Kunjungan Raja Salman Inspirasikan Kerinduan kepada Rasulullah Sang Tauladan!
Seorang motivator bijak pernah berkata: “Ada dua hari penting dalam hidup ini: hari pada saat kita dilahirkan dan hari pada saat kita sadar untuk apa kita dilahirkan!”. Hari yang pertama hanya terjadi sekali seumur hidup. Hari yang kedua bisa terjadi berulangkali, dan semoga termasuk hari ini, Rabu 1 Maret 2017, hari kedatangan Raja Salman di Indonesia yang kita cintai.
Begitu banyak tulisan, ulasan dan berita yang dihadirkan menjelang hingga pada saat kedatangan Raja Salman. Bahkan pada hari ini, secara kasat mata kita saksikan betapa antusias masyarakat menanti dan mengelukan momentum bersejarah setelah 47 tahun silam kedatangan raja Arab Saudi ke Indonesia. Di sekitar istana Bogor, sejak pagi masyarakat berduyun-duyun dan berkumpul di pinggir jalan ingin menyaksikan langsung dari dekat raja yang bergelar Pelayan Dua Kota Suci (Khadimul Haramain Asy Syarifain) itu.
Gerimis bahkan hujan yang turun tidak menyurutkan tekad bulat dan azam menghujam mereka. Bahkan ketika kemudian Raja Salman sudah memasuki istana Bogor, mereka tidak langsung membubarkan diri, justru mendekati pintu pagar istana. Sungguh sebuah fenomena yang menimbulkan tanya: ada apa sebenarnya?, mengapa suasana serupa tidak tampak pada kunjungan kepala negara lainnya?, apa motif yang mendorong mereka dan sebagian kita begitu terpesona dengan kehadirang sang Raja?, dan sebagaianya.
Bisa jadi kita berbeda pendapat, namun izinkan penulis menyakini adanya ‘campur tangan Tuhan dan faktor kesamaan Iman’ yang menggerakkan kunjungan kehormatan ini. Secara verbal, Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia juga menyatakan hal senada bahwa Allah SWT yang menggerakkan hati Raja Salman datang ke Indonesia tercinta.
Terlepas dari motif ekonomi, politik, kekuasaan dan pro-kontra lainnya yang juga sudah banyak diulas dan beredar lewat tulisan-tulisan di media sosial. Penulis ingin melihat kunjungan ini dari aspek keimanan yang memang sudah semestinya sebagai konsekuensi logis dari Islamic Worldview seorang muslim multazim.
Mari sejenak kita tafakur betapa mahal dan indahnya karunia Hidayah Islam ini. Dalam sebuah tayangan tv swasta pada bulan Ramadhan bebrapa tahun silam disiarkan bahwa populasi penduduk dunia yang mencapai sekira 7 milyar ini, hanya 1,5 milyar yang beragama Islam (muslim). Dan kuantitas terbesarnya ada di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia.
Memang tingkat keberagamaan seseorang harus meningkat dari Muslim (Islam) menjadi Mukmin (Iman) meningkat menjadi Muhsin (Ihsan) dan puncaknya menjadi Muttaqi (Taqwa). Namun setidaknya bahwa ketika kita sudah memilih dan atau terpilih menjadi seorang muslim maka tingkatan pertama sudah kita miliki. Bukankah hanya dengan ikrar dua Syahadat (Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul) artinya menjadi Muslim maka amal perbuatan manusia akan diterima?. Tentu tidak cukup hanya dengan persaksian dan ikrar saja, tetapi harus disertai aplikasi Syahadat Tauhid yaitu ikhlas beribadah kepada Allah SWT dan dengan cara mengikuti tata-cara (sunnah) Rasulullah SAW sebagai pengejawantahan Syahadat Rasul.
Untuk semakin menyakini betapa mahalnya hidayah Islam ini, hendaknya dikaji lebih mendalam fakta historis, misalnya Kan’an putra nabi Nuh AS, Azzar ayah nabi Ibrahim AS dan Abu Thalib paman Rasulullah SAW. Bukankan mereka kerabat dan keluarga para nabi tetapi mereka tidak tercerahkan dengan cahaya Islam hingga datang kematian.
Mari kita hayati hadits berikut sebagai nutrisi hati nurani……!
Suatu ketika berkumpullah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabat-sahabatnya yang mulia. Di sana hadir pula sahabat paling setia, Abu Bakar ash-Shiddiq. Kemudian terucap dari mulut baginda yang sangat mulia: “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan ikhwanku (saudara-saudaraku)!.”
Suasana di majelis itu hening sejenak. Semua yang hadir diam seolah sedang memikirkan sesuatu. terlebih lagi sayidina Abu Bakar, itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihinya melontarkan pengakuan demikian.
“Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?”Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mulai memenuhi pikiran.
“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku.” Suara Rasulullah bernada rendah.
“Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain pula.
Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda bersabda,
“Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.” (Tertera dalam kitab Kanzul Ummal, hadits lemah menurut Ibnu Katsir)
Demi Allah, betapa syahdunya kerinduan Bimbo kepada Rasulullah SAW yang terungkap lewat lirik lagu mereka:” “Betapa jarak darimu, yaa Rasul, serasa dikau di sini…., rindu kami padamu Ya Rasul, rindu tak terperikan!. Atau tangis bunda Neno Warisman ketika membaca bait puisinya: di mana engkau Ya rasulalah?!.
Terlebih alunan nasyid yang masyhur di kalangan aktifis pecinta Rasulullah SAW yang dipopulerkan oleh grup Raihan berikut ini:
Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kutatap wajahmu
Kan pasti mengalir air mataku
Kerna pancaran ketenanganmu
Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kukucup tanganmu
Moga mengalir keberkatan dalam diriku
Untuk mengikut jejak langkahmu
Ya Rasulullah… ya Habiballah…
Tak pernah kutatap wajahmu
Ya Rasulullah… ya Habiballah…
Kami rindu padamu
Allahummu sholli ‘ala muhammad
Ya robbi sholli ‘alaihi wasallim
Alangkah indahnya hidup ini
Andai dapat kudakap dirimu
Tiada kata yang dapat aku ucapkan
Hanya Tuhan yang saja yang tahu
Kutahu cintamu kepada ummat
Ummati… ummati…
Kutahu bimbangnya kau tentang kami
Syafaatkan kami
Ya Rasulullah… ya Habiballah…
Terimalah kami sebagai umatmu
Ya Rasulullah… ya Habiballah…
Kurniakanlah syafaatmu
Allahummu sholli ‘ala muhammad
Ya robbi sholli ‘alaihi wasallim
Semoga kunjungan Raja Salman dan rombongannya tidak hanya akan menjadi bahan pembicaraan dan melulu dikaitkan dengan ‘urusan makan’ namun juga diharapkan menjadi asbab ‘peningkatan taraf keimanan’ kita. Terakhir, jika Raja Salman datang ke Indonesia saja sudah ‘menghebohkan’ masyarakat kita, bagaimana jika seandainya Rasulullah Muhammad SAW yang datang menghampiri kita dengan segenap kerinduan dan kasih-sayangnya?.
السلام عليك يا رسول الله
السلام عليك يا حبيب الله
Bogor Barat, 2 Jumadil Akhir 1438 H
yang sedang merindu,
Muhlisin Ibnu Muhtarom