Search
Close this search box.

Duck in Memory: Ruang Kesenian ku

blank

Oleh : Febrina Dwiyanti (Kelas XI MA Darunnajah Pabuaran)

Pag ini adalah pagi yang harus rutin di kerjakan setiap seminggu sekali untuk semua santri asrama, kami menyebutnya Jumsih (Jumat bersih), artinya pada hari Jumat pagi, semua harus membersihkan asrama, karena pada hari Jumat ini pula semua santri libur, memang berbeda dari sekolah-sekolah lain, tapi inilah uniknya bersekolah diasrama.

Setelah kegiatan bersih-bersih kelar, tanpa ba-bi-bu, aku langsung mengisi waktu di ruang kesenian. Memang inilah tempat terfaforitku. Kesenian yang aku pilih bukanlah art, tapi music, semua alat music bisa kumainkan, karena dari tingkat SD, kedua orangtuaku sering memberlikanku mainan yang berbau music, dan memang ayahku sangat menggemari alat music.

Saat aku sedang asik menekan-nekan keyboar organ didepanku, tiba-tiba…

Syutt….

Angin kencang meleset memasuki ruangan, hingga jendela di sebelahku terbuka lebar, sesaat aku merasa bulu tanganku merinding seakan merasa ada sesosok mahluk yang sedari tadi menemaniku.

Aku menoleh kesegala arah, mataku mengitari semua sudut ruangan, aku hanya sendiri, lagi-lagi aku dikagetkan dengan suara jendela yang kini bermain-main.

Astaga…jangan sampai kejadian di film-film horor terjadi padaku, perlahan ku dekati pintu jendela dank u amati keadakaan diluar sana, ternyata hujan turun sangat deras sekali, sampai langit pagi jadi tak terlihat indahnya oleh awan hitam yang menutupi, aku langsung berfikir, bagaimana cara aku balik ke kamar. Ruang kesenian cukup jauh dari kamar asrama, hatiku makin ciut saat aku teringat mimpi burukku kemarin malam.

Duh…chika, kenapa jadi cewe pengecut banget sich…

Siapapun…bantu Chika Chilia keluar dari tempat ini lalu aku terduduk di samping organ dan bersender di dinding menekuk kedua lututku dan menundukan kepala, semua rasa jadi satu, aku ketakutan, aku kedinginan, ruangan jadi terasa gelap, duh….benar-benar hari memburukkan bagiku.

Namun tiba-tiba….

Tok…tok…tok…

Dengan cepat aku mengangat kepalaku…

Tok…tok…tok…

Hatiku terus bertanya-tanya, siapa yang mengetuk-ngetuk pintu itu? Apakah hewan? Tumbuhan? Manusia? Atau jangan-kangan…manusia berbentuk tumbuhan atau manusia berbentuk hewan, atau…mansia jadi jadian.

Ya Allah…mulutku berkomat-kamit membacakan ayat kursi, entah lupa atau karena rasa takut ini, ayat kursi yang kubaca rasanya tak sampai ending, aku malah merasa berputar-putar disatu kalimat.

Tok…tok…tok…

Lagi lagi suara itu, sebelum ku buka pintu itu, aku mengumpulkan seluruh kekuatanku, entah apa yang nanti akan terjadi, mungkin setelah ku buka pintu itu aku langsung mati membeku, atau pingsan sambil berdiri atau ekspresi apapun aku sudah tidak bisa lagi membayangkannya.

Perlahan aku melangkahmendekati pintu, 1 langkah, 2 langkah…3 langkah….

Oke…kini tinggal ku buka kunci pintu ini dan siap-siap merebahkan tubuh di lantai, mungkin saja kalau aku pura-pura pingsan, mahluk halus di balik pintu sudah tidak berminat lagi mengganggu hidupku.

Tanganku sudah memegang ganggang pintu, rasanya tangan ini begitu dingin sekali, hatiku mulai menhitung mundur.

Lima, empat, tiga, dua, satu,

Ckrekk….

Gubrakk….

“lho mbak? Kenapa?” Suara seorang laki-laki separuh baya terdengar jelas di telingaku, tapi aku tak dapat mengetahui siapa pemilik suara tersebut, aku lebih memilih mempertahankan mata ini terus tertutup, dibanding harus melihat wajah yang tak bermata.

“Mbak…mbak bangun mbak, waduh, si embak malah tidur disini toh, mbak…mbak”

Mahluk ini menepuk-nepuk pipiku, anehnya dia memanggilku mbak, apa hantunya keturunan jawa kali ya…dengan ragu aku membuka mata kananku dan yang kudapati adalah seorang tukang kebun ples penjaga ruang kesenian yang sering ku panggil mang Koak.

Setelah kusadari ternyata mahluk yang berjongkok disamping tubuhku yang terrebah ini adalah seorang mang Koak, segeraku berdiri sambil berkomat-kamir mengucapkan lafadz “Alhamdulillah”berulang-ulang kali.

Terlihat dari mimik wajah Mang Koak, sepertinya dia binbung melihat ekspresiku saat melihatnya.

“waduh mbak, ono pop? Kaya liat saya tambah guanteng ya mbak, hahaa..dak osah sampe pingsan gitu atuh mbak” kata mang Koak dengan sangat pe-de.

“idih..Mang pe-de abis, siapa yang bilang mang ganteng, malah sebaliknya, saya fikir mang Koak itu vampire” kataku.

“yah…mbah, bilang saja tadi embak pura-pura tidur biar saya gendong, ya toh!!”

“ih…ngaco aja di emang, mending di gendong bison dech dari pada di gendong Mang Koak”

Ucakpu sambil bergidik “ngapain sih mang kesini?” tanyaku kesal.

“ye… si mbak, sekarang saya kan harus ngeberesin ac-nya tuh, udah numpuk debunya, kaya debu di bawah mbak” katannya sambil menunjuk-nunjuk kea rah wajahku dengan kesal aku menangkis tangan mang Koak.

“gak lucu” cibirku, mang Keok hanya tertawa-tawa kecil sambil berjalan menucu air conditioner yang menempel di atas tembok, di tariknya kursi plastik di dekatnya, lalu mang Koakpun berdiri diatasnya agar dapat menggapai ac tersebut. Aku hanya dapat memperhatikan mang Koak tanpa ku sadari, ternyata mang Koak juga senyum-senyum melihatku.

“kenapa mbak liat-liat saya, pengen bilang kalau saya sudah mulai tampak kegantengannya ya!”

Dengan wajah dibuat-buat seolah aku jijik mendengarnya, lalu dengan cepat aku meninggalkan ruangan itu.

Takpeduli lagi hujan akan mengguyurku dengan hebat, yang penting aku terhindar dari manusia super pe-de ini…

aku terus berlari hingga aku menemukan tempat yang pantas untuk ku berlindung sejenak dari terpaan hujan yang nyaris membasahkan seluruh bajuku dan kerudungku.

Pendaftaran Siswa Baru Pesantren Darunnajah