Pernahkah kita membayangkan seorang santri yang takut pergi ke pesantren karena selalu diganggu oleh teman-temannya? Atau seorang santri yang merasa terisolasi dan tidak berdaya di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang? Bullying, sayangnya, bisa terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan pesantren yang kita anggap suci.
Tulisan ini membahas tentang strategi pesantren dalam menangani masalah bullying, pencegahan dini, pembentukan karakter islami, penguatan peran ustadz dan ustadzah, pendekatan restorative justice, pemberdayaan santri sebagai agen perubahan, serta penciptaan lingkungan pesantren yang aman dan inklusif. Berikut uraiannya:
Bullying adalah masalah serius yang dapat berdampak negatif pada perkembangan mental, emosional, dan spiritual santri. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi seluruh santrinya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Ayat ini dengan jelas melarang perilaku merendahkan orang lain, yang merupakan inti dari bullying. Pesantren harus menjadikan ayat ini sebagai landasan dalam menangani masalah bullying.
Bagaimana mencegah bullying sejak dini?
Pencegahan dini adalah kunci utama dalam menangani masalah bullying. Contohnya, seorang santri baru yang pendiam sering menjadi target bullying karena dianggap lemah oleh teman-temannya.
Pesantren dapat menerapkan program orientasi yang menekankan pada nilai-nilai persaudaraan dan saling menghargai. Sosialisasi tentang bahaya bullying dan konsekuensinya juga perlu dilakukan sejak santri pertama kali masuk pesantren.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799)
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak yang baik dalam Islam. Pesantren harus menanamkan nilai-nilai akhlak mulia sejak dini untuk mencegah perilaku bullying.
Bagaimana membentuk karakter islami?
Pembentukan karakter islami menjadi fondasi penting dalam menangani bullying. Misalnya, seorang santri yang terbiasa bersikap kasar terhadap temannya mungkin tidak menyadari bahwa perilakunya bertentangan dengan ajaran Islam.
Pesantren perlu mengintegrasikan pendidikan karakter islami dalam setiap aspek pembelajaran. Program mentoring sebaya dan teladan dari para ustadz dan ustadzah juga sangat penting dalam pembentukan karakter.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63)
Ayat ini menggambarkan karakter ideal seorang muslim yang rendah hati dan mampu mengendalikan diri. Pesantren harus menjadikan ayat ini sebagai inspirasi dalam membentuk karakter santri.
Bagaimana menguatkan peran ustadz?
Peran ustadz dan ustadzah sangat krusial dalam menangani bullying. Contohnya, seorang ustadz yang tidak peka terhadap dinamika sosial di kalangan santri mungkin tidak menyadari adanya praktik bullying yang terjadi.
Pesantren perlu memberikan pelatihan khusus kepada para ustadz dan ustadzah tentang cara mendeteksi, mencegah, dan menangani bullying. Mereka juga harus dibekali keterampilan konseling dasar untuk membantu santri yang menjadi korban bullying.
Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad no. 12390)
Hadits ini mengingatkan kita tentang pentingnya memberi manfaat kepada orang lain. Para ustadz dan ustadzah harus menjadi teladan dalam memberikan manfaat dan perlindungan kepada santri-santrinya.
Bagaimana menerapkan restorative justice?
Pendekatan restorative justice bisa menjadi solusi efektif dalam menangani bullying. Misalnya, seorang santri yang melakukan bullying mungkin tidak menyadari dampak perbuatannya terhadap korban.
Pesantren dapat menerapkan sistem mediasi di mana pelaku dan korban bullying diberi kesempatan untuk berdialog secara konstruktif. Proses ini bertujuan untuk menumbuhkan empati dan kesadaran, bukan hanya memberikan hukuman.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (QS. Al-Hujurat: 9)
Ayat ini mengajarkan kita untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih. Pendekatan restorative justice sejalan dengan spirit islah (perdamaian) yang diajarkan dalam Islam.
Bagaimana memberdayakan santri?
Memberdayakan santri sebagai agen perubahan sangat penting dalam menangani bullying. Contohnya, seorang santri yang menyaksikan temannya di-bully sering kali tidak berani melaporkan atau mencegahnya karena takut menjadi target berikutnya.
Pesantren dapat membentuk kelompok anti-bullying yang dikelola oleh santri sendiri. Program pelatihan kepemimpinan dan keterampilan resolusi konflik juga perlu diberikan kepada para santri.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak berdiam diri melihat kemungkaran. Santri harus diberdayakan untuk berani mencegah dan melaporkan tindakan bullying yang mereka saksikan.
Bagaimana menciptakan lingkungan inklusif?
Menciptakan lingkungan pesantren yang aman dan inklusif adalah kunci dalam menangani bullying. Misalnya, seorang santri yang berasal dari daerah terpencil sering menjadi bahan ejekan karena logat bicaranya yang berbeda.
Pesantren perlu menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap segala bentuk diskriminasi dan pengucilan. Program-program yang mempromosikan keberagaman dan toleransi juga perlu digalakkan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini mengajarkan kita untuk menghargai keberagaman dan menjadikan ketakwaan sebagai ukuran kemuliaan seseorang. Pesantren harus menjadikan ayat ini sebagai landasan dalam menciptakan lingkungan yang inklusif.
Sebagai kesimpulan, menangani masalah bullying di pesantren membutuhkan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan. Mulai dari pencegahan dini, pembentukan karakter islami, penguatan peran ustadz dan ustadzah, penerapan restorative justice, pemberdayaan santri, hingga penciptaan lingkungan yang aman dan inklusif. Dengan langkah-langkah ini, pesantren dapat menjadi lingkungan belajar yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Mari kita bersama-sama mendukung upaya pesantren dalam menangani masalah bullying. Setiap dari kita memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua santri. Ingatlah, mencegah satu tindakan bullying sama dengan menyelamatkan satu kehidupan. Jadilah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.