Darunnajahkindergarten 14/04
Perilaku anak bisa menjadi sebuah cermin pribadi orangtuanya. Saat masih kecil, anak belajar dari lingkungan sekitarnya dan lingkungan terdekat adalah keluarga. Anak melihat apa yang dilakukan orangtuanya, mencontoh kebiasaan-kebiasaan mereka, dan merekam kata-kata yang diucapkannya.
Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya mempunyai perilaku yang baik. Namun terkadang orangtua tak menyadari bahwa pendidikan perilaku yang paling utama berada dalam keluarga. Keluarga menjadi sumber nilai bagi anak. Nilai-nilai itulah yang akan menjadi dasar perilakunya saat dewasa.
Ketidaktahuan orangtua tentang hal tersebut membuat mereka kurang hati-hati. Akbibatnya bisa fatal, anak akan meniru perbuatan yang kurang baik dari orangtuanya dan menjadi kebiasaan sampai ia dewasa.
Ada sebuah kisah menarik yang mengajarkan kepada para orangtua untuk selalu menjaga perilakunya agar bisa menjadi contoh untuk anak-anaknya. Pada suatu masa, hiduplah sebuah keluarga dengan seorang anak laki-laki. Dalam keluarga itu, tinggal juga seorang tua renta dan buta. Ia adalah kakek anak laki-laki itu.
Suatu hari, sang istri mengeluh kepada suaminya karena orang tua yang juga mertuanya itu semakin menyusahkan karena sering meminta yang aneh-aneh. Sang suami mengerti. Memang, ia melihat ayahnya sudah sangat merepotkan. Setiap hari ia dan istrinya harus merawat sang ayah sehingga anak mereka tak terurus.
Suatu malam, suami dan istri itu bersepakat untuk membuang orang tua itu. Disusunlah rencana untuk mengajaknya pergi ke suatu tempat dan meninggalkannya di situ. Mereka berharap ada orang baik hati yang merawatnya. Sang suami mendapat tugas membujuk dan membawanya pergi. Malam itu sang suami berkata kepada ayahnya, “Besok pagi kita akan pergi rekreasi.”
Paginya sang suami bergegas bangun. Diambilnya beberapa bilah bambu untuk membuat keranjang yang akan digunakan untuk menggendong ayahnya. Tiba-tiba, anaknya yang masih kecil menyapanya, “Apa yang Ayah lakukan pagi-pagi begini?”
“Ayah membuat keranjang untuk menggendong kakekmu, anakku.”
“Memang kakek mau dibawa ke mana?” tanya anaknya kembali.
“Ayah akan mengajak kakek rekreasi,” jawabnya.
“Ayah!” kata anak kecil itu, “bolehkah aku minta keranjang itu dibawa pulang kembali dan disimpan baik-baik?”
“Untuk apa?”
“Kalau Ayah sudah seperti kakek nanti, aku akan menggendong ayah dengan keranjang itu, biar aku tak susah-susah membuatnya lagi. Aku akan meletakkan ayah di tempat rekreasi seperti kakek.”
Sang suami terperanjat. Ternyata, anaknya mendengar semua rencana yang dibicarakan dengan istrinya dan ia mengira kalau perbuatan itu sudah seharusnya dilakukan kepada orang yang sudah tua renta, seperti yang dilakukan ayahnya terhadap kakeknya.
Menanamkan Nilai dan Kebiasaan Baik
Dalam rentang waktu perkembangan anak, ada masa-masa yang diberi nama oleh para ahli dengan sebutan masa emas perkembangan anak. Masa itu terentang sejak anak dilahirkan sampai usia pubertas [kurang lebih usia antara 16 – 18 tahun].
Saat seorang anak dilahirkan, otaknya memunyai banyak sambungan syaraf. Seiring dengan perkembanganya, otak akan terus-menerus memutus sambungan-sambungan yang jarang digunakan dan akan memperkuat sambungan yang sering digunakan. Pada masa emas ini otak manusia mengalami proses pemangkasan sambungan syaraf. Karena proses ini, sambungan syaraf di otak pada anak yang masih kecil lebih banyak dibanding ketika ia dewasa.
Torsten Nils Wiesel dan David Hunter Hubel tertarik melakukan penilitan terhadap proses pemangkasan otak itu. Hasil penelitiannya memberi pengaruh yang sangat besar terhadap teori perkembangan anak. Atas hasil temuan dalam penelitian itu, Weisel dan Hubel meraih nobel di bidang Psikologis Medis [1981].
Weisel dan Hubel pertama kali melakukan eksperimen pada hewan, yaitu kucing dan kera. Ada masa kritis perkembangan otak pada kedua hewan tersebut, lamanya beberapa bulan sejak dilahirkan. Pada masa ini, salah satu mata hewan ditutup sehingga sinyal-sinyal yang dikirim mata ke otak berkurang.
Setelah masa kritis berakhir, penutup mata dibuka. Apa yang terjadi? Ternyata, mata yang ditutup tadi mengalami kebutaan secara fungsional. Secara fisik tak ada cacat pada mata, hanya saja sambungan syaraf ke otak mengalami penyusutan sehingga sinyal yang dikirimkan ke otak tak mencukupi untuk bisa melihat.
Sistem penglihatan manusia mirip. Namun, masa kritisnya lebih lama. Wiesel dan Hubel mengatakan, masa kritis pada manusia berlangsung selama kurang lebih enam bulan. Jika pada masa kritis itu mata anak ditutup selama beberapa minggu saja, akan terjadi penurunan kemampuan melihat pada anak.
Masa kritis untuk perkembangan emosi lebih lama lagi. Bagian otak tempat pengendalian diri, pemahaman dan respon yang bijaksana terus tumbuh sampai akhir masa pubertas. Kebiasaan mengelola emosi yang berulang-ulang pada masa ini akan memperkuat sambungan syaraf di otak sehingga sinyal yang diterima semakin banyak dan kuat.
Berdasarkan penelitian itu, para ahli perkembangan anak menyarankan kepada orangtua untuk berhati-hati selama masa kritis anak. Kesalahan memberi perlakuan pada anak akan mengakibatkan trauma mendalam yang terus-menerus dialami sampai anak dewasa. Sebaliknya, perilaku positif dan penanaman nilai-nilai yang baik hendaknya terus-menerus dilakukan. Kebiasaan-kebiasaan saat anak masih kecil berpengaruh besar terhadap karakternya ketika ia dewasa.
Nilai-nilai yang Diwariskan kepada Anak
Peran penting orangtua dalam pendidikan anak sangat ditekankan dalam ajaran Islam. Orangtua akan dimintai pertanggungjawaban atas perlakuan terhadap anaknya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, sesungguhnya ahli ilmu mengatakan bahwa pada hari kiamat nanti, Allah swt akan meminta pertanggungjawaban setiap orangtua tentang apa yang telah mereka lakukan terhadap anaknya.
Bahkan Ibnu Qayyim menambahkan, pertanggungjawaban orangtua tentang anaknya itu lebih dulu ditanyakan sebelum meminta pertanggungjawaban anak tentang orangtuanya. Karena sesungguhnya sebagaimana orangtua memiliki hak dari anaknya, seorang anak juga memiliki hak dari orangtuanya.
Nilai-nilai apa yang perlu diwariskan kepada anak?
Al-Qur’an menguraikan dengan jelas pokok-pokok yang perlu diajarkan orangtua kepada anaknya. Dalam Surah Luqmân, Allah swt berfirman tentang Luqmân berkenaan dengan nilai-nilai dan hikmah yang pernah ia nasihatkan kepada anaknya.
Luqmân menasihati anaknya untuk tak mempersekutukan Allah, selalu berbakti kepada ibu-bapaknya dengan menaati perintah keduanya selama tak memaksanya berbuat syirik, dan menjaga setiap perbuatan, karena sekecil apapun perbuatan akan diperhitungkan dan mendapat balasan.
Untuk menjamin kesinambungan Tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak, Luqmân meminta anaknya untuk melaksanakan shalat dengan sempurna baik dari sisi syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Ia juga meminta anaknya untuk membentengi diri dari kekejian dan kemunkaran, dan sabar dalam menghadapi setiap kesulitan.
Berkaitan dengan hubungan sosial dengan orang lain, Luqmân menyampaikan agar anaknya tak berlaku sombong dan angkuh. Sebaliknya, anaknya diminta untuk selalu rendah hati dan hormat kepada setiap orang.
Di ayat yang lain Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari api yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia dan batu-batu” [QS at-Tharîm [66]: 6]. Ayat ini menerangkan, orangtua memunyai tanggungjawab untuk menjaga seluruh anggota keluarga agar terhindar dari api neraka.
Ali bin Abi Thalib menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Ajarilah mereka [anak-anakmu] ilmu pengetahuan dan akhlak.” Selain menanamkan nilai-nilai yang baik [sebagaimana nasihat Luqmân kepada anaknya], anak hendaknya juga dibekali dengan ilmu pengetahuan. Keduanya sangat penting sebagai bekal anak mengarungi masa depannya nanti.
Setiap orangtua pasti menghendaki anaknya nanti memunyai kehidupan yang baik, seperti setiap orang juga menghendaki melihat bayangan diri yang baik dalam cermin. Karena itu, orangtua hendaknya senantiasa berperilaku baik dan berakhlak mulia agar menjadi model yang baik juga bagi anaknya. Semoga bermanfaat. «
(indah, Indah_maryana08@yahoo.com)