilah episode yang kami jadikan judul tulisan ini. Merinding. Ketika terlihat Kafilah Mujahid Ciamis melewati kawasan Patung Kuda, serentak kami semua berdiri. Menyambut dan menyalami mereka semua. Bahkan anak kyai kami langsung bermu’anaqah (memeluk dan merangkul) mereka satu-persatu. Entah siapa yang memberi komando, tiba-tiba saja serentak lantunan Thola’al Badru ‘Alaina…. membahana. Pekikan Takbir saling bersahutan. Sepertinya kami merasakan suasana yang dirasakan penduduk Madinah tatkala menyambut kedatangan Rasulullah Muhammad SAW, Abu Bakar Ash Shiddiq dan para Muhajirin lainnya. Sungguh ini merupakan spiritual journey yang luar biasa, Allahu Akbar!.
Sekira setengah jam berikutnya, agenda utama Aksi Bela Islam dimulai. Para mujahid Ciamis sudah sampai di karpet yang disediakan khusus untuk mereka, hal itu kami ketahui dari penjelasan dari panggung utama. Lantunan Takbir kembali membahana. Allahu Akbar!.
Rangkaian pembukaan diawali dengan pembacaan beberapa ayat Suci Al Qur’an surat Al Maidah, termasuk ayat 51. Dilanjutkan dengan menyanyikan bersama-sama lagu Indonesia Raya dan Mars Aksi Bela Islam. Pada tahap ini rasa nasionalisme dan ghirrah islamiyah kami bersatu padu. Takbir kembali membahana seusai menyanyikan keduanya dengan segenap jiwa dan raga.
Tidak hanya itu, ternyata di sela-sela penyampaian tausiyah, dzikir dan do’a juga diselingi lantunan lagu-lagu kebangsaan kita. Saya jadi bertanya-tanya: apa penyebab para penuding bahwa kita adalah anti kebhinekaan dan keindonesiaan???.
Tangis kami kembali pecah ketika ustadz Arifin Ilham dengan gaya khasnya mengajak kita berdzikir dan bermunajat. Kami menangis dalam isakan nan mendalam. Benar kata ustadz Bahtiar Natsir bahwa sekarang kita tidak lagi mengetuk pintu istana, namun mengetuk pintu langit dengan harapan keridhaan dan bantuan serta kemenangan dari Allah SWT. Allahu Akbar!.
Sungguh amat banyak untaian indah dan pencerahan sarat makna yang disampaikan Prof. Didin Hafidhudin, Aa Gyim dan para pembicara lainnya termasuk Dr. Nur Hidayat Wahid yang tadi sempat kami salami.
Suasana ghirrah islamiyah dan mujahadah begitu terasa. Salah-seorang kawan di samping saya yang notabene pimpinan redaksi buletin pesantren kami dan aktifis ruqyah syar’iyyah berujar dengan segenap penjiwaan: “Ini ibaratnya sekam membara, sedikit saja ada yang menyiram Bensin akan meledak!”. Allahu Akbar!.
Jelang sholat Jum’at, Allah SWT turunkan Rahmat dan Ma’unahNya kepada segenap peserta Aksi Bela Islam dengan kucuran hujan dari langit. Meskipun hujan cukup lebat namun tidak ada yang lari dari tempat.
Khutbah Jum’at yang disampaikan Habib Rizieq Syihab sangat luar biasa: jelas, tegas, berani, ilmiah dan penuh ‘izzah wa ‘iffah. Khutbah tersebut juga didengar Presiden, Wakil Presiden, Beberapa menteri dan Kapolri. Kalau boleh saya ambil kata kunci: Ayat Al Qur’an sebagai Kitab Suci lebih tinggi dari ayat konstitusi!!!. Allahu Akbar!!!.
Pelaksanaan Sholat Jum’at dengan do’a Qunut yang begitu panjang di bawah guyuran hujan seperti terpaan untuk pasukan yang siap berperang.
Konon seusai sholat Jum’at pak Presiden menyampaikan sambutan singkat tentang apresiasi atas ketertiban jalannya Aksi. Disayangkan tidak disinggung sama-sekali tentang tuntutan Aksi Bela Islam agar penista agama segera ditahan. Saya dan kawan-kawan juga sudah tidak terlalu mendengar jelas sambutan itu. Kami sudah dalam posisi kembali ke kawasan bundaran HI sambil terus bersholawat, menyanyikan Mars Aksi Bela Islam dan yel-yel Tangkap Penista Agama!, Allahu Akbar!!!.
Alhamdulillah, saya sangat bersyukur terpilih menjadi bagian dalam Aksi Bela Islam.
Bogor Barat, Sabtu 3/12/2016.
Muhlisin Ibnu Muhtarom