Istilah wali berasal dari bahasa Arab, artinya adalah tercinta, pembantu, penolong, dan pemimpin. Bentuk pluralnya adalah auliya‘. Al-Qur’an mensifati para wali Allah sebagai orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Allah berfirman:
“Ingatlah, sesungguhnya waIi-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”. (Yunus [10]: 62-64)
Dalam hadits disebutkan bahwa wali Allah adalah orang-orang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan menunaikan amalan wajib dan menambahnya dengan amalan sunnah hingga Allah mencintai mereka. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah berkalam, ‘Barangsiapa yang memusuhi Waliku berarti telah mengumumkan perang terhadap-Ku, atau Aku menyatakan perang terhadapnya Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan apa yang telah Aku wajibkan atasnya dan hambaKu tetap terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, niscaya Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, dan menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, dan menjadi tangannya yang dengannya dia memukul, dan menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan. Dan sungguh jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan kepadanya. Dan sungguh jika dia memohon perlindungan-Ku, niscaya Aku melindunginya. Dan Aku membimbingnya kepada sesuatu, maka Akulah pelaksananya. Jiwa hamba-Ku yang beriman selalu dalam bimbingan-Ku, ia membenci kematian dan Akupun membenci keburukan maut yang pasti menjemputnya‘.”[1]
Hadits shahih ini yang paling jelas menyebutkan sifat-sifat para wali Allah. Di antaranya adalah bahwa barangsiapa yang menyatakan permusuhan kepada wali Allah maka sama saja dirinya telah menyatakan perang kepada Allah, dan Allah pun juga menyatakan perang terhadapnya.
Sedangkan dalam pemahaman yang berkembang dalam ‘urf (tradisi) di Jawa, perkataan wali menjadi sebutan bagi orang yang dianggap keramat[2], yaitu orang suci yang memiliki karomah dalam bentuk kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman dan bertakwa. Meskipun sering dirancukan pula dengan sekti mandraguna dalam pengertian ajaran Hindu Syiwo dan Buddho.
Dalam kaitan ini, ditemuilah istilah Wali Songo atau sembilan Waliyullah. Mereka adalah para penyebar Islam terpenting di Tanah Jawa pada awal abad ke-15 dan ke-16. Mereka memiliki kelebihan daripada masyarakat mayoritas yang waktu itu masih menganut agama lama. Oleh karena itu, para Auliya’ dipandang sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah karena telah menegakkan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan serta mengerjakan amalan-amalan yang sunnah, sehingga mendapatkan berbagai karunia berupa kejadian luar biasa yang disebut karomah.
Mereka adalah simbol perintis jalan bagi penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Tentu saja banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dengan dakwah ilallah secara langsung maupun seruan dalam jihad fisabilillah hingga mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, dan juga pengaruhnya terhadap pembentukan peradaban Islam di masyarakat, membuat para Wali Songo ini lebih sering disebut daripada yang lain.
Para Wali Songo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasa dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat jawa, mulai dari perniagaan dagang, pelayaran nelayan dan perikanan, bercocok tanam di persawahan maupun perkebunan, pengobatan dalam kesehatan jasmani dan ruhani, kebudayaan, kesenian, pendidikan, kemasyarakatan, hingga ke dalam masalah aqidah, politik, militer, hukum, dan pemerintahan di kerajaan-kerajaan Islam.
Sebagian penulis berpendapat bahwa istilah Wali Songo berasal dari bahasa Arab, yaitu wali (wali) dan tsana’ (mulia), sehingga berarti para wali yang mulia. Sebagian lagi berpendapat istilah Wali Songo berasal dari bahasa Jawa, yaitu wali (wali) dan sana (baca: sono), yaitu tempat. Ada pula yang menyebut dengan Wali Songo yang berarti sembilan wali atau bahkan ada yang menyatakan Wali Sangha.
Dari berbagai pendapat tersebut, yang paling kuat adalah berdasarkan istilah dan fakta sejarah, yaitu bahwa Wali Songo adalah sebuah dewan dakwah, dewan mubaligh[3], organisasi ulama dalam bentuk lembaga dakwah para wali yang berjumlah sembilan. Setiap ada yang wafat atau meninggalkan Jawa. maka diangkat wali lain sebagai penggantinya sehingga tetap berjumlah sembilan. Berikut ini pembahasan tentang istilah Wali Songo.
- Walisongo bermakna wali yang mulia (tsana’)
Menurut pendapat Prof. K.H.R. Moh. Adnan bahwa kata sanga merupakan perubahan atau kerancuan dalam mengucapkan kata sana yang menurutnya tsana‘. Kata tsana‘ berasal dari bahasa Arab yang berarti mulia yang semakna dengan mahmud yang berarti terpuji. Sehingga istilah Wali Songo menurutnya berasal dari kata Wali Tsana’.[4]
- Walisongo merupakan Pemimpin di suatu tempat (Sana)
Walaupun banyak hal yang harus dikritisi, istilah wali tsana’ yang dikemukakan Prof. K.H. Moh. Adnan ini diperkuat oleh R. Tanojo secara asal istilah, sedangkan arti dari kata sana’ itu sendiri berbeda. Menurut R. Tanojo arti sana’ bukan berasal dari bahasa Arab yang berarti mulia. Akan tetapi sana (sono) berarti suatu tempat, daerah atau wilayah. Dalam pengertian ini, Wali Sana menurut R. Tanojo berarti wali yang berkuasa di suatu tempat, penguasa daerah atau penguasa wilayah.[5]
- Walisongo adalah nama Organisasi Dakwah
Pendapat lain menyatakan bahwa Wali Songo sebenarnya bukanlah berarti wali yang jumlah keseluruhannya hanya sembilan (songo) saja sebagaimana yang dikenal masyarakat jawa. Akan tetapi Wali Songo adalah sebuah nama bagi organisasi dakwah, dewan dakwah, dewan muballigh, dewan ulama, majelis para wali, atau lembaga da’wah. Apabila salah seorang dari anggota dewan atau majlis tersebut pergi atau wafat, maka akan diganti oleh wali yang lain.[6] Oleh karenanya, jumlah wali dalam dewan ulama ini tetap sembilan dalam setiap angkatan.[7]
Pendapat tersebut sebagaimana pandangan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, M.A. bahwa Wali Songo merupakan sebuah nama suatu lembaga bagi dewan dakwah atau dewan ulama. Sedangkan kata sembilan diidentifikasikan sebagai struktur kepemimpinan dalam lembaga dakwah tersebut.
Dengan demikian, menurut pendapat penulis bahwa istilah Wali Songo yang lebih dekat dengan fakta sejarah adalah berasal dari istilah Wali Songo. Wali berarti orang beriman dan bertakwa kepada Allah dan dekat dengan-Nya. Sedangkan Songo artinya adalah bilangan angka sembilan dalam bahasa Jawa. Dengan demikian, Wali Songo adalah wali yang berjumlah sembilan dan tergabung dalam sebuah lembaga dakwah, dewan ulama, atau majlis wali. Setiap kali di antara wali ada yang wafat atau pergi. maka diangkatlah wali lain sebagai pengganti.
Berikut ini beberapa alasan yang memperkuat pendapat ini:
- Berdasarkan kitab Kanzul Ulum karya lbnu Bathuthah yang penulisannya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Maghribi[8]. Di dalamnya disebutkan tentang pembagian wilayah dakwah, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, dan Syekh Jumadil Kubra di Jawa Timur. Kemudian Syekh Subakir dan Syekh Maulana Maghrib menggarap wilayah Jawa Tengah, sementara Jawa bagian barat ditugaskan kepada Maulana Malik lsra’il, Syekh Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, dan Maulana Aliyuddin.
- Berdasarkan dokumen Kropak Ferrara, disebutkan sarasehan dan musyawarah Wali Songo tentang Makrifatullah. Dalam musyawarah tersebut dipimpin oleh Sunan Giri sebagai pengganti Sunan Ampel sekaligus sebagai tuan tumah di Ampel Dento. Para Wali yang hadir secara keseluruhan sebanyak sembilan wali. Akan tetapi Sunan Kudus sebagai salah seorang anggota Wali Songo berhalangan hadir.
- Wali Songo yang merupakan nama organisasi dakwah ini menyelenggarakan sidang sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1404 M, 1438 M dan tahun 1463 M. Menurut KH. Dachlan Abdul Qahhar, pada tahun 1466 M Wali Songo menyelenggarakan sidang ke-4 untuk membahas berbagai hal. Di antaranya adalah tentang wafatnya dua orang wali, yaitu Maulana Muhammad Al-Maghrabi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Wali Songo[9].
Demikianlah tentang Wali Songo sebagai perintis jalan penyebaran Islam di tanah Jawa secara revolusioner. Oleh karena terjadi perubahan mendasar dalam membentuk peradaban dengan waktu yang relatif singkat. Atas kehendak Allah kemudian peran mereka, mayoritas umat di tanah Jawa dan juga Nusantara adalah umat Islam.
Berita tentang sejarah revolusi Islam di Jawa pada abad 15 dan 16 ini tersebar luas di seantero dunia Islam hingga kini. Salah satu sumber situs berbahasa Arab yang membahas secara singkat perkembangan Islam dunia menyebutkan tentang Wali Songo ini:
“Al-Auliya At-Tis’ah (Wali Songo) adalah orang-orang yang bergabung dalam Ahlul Halli wal-Aqdi wasy-Syura, mereka yang memiliki hak mengangkat pemimpin Islam melalui musyawarah. Wali Songo memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara. Oleh karena mereka telah berjanji setia kepada Sultan Fattah sebagai Khalifah bagi kaum muslimin, maka di kemudian hari, banyak sekali orang-orang yang mengikuti mereka dalam jumlah besar dari masyarakat Indonesia karena telah menaruh kepercayaan yang besar kepada mereka.”[10]
- Antara Wali dan Sunan
Ketika menyebut istilah Wali Songo, maka umumnya masyarakat Jawa mengenal mereka sebagai para ulama penyebar Islam yang jumlahnya sembilan wali. Kebanyakan menggunakan panggilan Sunan. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Mbonang, Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati[11]. Tidak ada kepastian tentang siapa orang yang pertama kali menetapkan hanya sembilan wali tersebut sebagai Wali Songo, tanpa yang lainnya. Padahal antara satu sunan dengan sunan lainnya berbeda masa dan bahkan ada yang belum pernah bertemu dalam satu masa. Oleh karena itulah muncul pendapat bahwa istilah sunan tidak ditemukan penisbatannya kepada para wali mukmin di masanya.
Sunan kependekan dari kata Susuhunan atau Sinuhun yang biasa dinisbatkan bagi para raja atau penguasa pemerintahan daerah di Jawa[12]. Misalnya Sunan Gunung Jati sebagai penguasa di daerah bernama Gunung Jati, Cirebon. Sunan Ampel di daerah Ampel Dento. Sunan Giri sebagai penguasa di daerah Giri yang pengaruhnya sampai meluas jauh ke timur hingga luar Jawa, seperti Makassar, Hitu (Ambon), dan Ternate[13].
Oleh karena itulah menurut Prof. Dr. Hamka, bahwa istilah sunan baru digunakan untuk menyebut para wali setelah Wafatnya mereka, “Terang bahwa gelar-gelar sunan itu baru dipasangkan atas diri para wali itu setelah mereka meninggal belaka. Kerena mereka dipandang keramat dan kubur mereka dimuliakan sebagaimana memuliakan berhala. Sebab itu dibahasakan sunan.” Sunan berasal dari kata sesuhunan, artinya adalah yang di-suhun atau dimohon, di mana disusun jari sepuluh buat menyembahnya. Sebutan ini bersifat kompromis yang digunakan untuk memuliakan ulama agar sesuai dengan kemuliaan para raja.83
Oleh karena penisbatan istilah sunan ini sudah terlanjur melekat kuat dalam ingatan masyarakat dalam waktu lebih dari empat abad, bahkan lebih terkenal daripada nama aslinya, maka penggunaan istilah sunan dalam konteks ini tidaklah terlalu dipermasalahkan.
Apabila nama-nama anggota Wali Songo itu ditelusuri, akan didapati lebih dari sembilan wali. Secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut:
Nama dan Tempat Wali Songo yang dikenal Masyarakat
No | Nama | Dikenal | Tempat |
1 | Maulana Malik Ibrahim | Sunan Gresik | Gresik |
2 | Raden Rahmat | Sunan Ampel | Ampel |
3 | Raden Paku | Sunan Giri | Giri |
4 | Makhdum Ibrahim | Sunan Mbonang | Tuban |
5 | Raden Syahid | Sunan Kalijogo | Kadilangu |
6 | Ja’far Shodiq | Sunan Kudus | Kudus |
7 | Maseh Munat | Sunan Drajat | Tuban |
8 | Raden Umar Said | Sunan Muria | Muria |
9 | Syarif Hidayatullah | Sunan Gunung Jati | Cirebon |
Menurut Widji Saksono, nama-nama wali di atas banyak yang telah menyepakatinya. Meskipun tidak jelas pula siapa saja yang membuat kesepakatan tersebut. Disepakati oleh siapa, sejak tahun berapa dan dalam momen seperti apa, tidak pernah terjelaskan.[14]
Menurutnya lagi, para wali lain yang masih diperselisihkan adalah sebagai berikut:
No | Nama | Dikenal | Tempat |
1 | Usman Haji | Sunan Ngudung | Ngudung, Jipang |
2 | Raden Santri | Sunan Gresik | Gresik |
3 | Raden Sayed Muhsin | Sunan Wilis | Cirebon |
4 | Haji Usman | Sunan Manyuran | Mandalika |
5 | Sultan Fattah | Sunan Bintoro | Demak |
6 | Raden Jakandar | Sunan Bangkalan | Madura |
7 | Khalif Husain | Sunan Kertosono | – |
8 | Raden Pandan Arang | Sunan Tembayat | Tembayat, Klaten |
9 | Ki Cakrajaya | Sunan Geseng | Lowanu, Purworejo |
10 | – | Sunan Giri Prapen | – |
11 | – | Sunan Padhusan | – |
Daftar Wali Songo Berdasarkan Angkatan[15]
- Malik Ibrahim
- Maulana Ishaq
- A. Jumadil Kubra
- AI-Maghribi
- Malik lsra’il
- Ali Akbar
- Maulana Hasanuddin
- Maulana Aliyuddin
- Syekh Subakir
Angkatan II (1421 M -1436 M)
- Sunan Ampel
- Maulana Ishaq
- A. Jumadil Kubra
- Al-Maghribi
- Malik lsro’il
- Ali Akbar
- Maulana Hasanuddin
- Maulana Aliyuddin
- Syekh Subakir
Angkatan lll (1436 M -1463 M)
- Sunan Ampel
- Maulana Ishaq
- A. Jumadil Kubra
- Al-Maghribi
- Ja’far Shodiq
- Syarif Hidayatullah
- Maulana Hasanuddin
- Maulana Aliyuddin
- Syekh Subakir
Angkatan IV (1463 M -1466 M)
- Sunan Ampel
- Sunan Mbonang
- Jumadil Kubra
- AI-Maghribi
- Ja’far Shodiq
- Sunan Gunung Jati
- Sunan Giri
- Sunan Drajad
- Sunan Kalijaga
Angkatan V (1466 M -1478 M)
- Sunan Giri
- Sunan Ampel
- Sunan Mbonang
- Sunan Kudus
- Sunan Gunung Jati
- Sunan Drajad
- Sunan Kalijogo
- Raden Fattah
- Fathullah Khan
Angkatan VI (1478 M -… M)
- Sunan Giri
- Sunan Ampel
- Sunan Mbonang
- Sunan Kudus
- Sunan Gunung Jati
- Sunan Drajad
- Sunan Kalijogo
- Sunan Muria
- Sunan Pandanaran
Footnote:
[1] HR Al-Bukhari
[2] Prof. Tahir Abdul Muni’im, Ikhtisar Tauhid, 40-41. Lihat: Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 18. Istilah keramat sendiri adalah dari bahasa Arab, yaitu karomah dengan pengertian yang agak berbeda akibat pergeseran makna. Karomah adalah kejadian luar biasa yang dialami oleh wali-wali Allah karena kuatnya keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah. Sedangkan keramat dalam pengertian orang Jawa umumnya dipandang sebagai sesuai yang memiliki kesaktian yang lebih mengarah kepada mistis sehingga menimbulkan perasaan takut, angker.
[3] Op.Cit., Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Islam oleh H.M. Imam Soenanto Tonggak Sejarah Islam pulau Jawa, hal.1. Persembahan oleh Pengurus Takmir Masjid Agung Demak.
[4] Op.Cit, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 19. Meskipun demikian, pendapat ini juga memiliki kelemahan. Di antaranya adalah bahwa Wali Tsana’ yang berarti wali yang mulia lagi terpuji, secara bahasa Wali menujukkan bentuk mudzakar mufrad, sedangkan Tsana’ adalah shifat atau na’at bagi yang disifati (maushuf atau man’ut), yaitu mudzakar dan mufrod (singuler) juga. Dengan demikian, jika benar Wali Songo merupakan kerancuan bahasa yang berasal dari Wali Tsana, maka seharusnya dinisbatkan kepada hanya seorang. Lalu siapa seorang wali terpuji ini? Seandainya yang dimaksud adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim, padahal beliau diutus oleh Sultan Muhammad I tidaklah sendirian, melainkan bersama delapan tokoh lain
[5] Op.Cit, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 19. Sebagaimana kelemahan pendapat Prof. K.H Moh. Adnan, arti kata Wali Songo yang berasal dari Wali Sana menurut Tanojo ini juga ada kerancuan pengertian. Oleh karena penyebutannya hanya dalam bentuk mufrod (singular), yaitu Wali, bukan Auliya’. Sementara yang disebutkan juga hanya 8 Wali saja, tidak mencapai jumlah 9 Wali.
[6] Op.Cit, Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Islam, H.M. Imam Soenanto. hal.1; Kisah Perjuangan Walisongo, hal. 5.
[7] Lihat: Metode Da’wah Walisongo, Drs. Nur Amin Fattah, hal.19-20.
[8] Kitab Kanzul Ulum karya petualang Muslim Ibnu Bathuthah ini masih tersimpan di Perpustakaan istana Kesultanan Ottoman di Istambul, Turki. Lihat: Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 22; Prof. Dr. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, hal. 168; Hamid Akasyah,Wali Songo Periode l-V, hal.3.
[9] MB. Rahimsyah. AR, Kisah Perjuangan Walisongo, hal. 5. Prof. Hasanu Simon berpendapat bahwa musyawarah Wali Songo angkatan ke-2 bukan pada tahun 1436 M, akan tetapi tahun 1421 M. Alasannya setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim sebagai ketua Wali Songo angkatan pertama wafat pada 1419 M. haruslah ada pengganti beliau. Maka tahun 1421 M diadakan musyawarah untuk mengangkat ketua. Sunan Ampel menjadi ketua Wali Songo angkatan ke-2
[10] Lihat: https://www.tareemyemen.net/2010/news-68.htm
[11] Telah banyak tersebar luas lukisan Wali Songo pada masa Orde Baru.Tentang hal ini, sejarawan Islam Ahmad Mansyur Suryanegara memberikan komentar atas anggapan yang keliru tersebut, “Umumnya, kita mengira Wali Songo sebagai pembawa pertama ajaran Islam ke Nusantara Indonesia. Padahal, aktivitas para Wali Songo terjadi pada periode Perkembangan Agama Islam yang ditandai dengan berdirinya kekuasaan politik Islam atau Kesultanan.” (Api Sejarah Jilid 1, hal. 117)
[12] Terkadang digunakan pula istilah Kanjeng, yaitu Kang Jumeneng, Pangeran, dan sebagainya
[13] R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III. Op.Cit, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 19.
[14] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm. 23-24. Dengan Penyesuaian
[15] Rachmad Abdullah, Wali Songo; Gelora dakwah dan Jihad di Tanah Jawa, hlm. 121
[WARDAN/DR]