Bahagia: Ibadah Utama di Hari Raya

Hari raya merupakan momen penuh kegembiraan bagi umat Islam.

Di balik perayaan tersebut, terdapat ajaran penting yang sering terlupakan: Ibadah utama di hari raya adalah bahagia.

Bahagia tidak sekadar dalam arti fisik, tetapi lebih mendalam—kebahagiaan yang muncul dari hati yang bersih dan penuh rasa syukur.

Bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbahagia, terutama bagi mereka yang terpinggirkan dan berduka di hari raya, dapat kita pelajari dari kisah berikut.

Kisah Anak Yatim yang Ditolong oleh Rasulullah SAW

Terdapat sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik tentang seorang anak yatim yang bersedih di hari raya Idul Fitri.

Kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana Rasulullah SAW menanamkan kebahagiaan di hati mereka yang terlupakan.

Suatu ketika, Rasulullah SAW berangkat untuk melaksanakan shalat Id.

Dalam perjalanan menuju tempat shalat, beliau melihat anak-anak bermain ceria bersama ayah mereka.

Namun, di tengah keceriaan itu, beliau mendapati seorang anak kecil yang sedang menangis.

Pakaian anak itu kumal, wajahnya menampakkan kesedihan mendalam, dan ia tampak sebatang kara.

Rasulullah SAW merasa iba dan mendekatinya, “Wahai anak kecil, mengapa engkau menangis? Mengapa tidak ikut bermain bersama teman-temanmu?”

Dalam ketidaktahuannya, Anak itu menjawab, “Wahai laki-laki yang ada di hadapanku, ayahku telah meninggal saat ikut peperangan bersama Rasulullah. Ibuku menikah lagi dan menghabiskan seluruh harta warisanku. Bapak tiriku mengusirku dari rumah. Sekarang, aku tidak punya makanan, pakaian, atau tempat tinggal. Ketika hari raya ini tiba, aku hanya bisa melihat anak-anak lain bahagia bersama ayah mereka. Aku merasa sangat sedih.”

Mendengar penjelasan anak itu, Rasulullah SAW teramat iba.

Beliau pun dengan tulus menawarkan sesuatu yang tak ternilai:

“Wahai anak kecil, bersediakah jika aku menjadi bapakmu, ‘Aisyah menjadi ibumu, Ali menjadi pamanmu, Hasan dan Husein menjadi saudara laki-lakimu, dan Fatimah menjadi saudara perempuanmu?”

Dengan penuh kebahagiaan, anak itu menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak senang, wahai Rasulullah?”

Saat itu juga, anak yatim tersebut menyadari bahwa orang yang menolongnya adalah Rasulullah SAW sendiri.

Beliau membawa anak itu pulang ke rumah, memberinya pakaian baru yang indah, memberi makan hingga kenyang, menghiasinya, dan memberinya minyak wangi yang harum.

Kini, anak yatim itu bisa merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bermain ceria bersama teman-teman seusianya.

Perubahan luar biasa terlihat pada anak yatim tersebut. Dulu ia hanya merasakan kesedihan dan kelaparan, namun setelah menerima kasih sayang Rasulullah SAW, ia kini merasa seperti seorang anak yang memiliki keluarga besar.

Kepada teman-temannya, anak itu menjelaskan dengan bangga, “Dulu aku kelaparan, kini aku kenyang. Dulu pakaianku buruk, kini sudah indah. Dulu aku seorang yatim, kini Rasulullah adalah ayahku, ‘Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudara laki-lakiku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia?”

Mendengar cerita itu, anak-anak lain merasa iri.

“Andai saja ayah kami syahid di peperangan, pasti kami akan seperti engkau,” kata mereka dengan penuh harapan.

Kisah ini mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah hak setiap orang, terutama bagi mereka yang terluka atau terpinggirkan.

Rasulullah SAW tidak hanya mengajarkan tentang kewajiban beribadah dalam bentuk ritual, tetapi juga tentang pentingnya memberi kebahagiaan kepada sesama, terutama yang membutuhkan.

Di hari raya, kita diingatkan untuk tidak sekadar merayakan kebahagiaan diri sendiri, tetapi juga berbagi kebahagiaan dengan orang lain.

Inilah ibadah utama yang dapat kita lakukan di hari yang mulia ini.

Kebahagiaan bukan hanya milik mereka yang beruntung, tetapi juga hak mereka yang kurang beruntung.

Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW, memberikan kebahagiaan kepada orang lain adalah bentuk ibadah yang sangat tinggi di sisi Allah SWT.

Semoga kita dapat meneladani Rasulullah SAW dalam mengupayakan kebahagiaan untuk sesama, terutama di hari raya yang penuh berkah ini.

Sebagaimana kebahagiaan yang diberikan kepada anak yatim tersebut, mari kita berusaha menjadi cahaya bagi mereka yang membutuhkan, sehingga ibadah utama kita di hari raya benar-benar tercapai: bahagia.

Jakarta, 2 Syawal 1446 Hijriah.

Pendaftaran Santri Baru