Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Kunci Pemaafan dan Kasih Sayang Sayyidah Aisyah dalam Episode Haditsul Ifki

Adakah cinta kita kepada seseorang telah mengilhami kita untuk mencintai banyak kebaikan?

Lebih dalam lagi, adakah cinta kita kepada seseorang mampu mengubah perspektif kita sehingga segala sesuatu terlihat sebagai kebaikan?

Adakah cinta kita kepada seseorang mampu meredakan ego kita untuk memilih kedamaian hati daripada membalas dendam dengan sepuas hati?

Dapatkah cinta menggerakkan jiwa dan raga kita untuk memberikan yang terbaik, merubah ketidakrelaan menjadi kerelaan, mengubah dengki  menjadi semangat untuk memperbaiki, dan keterpurukan menjadi peluang untuk kebaikan?

Adakah cinta kita pada seseorang telah memiliki dan mengubah sedemikian yang begitu besar?

Terdapat sebuah episode dalam haditsul ifki (berita palsu) mengenai Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah ﷺ, yang menyimpan banyak sekali pembelajaran berharga.

Salah satu episode tersebut adalah tentang penerimaan Sayyidah Aisyah terhadap takdir Allah dan kemurahan hatinya dalam memaafkan sahabat-sahabat yang menyebarkan berita palsu tersebut.

Salah satu dari mereka adalah Hasan bin Tsabit, seorang penyair yang sangat dipercaya oleh Rasulullah ﷺ.

Bayangkan, seorang yang memiliki kefasihan lisan seperti itu menyebarkan berita palsu dengan bahasa yang begitu tajam.

Namun demikian, Sayyidah Aisyah tetap memaafkannya.

Ketika Hasan bin Tsabit datang untuk meminta maaf dan menyatakan pertobatannya, Sayyidah Aisyah tetap menerima dengan hati yang sangat terbuka, tetap menganggapnya sebagai anak.

Saat itu, anak-anak angkatnya dan para sahabat bertanya-tanya mengapa Sayyidah Aisyah mau menerima kunjungan Hasan bin Tsabit.

Kalian tahu apa jawabannya? Kata Sayyidah Aisyah, “Karena Hasan bin Tsabit mencintai Rasulullah ﷺ dan dicintai oleh Rasulullah ﷺ .”

Beliau memaafkan dan tetap menyayanginya, bukan karena tidak merasa sakit hati, melainkan karena terkalahkan oleh cinta kepada Kekasihnya, yaitu Rasulullah ﷺ.

Adakah cinta kita kepada seseorang telah memiliki kekuatan untuk mengubah semacam itu?

Mungkin tidak akan pernah terjadi, kecuali kita mencintai dengan akhlak yang sempurna.

Beruntunglah orang yang mencintai Nabi Muhammad ﷺ, karena kepada siapa kita mencintai akan menentukan bagaimana kita akan menjadi apa, siapa, dan bernasib bagaimana.

Itulah sebabnya kita diajarkan untuk mencintai. Sebab untuk membenci, tidak perlu untuk dipelajarai.

 

Allahumma shalli ‘alaa sayyidina muhammad.

Wallahua’lam.
13 Ramadhan 1445.

 

Rasa Minuman yang Dihidangkan oleh Sayyidah ‘Aisyah

Pendaftaran Santri Baru