Oleh : Bohri Rahman, Lc*
Kita sering dihadapkan dengan pertanyaan yang menggelitik, bagaimana hukum hadis ini hadis itu, tanpa ada aba-aba terlebih dahulu?. Kita sering mendengar para Kiyai, Tuan Guru, para Mubalig dan Tokoh masyarakat dalam pidato mereka, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, begini dan begitu, tanpa menyebutkan perawi atau kualitas hadisnya.
Kita juga menjumpai dalam buku-buku bacaan dan kitab-kitab literatur kita ketika masih duduk di bangku sekolah atau Pondok Pesantren, seorang penulis ada yang tiba-tiba mencantumkan, dari Umar bin Khattab bahwa rasulullah saw bersabda begini dan begitu, tanpa disertai dengan keterangan kualitas hadis dan imam yang meriwayatkannya.
Hal ini membuat kita banyak bertanya. Siapakah perawi hadis tersebut?. Dalam kitab apakah disebutkan? Bagaimanakah kualitasnya, apakah shahih atau hasan atau dhaif atau dhaif jiddan atau maudu’?. Benarkah apa yang mereka sandarkan adalah sabda Rasulullah SAW? Boleh jadi itu bukan sabda Rasulullah namun merupakan kata-kata hikmah yang dilantunkan seorang Imam kepada muridnya atau merupakan ungkapan orang yang tidak jelas statusnya.
Penulis sebelum berangkat mengais ilmu di al-Azhar, pada malam harinya ada ritual pengajian dan pelepasan yang disampaikan oleh sang Tuan Guru, dengan harapan memberikan motivasi kepada penulis. Dalam pidato yang beliau sampaikan beliau mengutip sebuah ungkapan dan menyandarkannya kepada rasulullah tanpa ada keraguan sedikitpun, dengan semangat beliau berkata : Rasulullah saw bersabda :
- من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الأخرة فعليه بالعلم ومن أرادهما فعليه بالعلم.
Barangsiapa yang menginginkan ( kebahagian) dunia hendaknya ia dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat, hendaknya ia dengan ilmu dan barangsiapa yang menginginkah kebahagian keduanya, hendak ia dengan ilmu.
Entah dari mana beliau mengambil dan membacanya kemudian mencopotnya begitu saja lalu menyandarkannya kepada Rasulullah. Memang saya sangat yakin bahwa beliau bermaksud baik dan tidak sengaja berdusta atas nama Rasulullah saw. Namun tetap saja patal karena merupakan kebohongan atas diri rasulullah saw sekalipun tanpa disengaja. Hal itu terjadi akibat dari ketidaktahuan, tidak ada penelitian dan pengkajian terlebih dahulu.
Setelah penulis mencari dalam kitab-kitab hadis yang bersanad dan kitab takhrij, penulis tidak menjumpai ungkapan di atas adalah hadis rasulullah, namun merupakan ungkapan Imam Syafi’I rahimahullah yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam muqaddimah karya beliau[1] : al Majmu’. Imam Nawawi berkata
قال الشافعي رحمه الله تعالى : العلم أفضل من من صلاة النافلة وقال : ليس بعد الفرائض أفضل من طلب العلم، وقال : من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم.
Imam Syafi’i RA berkata : Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah. Beliau berkata : Tidak ada amalan setelah amalam fardhu yang lebih utama daripada menuntut ilmu. Dan beliau juga berkata : Barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) dunia hendak lah dengan ilmu barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) akhirat hendaklah dengan ilmu. “.
Dengan demikian, ungkapan yang selalu terngiang di telinga dan sering terlontarkan bahkan tanpa disadari selalu disandarkan kepada rasulullah, dengan adanya kajian dan penelusuran langsung dari literatur aslinya maka didapatkan bahwa ungkapan tersebut adalah penggalan dari perkataan Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, bukan sabda Rasulullah saw.
[1] . Al Imam Annawawi, al Majmu’ fi Syarhil Muhazdab. Dar al Fikr, Beirut.
* Kandidat Master Universitas Azhar Kairo-Mesir Jurusan Hadist dan ilmu-ilmunya, pemerhati masalah-masalah hadist dan keagamaan serta kontributor ISCO (Islamic Studies Center Online).
mail : Bohri_rahman@yahoo.com
sumber : ISCO (Islamic Studies Center Online)