Dakwah Tanpa Mimbar: Etika Muslim di Ruang Publik

Dakwah Tanpa Mimbar: Etika Muslim di Ruang Publik

Dakwah Tanpa Mimbar: Etika Muslim di Ruang Publik
Dakwah Tanpa Mimbar: Etika Muslim di Ruang Publik

Pendahuluan

Dakwah sering dipahami sebagai aktivitas di atas mimbar, disampaikan melalui ceramah dan khutbah. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, setiap Muslim sejatinya adalah da’i, baik disadari maupun tidak. Cara berbicara, bersikap, bekerja, dan berinteraksi di ruang publik menjadi cerminan nilai Islam itu sendiri.

Di tengah masyarakat yang majemuk dan dunia yang semakin terbuka, etika Muslim justru menjadi bentuk dakwah paling nyata. Inilah yang disebut sebagai dakwah tanpa mimbar—dakwah yang hidup dalam perilaku, bukan sekadar kata-kata.

Dakwah Bil Hal: Konsep Dasar dalam Islam

Islam mengenal konsep dakwah bil hal, yaitu menyampaikan ajaran Islam melalui perbuatan nyata. Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam hal ini. Aisyah r.a. menggambarkan akhlak Nabi dengan singkat namun dalam:

“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”
(HR. Muslim)

Artinya, nilai Islam tidak berhenti pada teks, tetapi menjelma dalam sikap hidup. Etika Muslim dalam ruang publik menjadi sarana dakwah yang sering kali lebih efektif dibandingkan retorika. Penelitian dalam studi dakwah modern menunjukkan bahwa perilaku sosial yang konsisten dengan nilai agama memiliki dampak persuasif yang lebih kuat dibandingkan komunikasi verbal semata (Hefner, 2000).

Ruang Publik sebagai Medan Uji Etika Muslim

Ruang publik mencakup banyak hal: jalan raya, sekolah, tempat kerja, media sosial, hingga ruang digital. Di sanalah etika Muslim diuji secara nyata.

Beberapa prinsip etika Muslim yang relevan di ruang publik antara lain:

  • Kejujuran dalam perkataan dan tindakan

  • Tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dan sesama

  • Kesantunan dalam perbedaan pendapat

  • Keadilan dan empati, terutama kepada kelompok lemah

Al-Qur’an menegaskan:

“Dan katakanlah kepada manusia dengan perkataan yang baik.”
(QS. Al-Baqarah: 83)

Ayat ini bersifat universal. Etika Muslim tidak dibatasi pada sesama Muslim, tetapi mencakup seluruh manusia.

Etika Muslim di Era Media Sosial

Media sosial telah menjadi ruang publik baru yang sangat berpengaruh. Sayangnya, ia juga menjadi tempat suburnya ujaran kebencian, hoaks, dan sikap saling merendahkan. Dalam perspektif etika Islam, kebebasan berekspresi tidak boleh lepas dari tanggung jawab moral. Imam An-Nawawi menegaskan bahwa menjaga lisan adalah bagian penting dari kesempurnaan iman.

Penelitian oleh Pew Research Center (2018) menunjukkan bahwa interaksi negatif di media sosial berkontribusi terhadap polarisasi sosial. Dalam konteks ini, etika Muslim berperan sebagai penyejuk: menyampaikan kebenaran tanpa merendahkan, mengoreksi tanpa mempermalukan.

Etika sebagai Identitas Sosial Muslim

Dalam masyarakat global, identitas keislaman sering kali dinilai bukan dari simbol, tetapi dari perilaku. Sosiolog Erving Goffman menjelaskan bahwa kesan sosial dibentuk melalui interaksi sehari-hari, bukan klaim identitas semata.

Karena itu, etika Muslim memiliki dampak representatif. Sikap adil, amanah, dan santun dapat menjadi jembatan dialog antarbudaya. Sebaliknya, perilaku kasar dan eksklusif justru merusak citra Islam itu sendiri. Pesantren, sebagai lembaga pembinaan akhlak, memiliki peran strategis dalam menanamkan kesadaran bahwa dakwah paling kuat sering kali berlangsung tanpa panggung dan tanpa suara keras.

Dari Etika Pribadi ke Transformasi Sosial

Etika Muslim tidak berhenti pada kesalehan individual. Ia memiliki dimensi sosial. Ketika nilai adab, amanah, dan empati diterapkan secara kolektif, ia membentuk budaya publik yang sehat. Fazlur Rahman menekankan bahwa tujuan etika Islam adalah menciptakan masyarakat bermoral, bukan sekadar individu yang taat secara ritual. Dengan demikian, dakwah tanpa mimbar berkontribusi langsung pada perbaikan sosial.

Penutup

Di dunia yang semakin bising oleh klaim dan perdebatan, etika Muslim justru menjadi suara paling jernih. Dakwah tanpa mimbar mengingatkan bahwa Islam tidak hanya diajarkan, tetapi ditampilkan. Setiap Muslim, di mana pun berada, membawa pesan. Pertanyaannya bukan apakah kita berdakwah atau tidak, tetapi dakwah seperti apa yang sedang kita sampaikan melalui sikap dan perilaku.

Referensi

  1. Al-Qur’an al-Karim

  2. Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim

  3. An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Riyadh as-Shalihin

  4. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulumuddin

  5. Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.

  6. Pew Research Center. (2018). Social Media and the News.

  7. Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.

  8. Rahman, F. (1982). Islam and Modernity. University of Chicago Press.

Pendaftaran Santri Baru